Bag. 10
...Adrian begitu gigih membujuk agar aku membantunya---menghancurkan Dika---tentu saja kutolak. Bukan. Bukan karena masih cinta, tapi tidak ada yang baik dari sebuah dendam.
Susah payah melupakan pengkhianatan mereka, kenapa kini harus kukorek kembali luka lama?
"Tidak!" jawabku tegas.
"Please." Adrian masih memohon.
"Dengar, aku sudah tidak mau peduli tentang mereka." Setelah mengatakan kalimat tersebut, telepon segera kumatikan. Adrian akan terus memohon dan aku mungkin saja berubah pikiran.
Jadi lebih baik begini.
Malika menatapku penuh tanya tapi enggan mengutarakan. Selalu begitu. Dia tahu mana ranah yang bisa diikutcampuri dan mana yang tidak.
"Makan?" Malika menunjuk piring yang telah berisi lontong dan gudeg.
Aku menatapnya lama. Tidak.
"Aku kangen Jogja dan tadi pas banget lewat rumah makan Mbok Sum, jadi beli deh," ungkapnya riang.
"Makanlah, aku sudah kenyang," jawabku sambil lalu.
Malika memanggil tapi kuabaikan. Tidak tahukah, sampai sekarang aku belum bisa menerima apapun yang berkaitan dengan kota tersebut. Jogja seperti sebuah luka. Jadi mengingatnya seolah menabur garam di atasnya. Perih.
Malika mengetuk pintu kamar sementara aku tergugu tepat di depannya. Kami terhalang kayu setebal tiga inchi, jadi sebisa mungkin kubekap mulut agar dia tidak mendengar isakan.
Masih terasa menyakitkan.
"Rum, ada apa?" tanyanya khawatir, gadis itu terus saja mengetuk.
"Tidak, aku hanya lelah dan butuh tidur," jawabku apa adanya.
"Baik, istirahatlah. Jika perlu sesuatu aku ada di ruang tengah."
Bodohnya aku mengangguk, tentu saja Malika tidak melihatnya. Namun tak lama terdengar suara langkah menjauh, jadi bisa dipastikan gadis itu cukup tahu bahwa yang kubutuhkan adalah sendiri, meratapi nasib.
Aku memang cengeng. Selalu setiap mendengar sesuatu yang berhubungan dengan Jogja masih belum dapat mengontrol perasaan. Padahal apa yang salah dengan kota tersebut? Laut yang indah, suasana yang damai, jauh dari kesan gemerlap. Bukankah sempurna dijadikan tempat tinggal, menghabiskan masa tua?
Akan tetapi di sanalah luka itu. Bayang Dika dan Shelomita yang saling mencumbu satu sama lain begitu menjijikkan. Pernahkah mereka memikirkanku saat melakukan pengkhianatan tersebut? Tidak. Mereka amat kejam dan tahu bagaimana membunuh tanpa menyentuh.
.
[["Aku ingin menghabiskan masa tuaku di sini. Bersamamu."
"Aku juga." ]]
Terasa menyakitkan mengenang semua itu. Tidak. Aku tidak berpikir untuk mengakhiri hidup meski tubuh penuh luka. Sama seperti ketika usiaku delapan belas tahun, saat ayah dan ibu memilih berpisah. Mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan putri semata wayangnya yang tergugu di dalam kamar gelap serta dingin. Sendirian.
Kupikir mereka baik-baik saja, tapi nyatanya penuh kepalsuan di dalam. Ibu menahan semua luka itu sendirian demi menjaga agar seorang Arum Dalu memiliki wali serta tidak diolok-olok. Namun perasaan itu seperti bom waktu, ketika waktu yang ditentukan tiba, meledaklah semua.
Ibu memilih berpisah dan ayah tidak perlu menutupi keluarga barunya. Aku sudah cukup dewasa saat itu di pikiran mereka, bisa menentukan akan bersama siapa? Sayangnya, seorang anak akan tetap berperan sebagai anak sedewasa apapun dia. Alih-alih tinggal dengan salah satu, aku justru hidup sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau dan Jogja yang Ditinggalkan
RomanceAku mencintai kota ini sama besarnya dengan rasa cinta kepadamu. Tidak ada alasan membenci, sebagaimana juga tidak akan benci terhadapmu. Kenapa? Ada begitu banyak alasan dan aku tidak akan mampu menyebutkannya di saat hati dipenuhi bunga-bunga keba...