11. Sebuah Janji

18.8K 1.1K 92
                                    

"Perpisahan itu dipastikan selalu ada, jika perpisahan tidak ada maka tidak akan terjadinya sebuah pertemuan."

***

Hari ini adalah hari kedua yang paling gue benci setelah hari dimana gue menangis histeris lantaran orang yang gue sayang bakal pergi jauh.

Andai aja ada tutorial cara membuat kalender, mungkin gue akan buat hari ini hilang agar apa yang akan terjadi tidak akan pernah terjadi.

Hari ini, Devano berangkat ke Paris menggunakan transportasi udara. Ya masa naik sepeda, anda sehat?

Dengan mata sembap, gue terpaksa ikut ke Bandara. Sumpah tadinya gue nggak mau ikut ke sini karena percuma gue ikut tapi nggak bisa nahan Devano buat nggak pergi.

Oh ya, perihal kenapa Devano akan menetap di Paris sana itu karena dia dapat amanah dari Papahnya untuk meneruskan perusahaan yang ada di Paris. Kenapa nggak Elvano aja, karena Elvano juga udah dapat bagian di perusahaan yang ada di Jakarta.

Perusahaan yang di Jakarta sama di Paris Devano bilang sama besar dan terbilang sukses. Papahnya juga bilang beliau nggak pernah membeda-bedakan antara anak pertama dan keduanya, semuanya harus adil agar anaknya pun nggak merasa dibedakan satu sama lain.

"Nin?" Gue menoleh kearah Devano yang kini terlihat rapi sambil menggandeng koper di tangan sebelah kiri.

"Kenapa Dev?" sebisa mungkin gue mengatur nada suara gue agar tidak terdengar lirih karena menahan tangisan. "Kamu kenapa ngelamun dari tadi waktu aku perhatikan?" tanyanya sambil membelai rambut gue menggunakan tangan kanannya. Gue yang tadinya menatap Devano langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, gue takut kalo berlama-lama menatapnya malah buat gue semakin tidak rela melepaskannya pergi.

"Nin, aku mohon tatap aku," pintanya dengan kedua tangan yang kini sudah memegang pipi gue. Devano mengarahkan wajah gue untuk menatapnya.

"Kamu nggak perlu mikirin cowok jahat kayak aku, yang kamu lakukan sekarang hanyalah memikirkan kuliah kamu dan kehidupan kamu kedepannya," ujarnya begitu lembut, sampai-sampai gue nggak bisa membendung air mata gue.

"Kamu orang baik, Dev. Aku salah udah bilang kamu jahat." Gua pun langsung memeluk Devano dengan erat, seakan pelukan ini sebagai cadangan kalo nanti gue kangen sama dia.

"Kamu nggak salah kok aku emang jahat, jahat karena ninggalin orang yang aku sayang dan jahat karena ...." Devano tidak melanjutkan ucapannya, dia memilih untuk menghapus air mata gue.

"Udah ya jangan nangis, nanti jadi jelek." Devano mencoba menghibur gue dengan senyuman manis yang terukir di wajahnya itu. Senyuman yang bakal gue rinduin setiap saat. Senyuman yang membuat gue tersadar akan ketulusan hati dia ke gue. Dan senyuman yang akhirnya membuat gue jatuh hati ke Devano.

"Aku emang udah jelek!" bantah gue disela-sela isakan.

Devano tertawa pelan. "Makanya supaya nggak tambah jelek berhenti dong nangisnya ya, sayang?" Devano kembali mengacak-acak rambut gue.

Masih didalam pelukan Devano, gue pun bersandar pada dada bidangnya.
Dimana tempat sandaran ini nggak akan gue rasakan lagi. "Kira-kira kamu disana bakal lupain aku nggak?" tanya gue begitu saja.

"Kalo kamu sendiri nggak lupain aku, aku janji nggak akan lupain kamu juga. Lagi pula aku mana mungkin melupakan seseorang yang udah buat hari-hari ku menjadi berwarna," jawabnya.

"Tapi kalo aku sendiri nggak lupain kamu dan malah kamu yang lupain aku gimana?" Gue pun menatap Devano. Dia pun hanya diam, seakan tidak mampu untuk menjawab.

"Kenapa kamu diam?" Gue pun mencoba menyentuh rahang Devano.

"Eh!" Devano tersentak oleh sentuhan gue, dialangsung menatap gue sambil tersenyum. "Aku janji akan selalu ingat kamu disini," ujarnya dengan menunjuk kearah dada nya. Maksudnya hati?

MY COLD HUSBAND (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang