Sebelum pulang dari kantor, gue menyempatkan diri untuk pergi ke pantry lebih dulu. Saat melewati ruangan kerja Galih, ternyata dia pun hendak keluar juga.
"Nindya, lo belum pulang?" tanyanya dengan raut terkejut. Nggak heran sih kenapa Galih kaget lihat gue masih berkeliaran di kantor padahal seharusnya dari setengah jam lalu gue harusnya udah pulang.
Tapi gue rasanya enggan banget buat pulang ke kostan. Gue takut saat sampai di kostan nanti gue malah teringat lagi sama Devano. Jujur mengenang kembali kisah-kisah gue dengan dia sering banget gue lakukan saat sendiri.
Bahkan beberapa hari lalu setelah balik dari rumah Bina, gue nggak bisa tidur karena setiap menutup mata selalu saja muncul wajah Devano dan berakhir gue menangis lagi sampai nggak bisa nafas karena hidung gue tersumbat. Begitu pun setiap malamnya.
Makanya untuk mencegah hal ini kembali terulang, gue lebih memilih berlama-lama di kantor meski badan gue rasanya udah lelah banget dan butuh istirahat. Dan sebagai tahapan untuk melupakannya semua tentang Devano udah gue musnahkan. Baik dari barang-barang pemberiannya sampai nomor teleponnya yang gue blokir dan gue hapus.
Ngomongin soal Bina, acara pertunangannya berjalan dengan lancar. Bina bahagia banget karena bisa bersama cowok yang sedari dulu di sukanya dan plot twist ternyata tunangan Bina itu juga suka sama dia. Beruntung banget kan Bina? Akhirnya biasa bersama dengan sosok yang dicintainya, sementara gue impian kayak gitu cuma jadi angan-angan aja sekarang. Nggak apa-apa, gue kuat kok!
"Gue tadi beresin berkas-berkas buat di serahkan ke atasan. Makanya belum pulang," sahut gue beralibi.
Galih mengangguk paham. "Kirain nggak ada yang jemput atau mau gue antar pulang?" tanyanya dengan kerlingan bercanda.
"Nggak dulu deh. Nanti kalo gue balik di antar sama lo, Mbak Lila ngamuk lagi karena ayangnya pulang sama cewek lain."
Sekedar informasi, Mbak Lila adalah karyawan di sini yang naksir berat sama Galih. Sayangnya Galih sama sekali tidak merespon perasaan Mbak Lila karena bukan tipenya.
Candaan gue kemudian membuat wajah Galih langsung kesal. "Ck tahulah. Btw lo mau kemana kalo bukan mau pulang?"
Gue terkekeh kecil sebelum menjawab pertanyaan Galih. "Ke pantry mau bikin kopi. Habisnya gue ngantuk, supaya di jalan nggak ketiduran ngopi dulu gitu," sahut gue.
"Gue nitip dong. Kebetulan mau ngopi juga, tapi kerjaan gue masih numpuk di dalam."
"Yeah! Mau enaknya doang lo. Ya udah, sebentar gue buatin."
Gue pun langsung melangkah menuju pantry yang berada tidak jauh dari ruangan Galih. Langsung saja gue mengambil dua gelas kosong dan di isi dengan bubuk kopi yang sudah di takar pas di sebuah bungkusan. Ya, kopi instan maksudnya.
Saat sedang mengaduk kopi, seseorang menyentuh bahu gue hingga membuat gue menoleh. Ternyata itu Mbak Rika.
"Eh Mbak, kirain siapa. Kenapa Mbak?"
"Di depan kantor ada yang cariin kamu tuh," ucap Mbak Rika. "Hah cariin aku? Tumben banget, emangnya siapa Mbak? Dia ada sebut nama nggak?"
Mbak Rika menggeleng. "Nggak ada sebut nama tadi. Dia cuma tanya kamu masih ada di kantor nggak, kalo ada boleh minta tolong panggilkan untuk bertemu dengan dia itu aja," jelas Mbak Rika.
Gue terdiam sejenak untuk menerka siapa kira-kira orang yang menunggu gue di depan kantor itu. Seketika mata gue membulat saat sebuah nama terlintas di benak gue. Nggak mungkin dia kan? Tapi kalo sampai benar dia ....
"Mbak Rika, aku boleh minta tolong nggak?" tanya gue tiba-tiba.
"Minta tolong apa Nindya?" Gue menyerahkan satu gelas berisi kopi pesanan Galih. "Saya titip ini ya ke Galih. Dia minta dibuatkan kopi ke saya, tapi kayaknya saya harus buru-buru untuk ketemu orang yang sedang menunggu saya di depan kantor itu," ujar gue dengan nada cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY COLD HUSBAND (TAMAT)
General Fiction(Sudah Terbit dan tersedia di Shopee Firaz Media) Story 1 Jodoh itu seperti kelopak bunga yang masih mengkuncup, yang belum diketahui wujudnya. 💙 Nindya tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan dilamar secara mendadak oleh seseorang yang tak terdu...