Sebelum membaca, maaf, ternyata sampai di sini saja kisah Arum dan Andrian. Mereka berterima kasih karena diterima dengan baik.
Ada epilog, tapi karena cerita ini tidak diawali dengan prolog jadi aku menyimpannya. Rencana awal ingin aku bukukan, harus banyak revisi.
Orang yang mengenalku pasti tau, aku tidak suka cerita yang bertele-tele apalagi kebanyakan part. Jadi, terima kasih semua 😘 kita bertemu di lain cerita. Aku masih hutang Keisya dan Aero 😉
Oke, dari pada kelamaan ... aku persembahkan ending untuk Arum dan Andrian.
...
Aku terjatuh sekali lagi dan mungkin kejatuhan ini yang membuatku menjadi seseorang yang pesimis akan cinta.Pagi ini diawali dengan berita Adrian yang mengalami kecelakaan. Semalam karena mengendara dalam pengaruh alkohol membuat laki-laki dua puluh delapan tahun tersebut tidak bisa menguasai diri.
Mobil ringsek setelah berusaha menghindari kendaraan lain.
Bukan itu yang menjadi kegundahanku, meski pun rasa khawatir dan cemas mengungkung. Rasa bersalah-lah karena mau tidak mau aku turut andil.
Adrian sempat menghubungi dan mengungkapkan perasaannya. Laki-laki itu menangis.
"Dokter bilang masa kritisnya sudah lewat, jadi kita tunggu saja dia sadar," ucap ayah Adrian seraya mengelus lembut bahu istrinya, mencoba menenangkan. Aku menatap pemandangan tersebut dengan nanar.
Tidak menyalahkanku atas apa yang menimpa putra mereka tapi aku merasakan sakit yang teramat.
"Mama jangan nangis terus, nanti Arum ikutan nangis." Ayah Adrian menatapku hangat, jiwa kepemimpinannya sebagai kepala keluarga terlihat jelas dengan pembawaan yang tetap tegar di kondisi seperti ini. Namun tidak ada yang tahu dalam hatinya serapuh apa?
Kami tengah menunggu di luar ruangan, duduk saling bersisihan di lorong karena dokter melarang siapapun masuk. Aku yang baru datang satu jam lalu pun hanya bisa berdo'a, merapalkan kesembuhan atas Adrian.
Seseorang mengulurkan sebotol air mineral. Aku mendongak dan saat itu tatapan kami bertemu. Terlihat jelas bagaimana sedihnya bocah remaja itu, dia belum pernah seperti ini.
"Miss Malika bilang, Kakak meninggalkan sarapan dan langsung ke mari," ucapnya lembut.
Derick berjongkok di hadapanku dan mulai membuka bungkusan yang dia bawa bersama air mineral tadi.
Anak itu memanggil kakak sejak Adrian dekat denganku. Dia berdalih agar lebih akrab dan akan belajar bersikap sopan.
Aku menatapnya lama dan menangis. Saat seperti ini siapa yang ingat makan?"Ayo, aaa!" Derick mengabaikan protesku, terus mendekatkan suapan ke mulut. Mau tak mau aku memakannya meski susah payah.
"Pria yang di dalam, akan marah besar kalau wanitanya tidak diurusi dengan baik. Apalagi ketahuan tidak makan, beuh, bisa-bisa leherku dipinting. Aaaa!" Derick kembali mendekatkan suapan ke mulut. Entah kenapa tambah deras air mataku.
"Iya kan, Ma?" Derick menoleh untuk meminta dukungan dari sang ibu yang akhirnya tersenyum mengiyakan.
"Makanya Mama juga makan. Aaaa!" Kali ini Derick beralih pada ibunya.
"Aku akan menyuapi kalian bergantian. Jadi sabar ya," ucapnya sambil menunduk, memilah makanan.
Aku tidak tahu ada apa tapi perasaan jadi lebih baik. Derick memang membawa keceriaan. Sejak anak itu muncul di kehidupanku seolah tidak ada hari tanpa tersenyum. Tingkah konyolnya, sikap membaurnya, dan kali ini kasih sayangnya sebagai seorang adik.
Adrian, cepat sadar. Aku akan meminta maaf padamu.
...
Aku mulai bosan dengan yang namanya rumah sakit, kemarin saat di Jogja, menunggui Dika rasanya seperti hidup dalam kepengapan dan kesedihan. Tidak banyak yang bisa kujumpai selain tangis juga harap cemas keluarga pasien.
Lorong-lorong yang sepi, kursi berderet dengan orang-orang yang menunduk di atasnya dengan kepasrahan yang dipaksakan. Itu mengapa kuputuskan untuk tidak menjenguk mulai pagi ini.
Aku mulai tidak menyukai kondisi di sana. Entah sampai kapan Adrian lebih memilih tidur ketimbang bangun untuk mendengar permintaan maafku....
Aku merindukan laki-laki itu yang meski suka memaksakan kehendak. Aku juga merindukan senyum jahilnya saat berhasil membuat mukaku menghangat.
Ini hari ke_sekian aku tak mengunjungi rumah sakit, tidak menanyakan kabar, serta berusaha fokus membenahi hidup. Mungkin memang seperti ini jalan hidup yang harus kujalani.
Bertemu seseorang, menjalin hubungan, kemudian dipisahkan oleh takdir.
Apa aku terlihat pesimis dan pecundang?
"Miss, awas!" seru seorang siswa. Hampir saja menabrak tiang jika tidak ada yang menarik ke belakang. Refleks aku menubruk dada bidang sang penolong. Sebelum sempat mendongak untuk mengetahui siapa, orang itu mengusap kepala dengan lembut.
"Belum juga tiga puluh tapi sudah hilang fokus," omelnya dengan suara berat yang khas. Aku mendongak dan melihat wajahnya, masih pucat.
Apa aku bermimpi?
"Dilihat muridmu," bisiknya yang membuat kesadaranku kembali jika kami berada dalam posisi yang cukup dekat.
Aku segera memisahkan diri darinya.
"Kamu kurusan, apa Derick mengabaikanmu?" Adrian mendekatkan wajahnya persis di depanku. Membuat pipi menjadi hangat. Dari jarak sedekat ini rasanya amat canggung padahal kami pernah lebih dekat lagi.
"Siapa yang mengabaikan, siang malam aku selalu pastikan Kakak makan. Kakak saja yang cengeng, baru beberapa suap terus nangis." Derick tidak terima disalahkan. Rupanya anak itu ikut datang bersama Adrian.
"Benar?" Selidik Adrian, aku makin menunduk. Keberanianku menguap entah ke mana?
"Udah ah, aku mau ke kelas. Mau nyari mainan baru. Nasib-nasib, mainan lama direbut Kakak sendiri." Derick menjauh meninggalkan kami yang berdiri di koridor sekolah.
Satu-dua anak kudapati tengah mengamati kami. Namun aku tidak ambil pusing, yang terpenting Adrian.
Laki-laki itu kini ada di hadapanku dan meski keinginan untuk memeluk begitu menggebu, aku harus bisa menahan diri atau komite sekolah memberi peringatan.
"Hey," alih-alih bertanya kabar, yang keluar justru kalimat sapaan. Adrian tersenyum.
"Aku harus kembali, aku ke sini cuma mengantar adikku itu," ucap Adrian sambil menunjuk Derick yang makin menjauh.
Secepat itu? Tidak ada percakapan apapun? Adrian berbalik dan berjalan menjauh---hanya seperti ini?
"Nanti sore aku jemput." Adrian mengucapkannya tanpa berbalik. Benar-benar, adik-kakak sama saja.
***
TAMAT....Jangan nagih extra part 😉
Salam, mahluk immortal 192 tahun, Loopies FM.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau dan Jogja yang Ditinggalkan
RomanceAku mencintai kota ini sama besarnya dengan rasa cinta kepadamu. Tidak ada alasan membenci, sebagaimana juga tidak akan benci terhadapmu. Kenapa? Ada begitu banyak alasan dan aku tidak akan mampu menyebutkannya di saat hati dipenuhi bunga-bunga keba...