#21

1.9K 152 2
                                    

Mama menarikku ke kamar dan menutup pintunya dengan perlahan saat aku hendak mengambil toples berisi kacang atom di ruang keluarga.

"Kau berpacaran dengan seorang Pangeran?"

"Oh, Theo sudah cerita ya?" tanyaku santai.

"Mainaka, dengar. Mama bukannya tidak setuju, tapi kau harus tahu, berurusan dengan keluarga kerajaan yang berbeda ras bukan perkara mudah," Wanita paruh baya itu menyilangkan tangan di depan dada. "Apa kau serius ingin melangkah lebih jauh dengannya?"

"Aku serius. Bulan depan, Theo berencana mengajakku ke Athena untuk bertemu orang tuanya."

"Ya Tuhan." Mama menatapku dengan ekspresi terkejut. "Kau yakin Raja dan Ratu Yunani tidak akan mengusirmu? Mama takut mereka melukaimu, sayang. Mama tidak rela...," sebulir air mata menetes dari mata wanita yang menjadi malaikat pelindungku di dunia ini.

Sejujurnya aku pun memiliki ketakutan yang sama. Tapi demi meyakinkan mama, aku berucap dengan mantap, "Tidak. Mama tidak usah khawatir, ya." kataku menenangkan.

"Semoga semuanya berjalan lancar. Mama hanya takut mereka menghinamu karena kau pasti paham apa yang menjadi ketakutan mama." Mama memelukku dan mengelus rambutku dengan sayang.

"Mama merestuiku?"

"Ya, mengingat kalian satu keyakinan dan dia terlihat begitu mencintaimu sepertinya mama bisa mempertimbangkannya sebagai menantu dengan papamu."

Wait, apa? Keyakinan?

"Maksudnya?" Aku menatap mama dengan manik membola.

Theo tidak sedang membohongi keluargaku kan demi menarik simpati mereka?

Keterlaluan kalau benar.

"Theo kan satu keyakinan dengan kita. Itu bukan masalah bagi mama dan papa, yang menjadi masalah adalah keluarganya. Ingat, dia bukan orang biasa. Dia seorang Pangeran, Putra Mahkota, dan menjadi pewaris sah dari ayahnya ketika sudah lengser. Kau benar-benar harus mempertimbangkan pilihanmu ini karena resikonya tidak main-main. Menikahi seorang Putra Mahkota konsekuensinya besar, sayang. Salah satunya adalah, kau harus siap menjadi public figure dengan segala kekurangannya." Lanjutnya lagi.

"Mama benar." Aku menghela nafas panjang sebelum kembali menghembuskannya, "Aku akan mempertimbangkannya lagi. Mama tidak usah khawatir. Tapi sejauh ini, bagaimana? Apa mama menyukainya?"

"Ya. Mama rasa dia bisa mama titipkan kamu untuk ke depannya," wanita bersurai selegam jelaga itu memelukku erat. "Mama percaya, jika dia yang terbaik untukmu, kemudahan akan terbuka lebar untuk kalian."

—////—

"Ada yang belum kau beritahukan padaku?" Aku berkacak pinggang di depan Theo yang sedang berjongkok mengelus kucingku di halaman belakang.

"Memangnya apa?" pria jangkung bersurai madu itu berdiri dan menatapku lekat.

"Soal keyakinan, mungkin." kataku seringan mungkin. "Aku tidak menyangka kau berani membohongi keluargaku soal itu." kataku dengan nada kecewa. "Kau bisa jujur meskipun resikonya ...," Aku mengangkat bahu, tidak sanggup meneruskan. "Lupakan. Jadi, aku ingin dengar klarifikasimu soal itu"

"Aku tidak berbohong." Theo memilih duduk di kursi yang berada di tengah halaman. "Maaf tidak memberitahumu sebelumnya, sebenarnya aku sudah menjadi mualaf sejak sebulan yang lalu."

"APA?" Theo buru-buru menutup mulutku dab membuatku jatuh terduduk di sampingnya.

"Jangan berteriak." bisiknya lagi. "Akan kujelaskan tetapi jangan dipotong. Cukup dengarkan dulu dan berkomentar di akhir." suruhnya yang hanya kubalas dengan anggukan.

"Sebenarnya, aku sudah tertarik dengan islam sejak dua tahun silam. Itu bermula saat aku memutuskan untuk menjadi relawan di Palestina. Aku melihat bagaimana mereka tidak takut akan kematian. Aku banyak belajar islam dari mereka, betapa islam itu indah. Tidak seperti santer terdengar di media-media barat, jika islam itu kejam, teroris, dan semacamnya. Aku mulai merasakan hidayah merasuki jiwaku sedikit demi sedikit," manik emeraldnya menerawang jauh.

Aku menyimak setiap kata yang meluncur dari bibirnya.

"Tapi, waktu itu aku masih sekedar mengaguminya, belum ada rasa ingin berpindah keyakinan. Di waktu senggangku, kugunakan untuk mencari tahu tentang islam, dari berbagai sumber yang terpercaya. Sampai aku pernah berkunjung ke mesir, tepatnya di Universitas Al-Azhar di Cairo, untuk belajar tentang islam. Tapi itu belum cukup membuatku mantap mengucap dua kalimat syahadat," Lalu jeda sejenak.

Theo melanjutkan, "Baru sekitar enam bulan yang lalu aku merasakan keinginan untuk berpindah keyakinan. Sampai aku bertemu denganmu, yang ternyata beragama islam, semakin membuatku yakin untuk menjadi pemeluk islam. Tapi salah satu sudut hatiku mengatakan, jangan berpindah keyakinan karena cinta. Jadi, aku kembali dilema dengan keinginanku. Aku takut, aku menjadi mualaf hanya karena ingin bersamamu, bukan karena ingin merasakan indahnya menjadi seorang muslim." Lanjutnya lagi.

"Terus?"

"Aku mencari seorang ulama yang berada di Melboune untuk mempelajari islam lebih dalam darinya. Seperti tafsir Qur'an, hadits, dan lain sebagainya. Sampai aku berada pada titik, islam adalah pilihan tepat untuk hidupku. Maka bulan lalu, disaksikan oleh ulama itu, aku mengucap dua kalimat syahadat."

"Jadi, selama ini kau sholat?" tanyaku takjub. "Tapi aku tidak pernah melihatmu sholat."

"Ya," ia berucap tenang. "Memang tidak. Aku menunaikan sholat di masjid, dan seringnya di apartemenku. Juga saat aku mengingatkanmu untuk sholat, aku pun ikut menunaikan sholat. Sedangkan selama di rumahmu," dia menatapku dengan sorotnya yang meneduhkan.

"Aku sholat di masjid komplekmu."

Ha?

Aku tidak sedang bermimpi, kan?

"Aku baru tahu kau suka subuh kesiangan." Aku mendengus. "Setidaknya aku sholat sebelum jam enam pagi." kataku membela diri.

"Aku berangkat ke masjid bersama papamu setelah adzan, saat kau masih berkelana di alam mimpi." Theo menatapku geli.

"Berhenti mengejekku." tukasku sebal.

"Besok kau harus memasang alarm untuk itu."

"Baiklah, tuan mualaf yang terhormat," sarkasku yang hanya dibalas dengan gelak tawanya.

Bolehkah aku merasa jika kadar bahagiaku bertambah?

Crown Prince of Greece (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang