Bagian Dua Belas (AKDJYD)

545 69 6
                                    

Adrian, laki-laki dengan garis wajah yang tegas, alis hitam tebal, juga mata setajam elang. Maka tidak heran kesan pertama mengenalnya adalah sosok dingin dan misterius. Namun kadang dia bisa terlihat sangat rapuh, menangis kemudian tertidur. Lucu bukan? Bertolak-belakang dari apa yang ditampilkan.

Lalu Dika, laki-laki yang memiliki senyum penuh pesona, mata yang ramah, juga kepribadian mudah berbaur, membuatnya dikenal sebagai nice guy. Namun di balik semua itu, dia tentu memiliki kekurangan lazimnya manusia lain dan hal tersebut adalah emosi yang terlanjur meledak. Siapa pun tidak bisa menghentikannya.

Apakah aku membandingkan keduanya? Ya. Mereka dua orang dengan pribadi berbeda yang bisa dikatakan saling bertolak-belakang. Jadi keduanya tidak bisa disamakan satu sama lain. Hal lebih yang dimiliki Adrian ialah dia yang tidak akan menyakiti fisik lawan jenis semarah apapun dirinya. Seperti sekarang saat aku berusaha mengorek di balik rencananya mendekatiku.

Balas dendam atau tulus?

Laki-laki itu tampak kesal dan siap marah, tapi Adrian adalah Adrian yang tidak akan menyerang fisik, dia memiliki ketenangan yang patut diacungi.

"Derick mengatakan sesuatu?" Adrian menatap ingin tahu. Matanya seakan menguliti hidup-hidup. Tidak menyerang fisik bukan berarti dia bisa diabaikan begitu saja, justru caranya mengintimidasi adalah hal paling menakutkan.

"Apakah anak kecil itu mengatakan aku sering berganti wanita? Lalu setelah mendapatkan dibuang begitu saja?" Adrian melangkah dengan tenang, mendekatiku yang berusaha menghindari tatapannya.

Sungguh, harusnya aku tidak mengiyakan ajakan pergi bersama setelah mendapat informasi dari Derick tentang kakaknya. Kini rasa takut mulai menyambangi mengingat dia membawaku ke tempat yang jauh dari keramaian. Satu lagi, Adrian hanya menyukai tempat-tempat sunyi yang bisa memberinya ketenangan.

"Kupikir Arum adalah wanita berbeda setelah apa yang telah dia alami, tapi ternyata sama saja." Dia maju dan aku mundur.

Saat tidak memperhitungkan dengan apa yang ada di belakang, Adrian segera menyambar tubuhku cepat. Hampir saja dan aku refleks memeluknya karena takut.

Adrian tersenyum geli, "harusnya kamu tidak bergantung pada orang yang kamu curigai."

"Masa bodo. Jika berani melepas aku akan membunuhmu," ancaman tersebut malah semakin membuatnya senang. Tawanya seolah mengejek.

"Tidak bisa berenang, he?" Adrian menunduk untuk melihat jawabanku.

Aku mengangguk malu.

Baru sedetik, laki-laki itu melakukan sesuatu yang tak terduga hingga membuatku menjerit takut dan semakin mempererat rangkulan di lehernya.

"Adrian!"

Adrian membawaku mendekati kolam, bahkan tidak tanggung-tanggung saat berusaha melemparkan diri ke dalamnya. Bersamaku.

Kami tenggelam. Entah apa yang dilakukan Adrian, di tengah kepanikan dan usahaku menyelamatkan diri yang tak kunjung mencapai permukaan, sama sekali tidak terlihat gerakan selain tangan serta kakiku.

Aku hampir frustrasi dan menyerah karena semakin banyak bergerak bukannya naik ke permukaan malah tubuh semakin merosot ke dasar.

Adrian, aku akan menghantuimu jika ini akhir hidupku,' sebuah ancaman yang sia-sia karena tidak lama kurasakan sepasang tangan menangkap dan membawa ke permukaan.

Secara alami aku merangkulnya erat dan tak mau lagi terlepas. Adrian tidak memasang muka bersalah justru tersenyum geli.

Tidak ada yang lucu dari ketakutan orang lain. Aku merasa akan mati tadi. Ingin sekali kupukuli dia tapi saat ini yang terjadi aku malah menangis dan terisak di ceruk lehernya. Biar saja aku dianggap plinplan oleh Tuhan.

Aku, Kau dan Jogja yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang