Kinanti Karagya

234 44 36
                                    

"Ealah Nan, kamu itu sebenarnya ke sini mau ngapain to? Biasanya kamu tuh ndak bisa diam, yen wis teko mrene opo wae diomongke. Kenapa sekarang jadi kaya tikus kejepit begini hmm? Sariawan kamu?"

Atika, teman akrab sekaligus tetangganya ini memang sosok yang sangat pengertian. Bagi Kinanti, Atika bukan hanya sebagai teman atau sahabat, namun sudah seperti keluarganya sendiri. Sebagai kakak lebih tepatnya, karena Atika lebih tua lima tahun darinya. Atika bahkan sudah menikah dengan Deni, teman sekolah Atika dulu, setahun yang lalu. Kini sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. 

Kinanti sering berkunjung ke rumah Atika, selain dekat, hanya berjarak 500 meter dari kediamannya, juga karena kasihan pada sahabatnya itu. Atika sering mengeluh kesepian karena suaminya bekerja setiap hari di kota dan selalu pulang ketika hari menjelang malam.

"Embuh Mbak, pusing aku. Selama ini aku kebanyakan haha-hihi, giliran dikasih masalah kok ya berat banget rasanya."

Keluh Kinanti yang merasa sedikit frustasi atas masalah keluarga yang baru diketahuinya tadi.

"Seberat apa sih masalahmu itu? Kok ketok le mumet tenan. Biasanya masalahmu itu ndak jauh-jauh dari adikmu yang baru mulai puber itu atau kalau ndak ya masalah sekolahmu. Eh tapi kan kamu baru saja lulus ya. Terus masalah apa dong?"

Mengalirlah cerita Kinanti tentang latar belakang yang membuat keluarganya sampai terlilit hutang piutang dengan sebuah koperasi di kampungnya.

"Hah.. 40 juta, Nan? Aku malah ndak nyangka ternyata Pak Lik dan Bu Lik harus berhutang sebanyak itu untuk biaya rumah sakit Kiranti. Waktu adikmu kecelakaan, aku baru sibuk mempersiapkan pernikahanku sama Mas Deni. Maaf ya Nan, aku malah ndak peka waktu itu."

"Ya Allah, Mbak. Aku juga baru tahu masalah itu hari ini. Itupun karena aku ada di rumah. Coba kalau hari ini aku jadi melamar kerja ke Jogja, ya udah pasti aku nggak akan dikasih tahu sama Ibu. Tadi juga Ibu harus kupaksa-paksa biar mau cerita. Sebenarnya Bapak sudah nyicil beberapa kali, tapi ya mau bagaimana lagi, Mbak. Hutangnya memang sebanyak itu. Mbak tahu sendiri keadaan keluargaku."

"Iya sih, aku tahu Bu Lik sama Pak Lik itu orangnya seperti apa. Mereka pasti selalu berusaha untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa melibatkan kamu. Ya mungkin mereka pikir kamu belum sedewasa itu untuk mengerti, Nan."

Atika lumayan dekat dengan orang tua Kinanti, sedikit banyak ia tahu watak dua orang yang sudah ia anggap seperti orangtuanya sendiri itu. Atika yang sebatang kara setelah ditinggalkan oleh kakek dan neneknya untuk selamanya lima tahun silam, itu memilih untuk tetap meninggali rumah peninggalan keluarganya daripada tinggal di rumah keluarga suaminya yang memiliki banyak saudara. Ayah dan ibunya telah lebih dulu dipanggil sejak ia masih balita. Kinanti banyak belajar memaknai hidup dari sahabatnya ini. Ia merasa kagum melihat sosok Atika yang selalu tegar meski selalu dihadapkan dengan perpisahan terhadap orang-orang yang ia sayangi.

"Aku lho wis gedhe, Mbak. Sudah hampir 19 tahun. Masih kurang dewasa yang seperti apa lagi sih untuk mengerti?"

Atika mendengus mendengar perkataan Kinanti.

"Gedhe awak e thok. Kamu itu masih kecil, Nan. Nembe wingi lulus SMA."

"Ealah Mbak Tik, aku serius iki lho."

"Lho aku juga serius, Nan."

"Mbak Tik, kok aku pusing banget ya ini."

"Halah.. Kowe kui saben dino sambate nek ra mumet yo pusing. Eh.. memangnya kamu beneran ndak pengen melanjutkan kuliah to?"

Kinanti termenung memikirkan ucapan Atika barusan. Ia merasa.. Entahlah, memang ada keinginan untuk melanjutkan sekolah, tetapi melihat keadaan keluarganya saat ini, ia rasa tidak bisa egois jika harus memaksakan diri. Ayahnya memang beberapa kali menyatakan dukungan kepada Kinanti untuk melanjutkan sekolahnya, tetapi Kinanti juga tahu ayahnya tidak semampu itu untuk membiayainya.

COMFORT ZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang