Kinanti Karagya menyambut hari keberangkatannya dengan sangat antusias. Sejak kemarin ia telah mempersiapkan keperluannya untuk merantau. Tidak banyak yang ia bawa, hanya beberapa stel baju yang menurutnya penting untuk dibawa.
Rasyidah dan Nugroho terus menerus memberikan wejangan pada putri sulung mereka dengan banyak petuah dari nenek moyang. Salah satunya yaitu, wong jowo ojo nganti ilang jawane. Tujuannya, tak lain tak bukan adalah agar Kinanti selalu ingat bahwa dimanapun ia berpijak dan bernaung, ia tidak boleh sampai lupa untuk menjunjung tinggi unggah-ungguh atau tata krama yang selama ini mereka jaga. Tetap berlaku sopan dimanapun tempatnya dan kapanpun waktunya.
Kiranti awalnya sangat kaget dan marah mendengar kabar mendadak mengenai keberangkatan kakaknya ke Jakarta. Setelah diberi penjelasan bahwa kakaknya berniat untuk mencari pekerjaan guna membantu perekonomian keluarga, Kiranti dapat mengerti bahwa kakaknya melakukan itu semua untuk kebaikan keluarga mereka kedepannya.
"Mbak Kinan kok berangkatnya mendadak to?"
"Lebih cepat lebih baik, Ran. Lagipula mbak juga udah nganggur lama di rumah."
"Sing ngati-ati yo, Mbak. Ojo lali karo aku lho."
"Ya enggak lah, Ran. Mbak nggak bakalan lupa sama kamu. Besok kalau mbak sudah sukses, kamu tak ajak ke Jakarta. Bukan cuma kamu aja, Bapak sama Ibu juga bakalan tak ajak keliling Jakarta. Makanya, kamu doakan mbak terus ya, biar mbakmu ini sukses nantinya."
Kinanti tampak menyuarakan harapannya secara berapi-api. Bibirnya tak henti mengembangkan senyum lebar pada seluruh anggota keluarganya. Menyalurkan keyakinan pada mereka bahwa ia akan baik-baik saja di perantauan.
"Aamiin Mbak, Aamiin. Kiranti bakalan terus do'ain Mbak Kinan."
"Matur nuwun, adikku tersayang."
Kinanti merentangkan kedua tangannya, merengkuh tubuh mungil adiknya ke dalam pelukan. Netra teduhnya mulai berkaca-kaca mengingat alasan di balik keberangkatannya ke ibukota saat ini. Ia buru-buru menghapus setetes air mata yang hampir jatuh di pipinya. Tidak, ia tidak boleh menangis. Ia tidak mau adiknya tahu tentang beban berat yang harus ia tanggung saat ini.
"Wis, saiki ayo gek turu. Aku pengen turu bareng kowe karo Ibu bengi iki."
Kinan menarik Kiranti untuk menyusul ibunya di kamar. Kebetulan Rasyidah baru selesai membereskan dapur.
"Ada apa ini? Kok tumben kompak mlebu kamare Ibu. Dho arep mijeti Ibu yo?"
"Mbak Kinan kepengen bobok sesarengan niki lho, Bu. Katanya besok bakalan kangen tidur bertiga."
"Ealah.. Tiwas Ibu wis seneng, tak kiro arep mijeti Ibu. Yo wis ayo ndang merem. Sekarang sudah malam."
Mereka bertiga merebahkan diri di atas dipan sederhana. Jam menunjukkan pukul 22.00, ketiganya sudah merangkak ke alam mimpi. Nugroho kebetulan sedang mendapat giliran untuk ronda keliling kampung malam ini.
***
Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Kinanti diantar oleh Nugroho menaiki motor pinjaman milik tetangga mereka. Saat ini Kinanti sedang menunggu bis di Dawetan. Sebuah tempat menunggu angkutan untuk menuju ke kota.
"Nduk, besok pagi kalau sudah sampai di Jakarta jangan lupa ngabari Bapak."
"Enggih, Pak. Kalau gitu Kinan pamit dulu ya, Pak. Niko bis jurusan Dongkelan sampun katingal."
"Yo wis sing ngati-ati, Nduk. Bapak mung iso nyangoni slamet."
Nugroho merasa bersalah karena tidak bisa memberikan bekal yang banyak untuk putrinya. Kinanti sendiri menolak uang yang diberikan oleh Rasyidah kepadanya. Kebetulan ia masih memiliki sedikit uang tabungan yang ia dapat dari olimpiade semasa SMA dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
COMFORT ZONE
ChickLitKinanti terpaksa merantau jauh-jauh dari Jogja menuju Jakarta demi membantu perekonomian keluarganya. Ia baru mengetahui jika keluarganya terlilit hutang yang cukup besar. Rupanya hal itu merupakan bagian dari takdir yang menuntunnya pada seorang L...