Jika ada pertanyaan, di dunia ini siapa yang paling kamu sayangi, maka akan kujawab tanpa berpikir. Shelomita.Bukan Dika? Ya, bukan laki-laki itu, yang hampir tiga tahun bersamaku.
Apakah dia kurang baik? Tidak, Dika baik. Amat baik malah, bahkan sampai akhir cerita kami, dia tetap yang terbaik.
Tidak terasa air mataku menetes. Beruntung, dalam perjalanan ini, tepatnya di gerbong kereta kelas esklusif tidak banyak orang hingga aku puas menangis. Meratapi hidup.
**
Aku menatap Shelo iba. Bagaimana dia bisa merahasiakannya selama ini? Apakah aku tidak cukup layak untuk dijadikan tempat sampah? Bukankah aku membuang semua keresahan padanya.
Shelomita menangis tergugu.
Dika melepas jaket untuk disampirkan pada bahu telanjang Shelo. Gadis itu terlihat sangat rapuh sampai perlu ektra hati-hati saat menyentuhnya.
"Ayo pulang, kamu perlu istirahat." Dika memapah Shelo agar menuruti perintahnya dan aku mengekori.
Tatapan orang-orang tertuju pada kami. Sepasang kekasih yang membawa pergi salah satu pelayan dari klub malam. Ya, Shelo. Dengan alasan yang baru akan kutanyakan nanti, sesampainya di rumah, kepergok tengah dirayu oleh pengunjung.
Shelo menolak, tapi tetap dipaksa, sampai terjadi adegan tarik-menarik yang jelas dimenangkan oleh pengunjung gila tersebut. Untunglah Dika bergerak cepat, sebelum sahabatku dibawa pergi---Dika menendang pria itu hingga tersungkur.Shelo masih terguncang, gadis itu menangis sesenggukan di bahu sampai tertidur. Aku menatap Dika meminta pendapat dan laki-laki tersebut menyuruh agar tetap diam di tempat. Begitu mobil yang kami tumpangi memasuki rumah---Dika lagi-lagi meminjam mobil temannya dan kini tidak tersinggung karena dia terlihat seperti seorang supir bagi dua wanita---dengan cepat keluar kemudian menggendong tubuh rapuh itu ke dalam.
Aku baru merasakan menjadi orang tak berguna karena Dika mengambil alih semua tindakan yang harusnya kulakukan untuk Shelo.
Membawa gadis itu ke kamar, membaringkannya di kasur, menyelimutinya dan memberi tatapan iba? Aku tidak yakin dengan pemikiranku yang terakhir.
"Besok jangan memaksanya cerita, kamu cukup bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, dia perlu waktu. Sebuah pelukan akan sedikit mengobati luka hatinya." Dika mengatakannya sambil mengenakan jaket, bersiap untuk keluar.
"Tetap di sini dan temani dia!"
Aku mengangguk.
Dika berbalik sebelum benar-benar keluar, tangannya terulur untuk mengelus puncak kepalaku, "yang dibutuhkannya pendengar, bukan hakim."
Lagi-lagi aku mengangguk dan setuju atas kalimatnya.
...
Untuk pertama kalinya aku cemburu. Apa itu salah? Melihat perlakuan Dika pada Shelomita yang sungguh butuh perlindungan, apa begitu kekanakan?
Aku tahu Shelo memang gadis yang lemah untuk saat ini. Namun apa perlu seorang Dika Darmawan harus secara terang-terangan menunjukkan perhatian?Aku kekanakan dia bilang?
Anggap saja begitu. Tidak ada perempuan yang senang menyaksikan bagaimana pacar mereka begitu melindungi perempuan lain biar pun sahabat baik dari pasangannya.
Maka di sinilah aku sekarang, merasa sakit dan kecewa karena laki-laki yang kamu cintai memilih menemani sahabatmu.
...
"Maafkan aku." Kurasakan elusan halus pada puncak kepala. Aku tahu siapa, dia adalah laki-laki dari penyebab masalah hari ini. Dika Darmawan.
"Aku tidak suka," ucapku tanpa mau mengangkat kepala, menghindari tatapannya.
"Dia butuh seseorang, Rum. Shelo sedang terluka." Masih saja kudengar pembelaan untuk gadis itu.
"Dia punya Adrian," pasalku tidak terima.
"Adrian tidak ada. Lagi pula, harusnya kamu temenin dia untuk saat ini."
Lagi-lagi menyalahkanku. Kurang apalagi? Menjaga Shelo semalaman, menenangkannya, tidak bertanya alasan di balik pekerjaan sampingan yang dilakoninya. Serius, itu masih kurang?
"Rum, temanmu itu sekarang tambah sedih karena berpikir sahabat baiknya marah padanya."
Biar saja. Apa dia saja yang boleh sedih? Aku juga punya perasaan untuk dijaga.
"Rum, jangan kekanakan begini?"
Hinaan itu lagi. Iya, aku kenakan. Lalu dia mau apa? Minta putus setelah sadar pacarnya kekanakan? Namun itu hanya dalam hati. Aku mencintai Dika apa adanya, tapi sekarang aku kesal.
Aku menyingkirkan tangannya di puncak kepala. Sudah dikatai kekanakan, diperlakukan seperti anak-anak lagi. Jadi siapa penyebab dari sikapku?
Terdengar kekehannya. Karena aku masih menelungkupkan diri jadi tidak bisa melihat bagaimana responnya.
"Aku merindukanmu," ucapnya kemudian kurasakan sesuatu yang cukup berat dan dingin menimpa kepala.
"Aku bawa sekotak es krim. Kalau kamu ngambek terus, ini akan meleleh. Ayo dimakan!"
Fix. Dika yang membuatku kekanakan. Semua perlakuannya yang menyebalkan tapi sayangnya kusukai ini mau tak mau memicu perasaan sayang makin berlipat.
Aku segera mengangkat kepala dan begitu senang mendapat hadiah sekotak es krim dengan tiga macam rasa itu.Dika tersenyum, "apa aku dimaafkan."
"Tergantung. Kalau diulang aku akan langsung meninggalkanmu," ucapku dengan mulut penuh es krim. Aku sungguh tidak sabaran karena memakannya langsung tanpa pura-pura menolak dulu.
Ya, dalam beberapa hal aku lebih suka apa adanya. Tidak mau repot-repot merajuk untuk mendapat perhatiannya. Dan yang kulakukan tadi benar-benar cemburu. Murni cemburu.
***
Bersambung....Oke, part ini masih aman ... besok, yang belum punya ktp jangan baca! Jangan baca!
Cerita ini kenapa hanya malam postingnya? Ya, karena bocah biasanya belajar trus tidur.
Siap untuk klik 🌟 di pojok bawah?
Terima kasih,
Loopies FM, mahluk immortal 192 tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau dan Jogja yang Ditinggalkan
RomanceAku mencintai kota ini sama besarnya dengan rasa cinta kepadamu. Tidak ada alasan membenci, sebagaimana juga tidak akan benci terhadapmu. Kenapa? Ada begitu banyak alasan dan aku tidak akan mampu menyebutkannya di saat hati dipenuhi bunga-bunga keba...