Bagian lima belas (AKDJYD)

558 71 5
                                    

Hari ke tujuh atau hari terakhir keberadaanku di kota ini.

Aku harus segera kembali ke ibu kota, melanjutkan hidup, juga memulai lagi kegiatan mengajar. Sudah lebih dari yang kuajukan pada pihak sekolah. Malika pun berkali-kali menghubungi, menanyakan kabar apakah aku baik-baik saja, kapan pulang, juga pertanyaan-pertanyaan remeh lain.

Saat keluar dari hotel, seseorang datang. Aku tidak tahu siapa tapi terlihat cukup ramah. Dia memperkenalkan diri sebagai kuasa hukum dari Dika Darmawan.

.

[[ Aku memang tidak berhak mengisi kehidupanmu sekali lagi, tapi aku masih berharap mendapat kesempatan untuk menuntaskan janji kita.

Rum, aku sangat menyayangimu. Namun bagi seorang sepertiku yang berkubang dosa, sungguh tidak pantas menyandingmu. Bahkan bermimpi saja sangat mustahil. Kamu adalah bintang, lantas pria bungkuk berharap memeluknya? Untuk menggapai saja tidak mampu.

Rum, berikan semua kebencian itu padaku. Jangan pada dunia, karena kamu berhak bahagia. Jemput impian dan lewati kerikil tersebut dengan lapang.

Maaf pernah menjadi batu sandunganmu. Maaf pernah membuatmu menangis. Maaf tidak bisa menghapus lukamu. Aku tidak berguna.

Titip Shelo.

Aku menyayangimu, Rum. ]]

Surat itu berakhir dengan kalimat yang menyakitkan. Tidak ada rasa sayang yang menghadirkan luka dan pengkhianatan. Lalu apa yang dipikirkannya dengan menitipkan Shelo, apa aku babysister? Lucu bukan?

Kuremas surat tersebut kemudian melihat ke tumpukan dokumen surat kepimilikan rumah di pesisir pantai. Dika masih mengingat rupanya. Buat apa dia memberikan itu di saat aku tidak lagi menginginkannya?

.

"Kamu akan pulang?" Shelo memberi pertanyaan yang sudah dia tahu jawabannya. Aku mengangguk kemudian menepuk pelan pundaknya.

"Jaga diri, aku akan sering menelponmu nanti," ucapku sedikit menghibur.

"Janji?" Shelo memasang wajah sendu, aku mengangguk mantap.

Kami kemudian saling membungkam mulut masing-masing. Ada yang ingin dikatakan tapi aku tak cukup memiliki keberanian. Tertahan di ujung tenggorokan.

"Hati-hati di jalan. Kabari aku saat sampai!" Perintahnya.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk.

"Boleh aku bertanya satu hal?"

Sepertinya Shelo memang menunggu pertanyaan tersebut terucap dariku, buktinya tidak ada raut kebingungan dan dia terlihat siap menceritakan semua. Hal yang harusnya diketahui sejak dulu agar tidak ada kekeliruan dan kebencian pada laki-laki itu.

...

Dika Darmawan memang brengs*k. Dia menjadikanku tokoh antagonis setelah kesakitan-kesakitan yang kualami.

...

"Mendengarkanmu? Untuk apa aku mendengarkanmu?" Kutepis tangan Adrian saat berusaha mencekal. Apa dia tidak tahu aku tengah buru-buru?

"Rum, kita bicara sebentar," ucapnya dengan nada putus asa. Lihatlah, dia sangat tidak terawat. Cambangnya tumbuh dan laki-laki itu memiliki kumis tipis.

Apa Adrian banyak berpikir?

"Maaf aku sibuk." Aku berlalu hingga baru beberapa langkah kembali kurasakan cekalannya. Adrian belum menyerah.

"Lepas!" Aku berseru. Masa bodo jika orang-orang memperhatikan kami. Aku tidak peduli lagi dengan tatapan mereka yang mungkin mengira aku tengah merajuk.

Kenapa harus malu? Adrian berbuat lebih kekanakan dan dia dengan santainya hanya mengatakan maaf.

Aku menunggunya datang sejak beberapa hari lalu. Berpikir positif jika dia tidak bisa lagi bertemu dengan Shelo, maka sekembali dari Jogja tetap berharap kemunculan laki-laki itu di pintu kost-an seperti biasa. Apa hasilnya? Sama saja.

Adrian justru mengirim Derick terlebih dahulu untuk menguji kemarahanku.

Adrian melepaskan tanganku dan tidak lagi mengejar. Dia sungguh tidak peka atau bodoh? Segitu saja usahanya membujuk? Langkah lebarku makin mantap meninggalkan parkiran sekolah untuk menuju halte.

Aku tidak butuh lagi panggilan-panggilan dengan nada iba dari Derick.

Tidak. Aku mengabaikannya.

.
Flashback on....

"Kami berdua memang saling mengenal sebelum dirimu datang. Mas Dika sering datang ke klub bersama teman-temannya. Salah satu dari mereka pernah menyewaku dan sejak hari itu aku tahu siapa namanya." Shelo tersenyum saat mulai bercerita.

"Di antara mereka, hanya Mas Dika yang tidak pernah ikut minum. Dia hanya menemani teman-temannya dan tidak mempedulikan perempuan sepertiku. Hingga suatu hari kami bertemu dalam situasi yang berbeda, dia melihatku sebagai seorang mahasiswa dan tidak mengatakan apapun untuk mengungkapkan status yang kusandang, meski itu bisa saja diucapkannya."

"Mas Dika tetap memperlakukanku seperti pada manusia pada umumnya. Itulah mengapa aku mulai menyukainya."

Shelo menatapku kemudian menggenggam jemariku erat. Menyalurkan kegelisahan yang dirasakannya. Aku tahu tidak mudah bagi dirinya mengenang kembali kisah mereka.

"Hingga kemudian kami tidak bertemu cukup lama, padahal saat itu aku mulai bisa melepaskan diri dari dunia malam berkat ucapannya. Dan dari sanalah awal kita saling mengenal."

Genggaman tersebut makin erat. Jadi aku hadir ketika dia telah menjadi dirinya yang baru? Seorang Shelomita, mahasiswa tingkat akhir yang bekerja di kafe untuk mencukupi kebutuhan.

Aku membalas genggaman tersebut dengan mengusap lembut jemarinya menggunakan tangan lain. Tersenyum. Aku tidak masalah mendengarkan semua, perasaanku sudah lebih baik. Dan akan lebih mudah jika kami saling terbuka, juga melepaskannya agar tidak ada lagi dendam dan kebencian.

Bukankah ini yang terbaik? Duduk bersama dengan saling bercerita.

"Aku tidak tahu apakah takdir mempermainkan perasaanku, tapi saat aku mulai membiasakan diri dengan kehidupan baru dan identitas baru, kamu datang memperkenalkannya sebagai kekasih. Antara bahagia dan sedih. Bahagia karena dipertemukan dengannya lagi dan sedih karena dia sudah memilihmu." Shelo menunduk dalam, aku tidak tahu harus apa, menyeka airmatanya atu menghibur?

"Aku memang tidak pantas dimaafkan. Namun aku tidak bisa berbohong, aku mengenal Mas Dika lebih dulu darimu, aku menyukainya lebih dulu darimu,  juga tidak putus melakukan yang terbaik, tapi aku tidak berusaha memisahkan kalian. Kecuali hari itu, hari dimana kalian mendapatiku dilecehkan oleh seorang pria. Aku membutuhkan seseorang yang bisa kuandalkan sementara Adrian teramat sibuk. Jadi malam itu kugoda Mas Dika ...." Shelomita menangis.

Aku menatap langit-langit ruangan, mencoba menghalau agar air mata tidak tumpah. Menyesakkan.

"Kamu harus tahu semuanya, Rum. Akulah yang jahat, aku yang sengaja memanfaatkan kelemahan Mas Dika. Aku membujuknya agar mau berhubungan dengan diam-diam, tapi aku tahu di hati kecilnya kamu tetap yang utama. Berkali-kali dia merasa berdosa namun aku memang sedang egois. Aku lupa jika kamu juga punya perasaan."

Aku menangis. Tidak. Ini tidak boleh dibiarkan.

"Mas Dika terus merasa bersalah saat kamu mempergoki kami berdua. Aku yang merangcang malam itu---" terputus.

Kami berdua sama-sama menangis.

Tuhan, maafkan aku.

"Rum, aku yang egois. Aku menginginkan Mas Dika hingga mengabaikan perasaanmu dan luka yang harus kamu tanggung sendirian. Aku hanya berpikir, tidak masalah mengambil satu hal dalam hidupmu sementara kamu masih memiliki banyak hal. Aku hanya menginginkan Mas Dika."

"Sejak kepergianmu aku tahu Mas Dika sangat terluka. Dia hidup hanya untuk rasa tanggung-jawabnya padaku, selain itu dia lebih sering mengurung diri hingga puncak dari semua itu adalah usahanya merusak diri. Mas Dika mendatangi klub-klub dan meminum minuman keras. Mas Dika benar-benar kehilangan semangat untuk hidup."

Benarkan? Setelah menjadikanku pesakitan, laki-laki itu menjadikanku tokoh antagonis di akhir? Aku menepuk dada yang merasakan sesak. Sungguh, kenapa aku ikut terluka oleh semua kenyataan ini?

Siapa yang dipermainkan di sini?

***
Bersambung....
Mahluk immortal 192, Loopies.

Aku, Kau dan Jogja yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang