Bagian empat belas (AKDJYD)

564 71 8
                                    

Namaku Arum Dalu yang berarti Sedap malam. Bunga yang hanya mekar dan memberi wewangian di malam hari, sementara pada siangnya seperti tanaman biasa. Tidak spesial.

Aku tidak tahu maksud Ibu memberikan nama tersebut, Beliau hanya mengatakan semua manusia akan memberi hal terbaiknya di waktu yang berbeda. Kita tidak bisa memaksa seseorang harus menjadi ini di jam sekian, mengharuskannya berjuang habis-habisan tanpa mempertimbangkan potensi lain. Salah satunya, Waktu.

Ada manusia yang cemerlang di usia belasan, menjadi bintang yang dielukan tapi meredup di waktu senja. Kemudian ada manusia yang baru sukses di umur tujuh puluh tahun, karena masa mudanya digunakan untuk menjelajahi dunia, bersenang-senang. Tidak ada yang sama.

...

Aku tidak lagi menyimpan dendam untuk Shelomita. Bukankah dulu aku pernah mengatakan, dia adalah satu-satunya orang yang kupercayai di dunia ini.

Terlepas dengan apa yang dilakukannya padaku, perempuan itu masih sahabat terbaik. Aku hanya tidak bisa menerima caranya menyakitiku. Dia mengambil secara diam-diam dan membuat hubungan kami renggang.

Aku sungguh tidak membencinya.

Shelomita mengajari bahwa hidup tidaklah mudah. Dia mengalami banyak kesulitan dan orang-orang terdekatnya justru menjadi sebab kehancuran tersebut. Ayahnya pemabuk, ibu yang tidak bisa apa-apa, lantas saat remaja, seorang yang dianggap berjasa malah menjerumuskannya ke dalam dunia malam.

Aku tahu kenapa dia tidak bisa percaya dengan siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Dia ingin bahagia. Namun cara yang dipilihnya salah.

Aku merindukannya, Shelomita.

[Flashback on....

"Kamu Arum kan?"

"Namaku Shelo, aku yang mengirimimu pesan dan akan menjadi pemandumu mulai dari sekarang."
.
Aku menangis mengingat pertemuan pertama kami.

Di jalan Malioboro. Ketika itu aku memang menunggunya, tapi beberapa orang mengganggu hingga akhirnya dia datang menolong.

Dia Shelomita, gadis yang sering tersenyum juga ramah itu ternyata menyembunyikan lukanya sangat rapi. Padahal aku sudah berpikir bahwa apa yang kujalani buruk, ternyata keliru.

...

Tidak ada perubahan signifikan dengan kondisi Dika. Laki-laki itu hanya tidur, memejamkan mata berhari-hari lamanya. Membuat kantung mata Shelo semakin tebal. Aku sungguh tidak tega menyaksikan pemandangan ini. Terlepas dulu pernah menyumpahi mereka saat patah hati, tapi sekarang keadaan berbeda.

Kuusap punggung Shelo, perempuan itu menoleh sebentar kemudian berbalik seolah menunjukkan bagaimana pilu hatinya. Dia terus menunduk dengan jemari tertaut bersama sang suami. Ya, mereka menikah enam bulan pasca kepergianku.

Saat itu aku benar-benar jatuh dan menjadi pesakitan. Aku bilang tidak peduli, tidak mau tahu, tapi nyatanya tetap mencari kabar tentang keduanya. Aku menutup diri dari dunia, tapi diam-diam menunggu kabar perkembangan mereka. Sungguh berbanding balik bukan? Namun itu kulakukan untuk Shelo.

Aku pernah bilang, di dunia ini dialah orang yang kupercayai.

Aku melihat kebohongan pada mata Shelo di pertemuan terakhir kami. Dia mempertahankan ketidakjujuran mulutnya sembari menatap sayu. Ada hal yang disembunyikannya yang tidak kuketahui saat itu.

"Dia akan sadar," kuharap bisa sedikit menghiburnya.

Shelo mengangguk lemah.

...

Di luar kamar inap aku memeriksa telpon genggam, tidak ada notifikasi dari Adrian. Baru beberapa jam aku sudah merindukan laki-laki itu dan berharap dia memberi kejutan. Mungkin tiba-tiba muncul di sini meski terkesan mustahil.
Bagaimana pun kami berempat memiliki masa lalu yang saling berkaitan.

...

"Kamu makan dulu ya?" Aku menyodorkan sesendok nasi ke mulut Shelo. Perempuan tersebut bergeming. Tidak menggeleng juga tidak bereaksi apapun.

"Makan sedikit agar kamu punya tenaga," bujukku. Lama-lama sedih melihatnya seperti ini.

"Kamu jangan gini, Shel. Kasihan tubuhmu," ucapku kemudian menunduk.

Tidak. Aku tidak boleh menangis. Di depan orang yang terpuruk aku harus terlihat kuat. Bukan malah ikut hanyut.
Tak berselang lama kusadari Shelo merespon, tangannya maju dan mengambil alih sendok yang tadi kupegang. Beberapa suap masuk ke mulut, aku menatap haru. Namun hanya beberapa, setelah itu dia justru terisak. Entah apa penyebabnya.

"Shel," panggilku lirih hampir serupa bisikan.

Shelo menggeleng dan terus terisak. Aku meletakkan piring dan mengambil sendok kemudian memeluknya. Aku merasakan isak memilukan dari perempuan itu untuk pertama kalinya dalam persahabatan kami.

Aku terus memeluk dan berharap tangisnya reda.

"Maaf," ucapnya di sela isakan.

Aku tidak tahu dia minta maaf untuk apa tapi aku hanya mengangguk agar dia diam dan tidak menangis lagi. Ini sungguh menyakitkan---melihatnya membuatku tersiksa.

...

[[ Untuk menjalani perpisahan, kau cukup tak lagi menoleh. Kebanyakan pemicu rindu adalah mengenang yang lewat dan keengganan untuk melepas.]]

...

Aku meletakkan bunga terakhir pada makam yang tanahnya masih basah, mengheningkan rasa demi menghargai dulu kami pernah bersama. Tidak ada lagi dendam, aku menginginkan kebaikan untuk perjalanan panjangnya.

Dika Darmawan, laki-laki dengan aura yang bersinar akhirnya meredup oleh rasa bersalah pada seorang perempuan.

Sejujurnya itu tidak perlu, aku hidup dengan baik pasca hari itu. Meski tertatih.

Harusnya yang dipikirkan ialah Shelomita, sang istri yang keadaannya semakin menyedihkan. Berkali-kali pingsan saat menyadari laki-laki yang dicintai pergi dan tak akan kembali.

Kondisi Shelo bertambah buruk dengan kenyataan dirinya tidak bersedia makan padahal ada kehidupan lain yang menjadi tanggungannya. Ya, perempuan itu hamil dua bulan.

"Bujuklah Shelo agar mau bertahan, katakan padanya kau sangat menyayangi kehidupan mereka." Aku berbicara meski tahu tidak akan ada yang menyahut.

"Aku tidak membencimu, itu hanya di awal-awal saat mengetahui hubungan kalian. Aku memang menangis, terluka dan ingin membunuhmu. Namun semua hanya emosi sesaat. Kau tahu bagaimana aku tidak bisa menyakiti orang lain."

Jeda, aku mengambil napas banyak-banyak.

"Kau akan menjadi seorang ayah dan aku adalah tante untuknya, bukanlah sesuatu yang buruk. Aku akan menyayanginya dan akan selalu hadir dalam pertumbuhannya."

Rintik mulai turun membasahi.

.

"Makanlah," ucapku pada perempuan yang sudah mirip patung. Tidak ada respon apapun, tapi aku tetap bersikeras.

"Sampai kapan kalian menyiksaku?" ungkapku sedih.

"Aku bisa saja tidak peduli. Namun balik lagi, kalian yang kumiliki setelah keluargaku hancur."

"Shel, aku mohon kembalilah. Aku menyayangimu." Kupeluk tubuh kaku sahabat terbaik yang pernah kumiliki.

Tidak masalah, batu akan luluh jika ditempa air setetes demi setetes.

***
Bersambung....

Vote ya 😉
Salam, mahluk immortal Loopies FM.

Aku, Kau dan Jogja yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang