.
"Belum menikah bukan berarti masih terjebak masa lalu," sanggahku tidak terima dengan tebakan Adrian barusan, ditambah sorot mata mengejek."Kamu juga belum menikah," imbuhku semakin meradang. Rasa-rasanya ingin menjitak kepala laki-laki di depan. Sungguh, kenapa sial sekali bertemu dengan Adrian yang dulu kukenal tidak banyak interaksi tapi sekarang berbanding seratus delapan puluh derajat.
Adrian justru tergelak, "akhir tahun aku nikah."
Air mukaku berubah, Derick bilang Adrian jomblo? Padahal aku sudah bersiap untuk meledeknya.
"Kenapa? Berharap aku masih jomblo dan kamu merasa ada kesempatan?"
Adrian semakin besar kepala, "dih, kege'eran."
"Akui saja!"
Ya ampun, sejak kapan dia banyak bicara? Benar yang dikatakan Derick, mereka sebelas-dua belas tapi dalam hal kenarsisan.
"Aku bisa pertimbangkan," ucapnya yang kuyakini penuh canda.
Aku diam mengamatinya. Adrian banyak berubah atau dulu tidak mengenalnya? Laki-laki di depanku ini begitu hangat dan banyak senyum, juga tidak terlihat kebencian. Bagaimana pun juga kami berada di posisi yang sama, dikhianati pasangan masing-masing. Jika sampai sekarang perjuanganku melupakan masih tertatih-tatih, dia berbeda.
Kebahagiaan jelas tercetak di wajahnya.
"Aku memang tampan, tapi tidak sebegitunya menatapku." Adrian membuyarkan lamunanku. Tangannya kembali memasukkan kentang goreng ke mulut, mengunyah pelan dengan tatapan yang hanya tertuju padaku.
"Kamu terlihat baik-baik saja," ucapku seraya menunduk. Bingung, apakah aku iri karena tidak bisa sepertinya yang tampak bahagia.
"Hidup itu dinikmati. Fokuslah pada hal-hal yang penting, bukan masa lalu yang harusnya dilupakan."
"Gampang sih, tapi prakteknya susah," bantahku.
"Dengan mencintai diri-sendiri." Adrian mendongakkan daguku dengan tangannya agar balas menatap ke depan, ke dia. Jika dalam keadaan normal mungkin sudah kutepis tindakan kurang-ajarnya tersebut. Namun senyum itu seolah menghipnotis.
"Dan tanamkan dalam hati, aku berharga." Adrian masih belum menjauhkan tangannya dari daguku, malah mulai merambah pipi---mengelus pelan.
Aku terbuai hingga tak sadar memejamkan mata, mencoba merasakan sensasi hangat atas sentuhan tersebut.
"Kamu ingin lebih dari ini?" tanyanya yang justru membawaku dalam kenyataan. Segera kutepis tangan tersebut, Adrian tidak marah. Laki-laki itu terkekeh pelan.
"Jika tidak ingat kamu pacar adikku, sudah kubawa ke kamar," akunya blak-blakan.
"Sinting!" makiku.
Adrian lagi-lagi tertawa lepas, mengabaikan pengunjung lain yang bisa saja terganggu dengan keberisikannya.
"Harusnya tadi kurekam gimana mukamu saat kusentuh dan mengirimkannya pada Derick." Adrian masih tergelak dan aku menjadi sangat malu karena ucapannya.
Kami berada di salah satu kafe yang terkenal di ibu kota. Bukan, kami tidak janjian, hanya tidak sengaja bertemu. Adrian meminta kursi kosong di depan karena kebetulan suasana sangat ramai, juga memikirkan daripada terlihat mengenaskannya diriku yang tanpa pasangan, sementara di meja lain penuh---kuanggukan saja kepala.
Selama setengah jam Adrian menjadi teman bicara yang menyenangkan. Dan untuk pertama kalinya malam mingguku tidak seburuk malam-malam sebelumnya.
"Derick tidak bersamamu?" tanyaku memecah keheningan. Lima menit setelah tawanya meledak Adrian mendadak diam dan terlihat memikirkan sesuatu yang serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau dan Jogja yang Ditinggalkan
RomanceAku mencintai kota ini sama besarnya dengan rasa cinta kepadamu. Tidak ada alasan membenci, sebagaimana juga tidak akan benci terhadapmu. Kenapa? Ada begitu banyak alasan dan aku tidak akan mampu menyebutkannya di saat hati dipenuhi bunga-bunga keba...