Bagian tiga belas (AKDJYD)

570 66 5
                                    

"Apa makanannya tidak enak?"

Aku menoleh untuk menatap wanita paruh baya yang baru kutahu adalah ibu dari dua laki-laki di depan, yang makan dengan tenang setelah berhasil membuatku malu sekali lagi. Sementara ayah mereka berada di ujung ikut menghentikan kegiatannya.

"Enak," jawabku apa adanya. Hanya saja karena tidak biasa makan malam terasa begitu aneh. Aku memang menjalani pola hidup di mana setelah pukul lima sore tidak lagi memasukkan apa pun ke mulut kecuali minuman. Dan dilema di saat tidak dapat menolak permintaan dari keluarga Adrian yang terlihat antusias dengan acara makan malam ini.

"Ada yang ingin kamu makan? Bu Zakia bisa menyiapkan," imbuh wanita itu dengan lembut sementara yang disebut segera mendekat untuk melaksanakan perintah.

Aku semakin merasa canggung. Ternyata hidup dengan apa-apa selalu dilayani tidak sepenuhnya nyaman---bagiku---setidaknya aku adalah seorang yang biasa melakukan sesuatu sendiri.

"Ini bahkan terlalu banyak." Aku tidak bohong. Di meja terlalu banyak jenis makanan yang tidak kutahu apa namanya, sampai penuh. Membuat berpikir apa mereka selalu seperti ini? Dan apakah empat orang bisa menghabiskan semuanya?

Adrian tiba-tiba saja menaruh sepotong daging di atas piring, "itu enak. Cobalah!" 

Aku mengamatinya cukup lama, berpikir apa perut bisa menerima? Adrian, tahukah jika aku tidak bisa makan daging?

Dengan gerakan kaku aku mengambilnya dan memasukkan ke dalam mulut. Mengunyahnya pelan serta memikirkan jika ini bukan daging.

Satu, dua, tiga ....

Semua orang menunggu reaksiku dan Derick yang sudah bisa menebak menunjuk ke salah satu pintu tak jauh dari ruang makan. Hanya insting juga kepercayaan jika anak itu berniat membantu, bukan menjerumuskan, aku berlari ke sana dengan tanpa permisi seraya membekap mulut.

Tidak sopan memang, tapi beginilah keadaanku yang sebenarnya. Aku akan minta maaf dan segera pulang karena pastinya mereka menganggap perempuan yang dibawa Adrian tidak memiliki tata kerama.

Aku merasakan sebuah tangan memijit tengkuk dengan lembut, kemudian satu tangan lain menyibak rambut saat kumuntahkan semua yang tadi masuk ke perut. Mungkin Adrian?

"Bagaimana keadaannya, Dri?" Sebuah suara menyusul yang bisa kutebak siapa, satu-satunya wanita yang dari tadi penuh kelembutan meladeniku dan mengajak bicara.

"Dimuntahkan semua," jawab Adrian yang bisa kutangkap ada nada geli pada suaranya yang cukup berat.

"Mama siapkan minyak angin dulu, kamu nanti langsung bawa Arum ke kamar ya." Bersamaan kudengar langkah wanita itu menjauh dan Adrian masih memijat dengan lembut. Aku merasa tenaga dilolosi satu persatu. Lemas.

Setelah merasa tidak ada lagi yang bisa kumuntahkan, aku membasuh muka dan Adrian mundur perlahan. Sudah kepalang basah, sekalian saja masa bodo.

"Aku mau pulang," ucapku sambil mengusap sisa air yang menempel di muka, Adrian tanggap menyodorkan handuk kecil.

"Tidak dengar tadi mama bilang apa?"

"Pokoknya pulang!" aku bersikeras.

Panik melihat Adrian mendekat, aku refleks mundur hingga terpojok ke wastafel.

"Jalan sendiri atau dibopong? Meski aku tidak keberatan melakukan yang ke dua," seringainya membuat bulu kudukku merinding.

"Jalan sendiri," jawabku terbata.

"Good, Girl!" Adrian mengelus puncak kepala dengan lembut kemudian memimpin jalan di depan. Mengantisipasi hal yang tidak diinginkan aku mengekor di belakangnya.

Adrian itu tindakannya selalu tak terduga. Namun masih dalam tahap wajar. Dia juga tanggap untuk beberapa kejadian. Seperti tadi, ketika dia menyusul dan membantu di kamar mandi saat aku memuntahkan makan malam. Tipe seorang Guardian yang baik.

***

Tidak tahu bagaimana akhirnya kami menjadi dekat, Adrian sering menjemput saat aku pulang dari sekolah, mengajak pergi menonton, jalan-jalan, dan sesekali mampir di kost-an. Malika yang senang karena laki-laki itu tidak pernah datang dalam keadaan tangan kosong dan dapat kusimpulkan itu sebuah sogokan.

"Hhmmm," aku berdiri di pintu, memberi kode jika dia tidak seharusnya terlalu dekat dengan Malika. Entah kenapa, tidak suka saja melihat pemandangan tersebut. Takut terulang.

Malika kembali ke posisi semula, begitu juga dengan Adrian. Mereka tampak mencurigakan, seolah merencanakan sesuatu di belakangku.

"Sudah siap, ayo berangkat!" Adrian berdiri dan mengulurkan tangan. Aku menepisnya, membuat laki-laki itu sedikit kecewa.

"Mal, aku pergi dulu ya?" ucapku seraya menatap satu-satunya sahabat yang bertahan karena Fia telah menikah tahun lalu. Sekarang perempuan itu hamil besar dan kami berjanji akan berkunjung saat bayinya lahir.

"Oke, hati-hati di jalan." Malika tidak beranjak dari duduknya, lebih tertarik pada kue bandung bawaan Adrian. Aku heran, gadis itu makan banyak tapi tidak gendut---malah terkesan kurus. Mungkinkah cacing-cacing di perutnya ikut membantu?

"Duluan, Mal." Adrian ikutan pamit.

.

Di dalam mobil, kami tidak berbicara satu sama lain. Aku masih tidak menyukai dengan kedekatan Adrian tadi dengan Malika, maka mendiamkannya menjadi alasan kali ini. Masa bodo.

Adrian sesekali melirik tapi terlihat ragu untuk memulai. Sebenarnya aku tahu dia tidak suka didiamkan, karena kami sudah berjanji satu sama lain jika ada masalah lebih baik dibicarakan daripada dipendam dan menjadi bom waktu yang saat meledak semua yang terjadi di masa lalu diungkit.

"Aku ada kesalahan apa hari ini?" Adrian akhirnya memecah keheningan tapi kenapa harus pertanyaan itu? Seolah aku ini tipe pasangan overptotektif yang apa-apa kudu laporan.

"Kamu jangan terlalu dekat dengan Malika," jawabku jujur. Dapat kutangkap ujung bibir laki-laki itu tersungging---seperti menahan senyum.

Sial*n. Apa aku sekarang naik level menjadi pasangan pecemburu? Adrian melambatkan laju mobil kemudian berhenti di salah satu kafe terkenal di kalangan anak muda. Mungkin rekomendasi Derick, mana tahu dia soal beginian? Dia lebih mudeng ditanya soal bisnis dan harga saham.

"Dia kan sahabatmu, otomatis jadi sahabatku juga." Adrian melepas sabuk pengaman. Bersiap turun.

"Shelo juga sahabatku, tapi dia mengambil Dika."

Gerakan Adrian terhenti seketika. Tidak perlu dijelaskan siapa dia di masa lalu. Kami berdua sama-sama dekat dengan gadis itu yang berpenampilan bak dewi kayangan tapi berhati serakah. Merebut milik sahabatnya.

Mataku memanas. Ternyata aku belum sepenuhnya sembuh?

Adrian menarik tubuhku ke dalam dekapannya, memberi pelukan yang hangat. Tidak ada penolakan karena ini termasuk hal yang kusukai darinya.

"Dengar, tidak akan ada Shelo ke dua dalam hidupmu. Apa kamu tahu seberapa sayangnya Malika, dia itu seperti seorang ibu yang cerewet, introgasi segala hal. Dari pekerjaan, keluarga, sampai kebiasaan-kebiasaan yang kupunya ditanyai semua." Adrian terkekeh geli, tangannya tidak berhenti mengelus punggungku sambil terus menerangkan perihal kedekatannya dengan Malika.

Aku tidak menyahut tapi aku percaya dia jujur. Adrian bisa dipercaya. Derick juga pernah mengatakan jika kakaknya adalah orang yang anti berbohong, maka ketika keluarganya mendesak siapa gadis yang didekatinya belakangan ini, meski berpotensi menimbulkan perang saudara---karena sang adik juga menyukai gadis yang sama---dia tetap menjawab apa adanya.

Aku membalas pelukannya dan mulai memejamkan mata. Seharusnya Adrian tidak perlu mengajakku ke mana-mana, berduaan seperti ini sudah cukup. Membicarakan banyak hal, bercerita seharian melakukan apa saja, atau membaca buku?

Ah ya, minggu depan aku akan meminta Adrian itu sebagai penebus kesalahannya hari ini. Terdengar manis, berkencan di perpustakaan.

***
Bersambung....

Mahluk immortal 192 tahun, Loopies  FM.

Aku, Kau dan Jogja yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang