Bagian ke_sebelas (AKDJYD)

532 70 2
                                    

...

"Ada tamu untukmu?" Malika melongok melalui celah pintu. Dia tidak masuk.

"Siapa?" tanyaku karena tak biasanya ada orang yang berkunjung ke kostan.

"Cowok cakep, kayaknya tajir." Malika terkekeh. Aku penasaran siapa yang dimaksud?

Aku segera beranjak dari kasur, mengekori Malika sembari merapikan daster yang kukenakan. Sampai di ruang tamu terbukti jika omongan tadi benar, sababatku tidak membual. Namun yang mengherankan, kenapa dia masih berani datang setelah apa yang dilakukannya padaku?

Meminta maaf? Entahlah.

.

Kami telah berpindah ke taman yang tidak jauh dari kost-an. Duduk bersampingan pada bangku panjang sembari menatap kolam kecil yang tenang.Aku tahu, terlihat begitu tapi jangan tanya kedalamannya. Seperti laki-laki di sebelah.

"Maaf," ucapnya setelah kami saling mendiamkan diri. Mungkin tadi dia bingung harus mulai dari mana.

"Untuk?" tanyaku balik.

Adrian menoleh ke arahku, mencoba tersenyum---lantas menggeleng pelan. Kemudian kami kembali saling mendiamkan.

"Derick marah padaku," ungkapnya yang kali ini berhasil membuatku menoleh padanya, ingin mengetahui kelanjutan cerita. Adrian tersenyum simpul.

"Kalian benar-benar pacaran?" Adrian menyipit curiga.

"Apa?"

"Kamu begitu bersemangat saat aku membahas Derick, beda saat membahas yang lain."

"Aku selalu bersemangat jika menyangkut murid-murid, Derick salah satunya," aku tidak terima jika Adrian curiga pada kami dan berpikir memiliki hubungan khusus. Mana mungkin?

"Apa aku harus menjadi muridmu agar dapat perhatian?"

Aku tidak tahu harus merespon bagaimana untuk pertanyaan konyol barusan. Seorang Adrian merasa cemburu atau aku yang salah tangkap. Namun alih-alih mengucapkan sesuatu, aku justru tidak sadar memasang muka ingin tahu.

Adrian kembali tersenyum, lalu mendekatkan diri hingga kami nyaris tanpa jarak. Dapat kurasakan hembus napasnya yang teratur.

Dan tidak ada yang tahu siapa yang tersulut lebih dulu. Adrian benar-benar memangkas jarak dan aku tidak menolaknya sedikit pun, malah menikmati setiap invasinya. Laki-laki itu menyalurkan perasaan dalam kegiatan kami.

Lalu kesadaran menguasai kembali. Dengan gerakan cepat tanganku segera mendorongnya dan Adrian terkekeh pelan. Tidak. Jangan berpikir macam-macam.

Aku memalingkan muka, meraup udara sebanyak mungkin karena tiba-tiba saja tubuh menjadi gerah. Entah dengan laki-laki di sebelah? Dan aku harus memikirkan alasan untuk pergi dari sini karena berlama-lama dengannya iman bisa runtuh.

Tuhan, mohon ampuni aku.

"Aku harus pulang, ini sudah malam," ucapku seraya bangkit tanpa menoleh. Namun gerakanku terhenti ketika sebuah tangan mencekal.

Adrian begitu cepat dan tak terduga. Laki-laki itu kembali melakukan hal yang tak semestinya kami lakukan. Pacar bukan, pasangan sah apalagi? Ini salah tapi aku lagi-lagi terpedaya.

Aku tidak menolak bahkan ikut berkontribusi. Sial. Tubuh kami semakin dekat dan rapat. Dapat kurasakan perasaannya dalam ciumannya yang menggebu.

Perasaan ingin memiliki.

***

"Setelah adiknya kini kakaknya? Ckckckkk." Malika menoleh padaku, merasa heran.

"Apa kamu juga berpikir Derick menyukaiku?" tanyaku balik.

"Trus apa, dia mengekorimu sepanjang hari selama dua tahun, menyatakan perasaannya di depan banyak orang?" Malika tidak mau kalah.

"Dia tidak serius," pasalku.

"Aku rasa dia akan mendiamkanmu besok."

.

Tebakan Malika benar. Derick tidak menyapa seperti biasa, bahkan anak itu terlihat menjaga jarak, juga menghindari bertemu pandang. Bukan hanya aku yang merasa janggal, seisi kelas pun menatap ingin tahu.

"Miss marahan dengan Derick?" Lola menghampiriku untuk menyerahkan esai.

"Tidak," jawabku jujur.

"Dia aneh pagi ini, uring-uringan, ngamuk nggak jelas," ungkapnya memberitahu.

"Di mana?" aku beranjak dari kursi.

"Di belakang sekolah. Sekarang mungkin sedang merokok."

Aku bergegas ke tempat yang disebut bersama Lola.

Saat sampai di sana, Derick tengah menikmati rokok yang entah dia dapat dari mana, membumbungkan asapnya ke atas, lantas tersenyum. Jenis senyum memprihatinkan, seolah ada luka yang ingin dia luapkan tapi tak bisa. Maka pelarian satu-satunya hanyalah benda terkutuk itu.

Aku tak mengatakan apapun, langsung menghampirinya dan mengambil rokok yang tinggal separuh. Derick tampak kaget, kemudian ketika mendapati Lola dia segera menatap garang pada gadis itu dan memberikan ultimatum.

"Apa yang kamu lakukan, Derick?"

"Merokok. Miss tidak lihat?" jawabannya seolah menantangku.

"Kamu tahu ini pelanggaran."

"Lalu Miss mau apa, melaporkannya ke kepala sekolah atau pada pacar barumu?"

"Derick!" aku tahu siapa orang terakhir yang dimaksud, entah kenapa penyebutannya dengan nada tidak suka.

"Aku membiarkan kalian dekat agar dia menilaimu, bukan mengencanimu!" Derick mengungkapkannya dengan raut putus asa.

"Derick?!"

"Miss tidak tahu, dia playboy. Biar pun dia kakakku, tidak akan kututupi. Dia mengencani wanita tidak lama, hanya untuk membalas sakit hati pada mantannya. Aku tidak mau miss menjadi korban berikutnya. Aku---" Derick tidak melanjutkan kalimatnya karena menangis. Dan kenyataan tersebut menyakitiku.

Jika benar Adrian melakukan itu hanya demi kepuasan hatinya, bukankah berarti Derick menangisi kebodohanku yang begitu mudah jatuh pada kakaknya?
Tidak. Adrian tidak mungkin melakukan itu? Kami sama-sama tahu rasanya dikhianati, tapi kenapa aku meragukannya? Kedekatan kami begitu cepat.

"Berhenti menangis dan kembali ke kelas. Lola, kamu rahasiakan ini dari orang lain."

"Baik, Miss." Lola membantu Derick berdiri sementara aku berusaha menahan airmata yang mulai menggenang di ujung mata, siap untuk ditumpahkan.

Kenapa sesakit ini jika bayangan itu benar? Adrian hanya mempermainkanku.
Aku berencana untuk hidup lebih bahagia dari sebelumnya dengan sebisa mungkin berbuat baik pada siapa pun, termasuk mereka yang pernah menyakiti.

Apa ini salah? Apa terlalu serakah? Atau itu kemustahilan? Dengar, aku tidak meminta kesedihan untuk orang lain, aku turut berdo'a demi kebahagiaan mereka.
Aku tidak berbohong. Aku ingin mereka juga bahagia, dengan kehidupannya.

Flashback end....

Kereta masih melaju. Dari ibu kota, menuju daerah istimewa. Berkali-kali aku berpikir, ini mungkin akan lebih sulit. Namun menghindar bukan jalan yang tepat. Menghadapinya dengan berani justru solusi terbaik.

Shelomita, perempuan itu kembali menghubungi setelah lama tak terdengar kabar. Entah dari mana dia mendapatkan kontakku, yang jelas dia sudah bekerja keras. Tiga tahun aku mengubur diri, menjauhi dunia juga hingar-bingarnya, menjadi manusia tak tersentuh, dan menutup rapat jati diri.


***
Bersambung....

Vote  ya, terima kasih.

Salam, mahluk immortal 192 tahun, Loopies FM.

Aku, Kau dan Jogja yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang