..
Sebuah pertanyaan pernah muncul, apakah Dika membenciku? Membenci hubungan kami yang membosankan. Dia bersama seseorang yang bahkan tak memiliki banyak waktu untuk bersama, mementingkan diri sendiri, dan naif. Namun saat hal tersebut terlintas, selalu saja pembenaran lebih mendominasi.
Apapun itu, pengkhianatan tak dapat dibenarkan.Jogja, 04 - April - 2014.
"Selamat ulang tahun, Shelo!" seruku sambil mencium pipinya kanan-kiri. Gadis 23 tahun yang sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini, di Jogja, mampu membuatku percaya dia adalah sahabat terbaik.
Hubungan kami unik. Berawal dari perkenalan di dunia maya, berlanjut pertemuan di taman mini---saat itu dia sengaja berlibur ke ibu kota, dan aku yang sangat penasaran bagaimana rupa dari seseorang yang selalu memberi nasehat dan petuah-petuah kehidupan--- pun akhirnya saling bertatap muka.
Shelo memang tidak seperti apa yang kubayangkan, yang kupikir akan bersikap dingin di pertemuan pertama karena mau tidak mau harus diakui aku adalah sahabat yang menjengkelkan.
Bagaimana tidak, aku sering meluapkan kesedihan tentang hidup dan dia akan bersusah payah membujuk agar tetap percaya jika di balik semua permasalahan, Tuhan juga menciptakan jalan keluar. Itu kenapa Shelo adalah orang pertama yang akan aku dengarkan ucapannya.
"Terima kasih, Rum." Shelo balas memelukku, terlihat bahagia menerima perayaan kecil dariku atas hari lahirnya.
"Aku enggak, nih? Gini-gini aku juga bantuin loh. Dari beli kue, pesan tempat, sampai nyiapin semua." Dika ikut menyahut di sebelahku, pura-pura merajuk karena diabaikan oleh kami berdua. Memang, wanita kalau sudah berkumpul dan merasa asyik, orang di sekitar ditiadakan keberadaannya.
Shelomita tersenyum, "Mas Dika, terima kasih."
"Gitu dong! Cipika-cipikinya?"
Aku mendelik, yang lantas disambut kekehan dari keduanya.
"Becanda, Sayang." Dika mencubit pipiku gemas, kemudian menyapukan bibir di tempat yang sama setelahnya.
Aku yang bersiap melontarkan protes berakhir tersipu malu. Tindakannya barusan disaksikan oleh Shelomita, yang otomatis membuat gadis itu memalingkan muka.
"Kenapa aku merasa panas ya di sini?" celetuk Shelo, membuat kami menyadari ada orang lain yang harus dijaga perasaannya.
"Kan ada Adrian?" timpal Dika. Kami berdua saling toleh, sadar jika laki-laki di sebelah tidak tahu kalau hubungan mereka sedang dingin.
"Ada yang salah dengan pertanyaanku, Nona-nona?" Dika menatap kami bergantian. Tampak bingung.
"Enggak," jawab Shelo yang mencoba tersenyum tapi terlihat canggung.
"Ngomong-ngomong dia nggak datang?"
Saat seperti ini ingin rasanya aku memiting Dika dan memukuli kepalanya. Kenapa sih tiba-tiba cerewet? Tidakkah dia melihat keengganan Shelo dalam membahas pacarnya yang super sibuk itu, yang diminta meluangkan satu hari saja tidak bisa dengan alasan pekerjaan.
"Dia masih kerja, Mas?"
"Jam segini masih kerja?"
Ya Tuhan, tenggelamkan saja laki-laki di sampingku ini. Ikhlas, Tuhan!
"Iya," jawab Shelo dengan raut seriang mungkin. Padahal aku tahu dia begitu kesulitan untuk berpura-pura tegar di hadapan kami.
"Eumh, bisakah kita tidak membahas itu? Aku sudah lapar!" aku mengatakannya sambil melirik Dika kesal, berharap dia mengerti kalau meneruskan topik tentang laki-laki super sibuk itu dapat menyakiti hati gadis yang tengah berulang tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau dan Jogja yang Ditinggalkan
RomanceAku mencintai kota ini sama besarnya dengan rasa cinta kepadamu. Tidak ada alasan membenci, sebagaimana juga tidak akan benci terhadapmu. Kenapa? Ada begitu banyak alasan dan aku tidak akan mampu menyebutkannya di saat hati dipenuhi bunga-bunga keba...