#20

2.2K 135 0
                                    

"Apa itu?" Aku menatap Theo yang tersenyum lebar dengan amplop cokelat di tangannya.

"Buka." dia menyerahkan amplopnya padaku.

Aku menerimanya dengan heran dan langsung membukanya.

Astaga. Dua tiket pesawat pulang pergi Melbourne-Jakarta-Yogyakarta.

"Ini...,"

"Kau akan pulang dan aku," masih dengan senyuman manisnya, Theo merangkulku. "akan bertemu dengan papa mamamu."

Aku nyaris menjatuhkan itu saking kagetnya.

Apa ini nyata?

"Kenapa? Kau tak menyukainya?"

"Aku hanya...," aku menatapnya tidak percaya. "Kau membeli kursi first class untuk empat kali penerbangan!"

"Memangnya kenapa?" tanyanya polos.

Theo benar-benar membuatku gemas.

"Itu berlebihan. Aku sudah sangat bersyukur kau mau membelikan tiket pulang pergiku. Seharusnya kelas ekonomi dan kau bisa memesan tiket termurah untuk itu."

"Tidak. Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu, apa aku salah?" ujarnya membela diri. "Selama aku mampu, kenapa tidak? Aku hanya ingin menyenangkanmu."

Aku hampir melupakan fakta bahwa yang berdiri di depanku adalah seorang Pangeran. Jelas pengeluaran itu bukan apa-apa baginya.

"Baiklah." tidak ingin berdebat, aku meneruskan membaca detailnya. "Jadi kita akan berangkat rabu dini hari?"

Theo mengangguk. "Prepare yourself. Jangan lupa mencatat apa yang ingin kau bawa. Kau ingin membawakan orang tuamu apa? Kita bisa mencarinya besok, kebetulan aku sedang kosong."

Aku langsung memeluknya begitu saja.

"Apa enaknya melamun, sih?"

Aku reflek memegang dada karena terkejut dengan kehadiran Theo. Tapi dia tidak salah, sih. Toh, aku saja yang terlalu sering terbawa angan sampai lupa daratan yang ujung-ujungnya jadi sering terkejut.

"Hati-hati, nanti kerasukan." Theo mengambil posisi di sebelahku yang saat ini sedang termangu di teras belakang rumahku.

"Kau dipanggil mamamu dari tadi, tidak mendengar ya?"

Gawat. Bisa kena omel, nih.

"Mamamu baru saja membuat klappetart. Tapi karena kau tidak menyahut, jadinya ia memintaku untuk membawakannya untukmu." Theo menahan tanganku saat aku hendak beranjak. "Cobalah. Ini enak sekali."

"Terima kasih. Klappetart bikinan mama memang enak." pria bersurai madu itu berdehem sebelum mulai menyendok klappetart miliknya. "Aku sudah makan empat kali."

Aku melotot. Dasar perut karet. Kalau hanya kotak ukuran small sih aku tidak akan protes. Tapi karena kotaknya berukuran medium, aku jadi terkejut.

"Aku menyukainya," ia memamerkan deretan giginya yang rapi, "Jadi empat klappetart medium size tidak mengenyangkanku."

Ah ya, aku belum cerita ya. Saat ini aku dan Theo sedang berada di Indonesia. Tepatnya di kota tempatku bertumbuh selama delapan belas tahun sebelum memutuskan merantau ke Solo, kota yang memakan waktu satu jam perjalanan menggunakan kereta lokal prambanan ekspress. Jogja, kota pelajar. Inilah kotaku.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu mengenai Luce. Tanpa berpikir panjang, kutanyakan hal itu pada Theo yang saat ini sedang menyendok suapan terakhir klappetart porsi keempatnya.

Crown Prince of Greece (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang