Aku menghentikan langkahku saat menyadari Luce berada di spot favoritku. Sofa empuk yang terdapat di pojok ruangan perpustakan pusat, adalah spot favoritku untuk berkhayal.
Mencari spot lain yang tak kalah nyaman adalah satu-satunya opsi. Maka, berbalik dan pergi dari sana adalah ide terbaik.
"Mainaka!"
Sial. Aku sedang tidak ingin bertemu dengannya.
Aku mempercepat langkahku tanpa menggubris panggilan darinya. Kupikir lelaki itu hanya akan memanggil tapi aku salah. Kini dia justru berdiri menjulang di depanku. Mau tidak mau aku terpaksa menghentikan langkahku lagi.
"Apa?" tanyaku sedingin mungkin.
"Aku minta maaf." ucapnya lirih.
"Sudah kumaafkan. Minggir, aku mau lewat."
"No, no. Kau masih marah denganku." Luce bersikeras menghalangi jalanku dan menatapku dengan tatapan memelas.
Memang dasar berhati lemah akhirnya aku pun menyerah untuk mengikutinya kembali duduk di sofa yang menjadi spot favoritku.
Menunggunya buka suara. Walaupun aku sedang tidak berminat mendengar asupan bualan darinya.
"Kalau kau hanya diam, lebih baik aku pergi." tukasku ketus, jengah melihatnya hanya diam dan menatapku tanpa ekspresi.
"Baiklah. Dengarkan baik-baik,"
"Sebenarnya aku sedang tidak ingin mendengar bualanmu," sindirku tanpa menoleh ke arahnya.
"Terserah kalau kau mau tidak percaya, tapi aku sungguh jujur." Aku menatap jauh ke dalam iris sewarna langit miliknya untuk memastikan kebohongan apa yang sedang dia rencanakan tapi sepertinya aku tidak berhasil.
Ya sudah. Mungkin saja dia benar.
"Ya ya, aku mendengarkan." kualihkan pandanganku ke arah lelaki asia yang tengah membaca buku sendirian di dekat jendela.
"Kau pasti sudah tahu ceritaku dari dua bersaudara itu, kan?"
Aku berdehem.
"Aku kenal Theodore Roberts yang asli."
Aku sedikit tertarik. Apa dia bilang?
"Aku mengenalnya dulu saat kuliah di Yale. Dia seniorku di sana."
Sial, aku mulai penasaran dengan kelanjutan ceritanya.
Luce menghela nafas sebelum melanjutkan ceritanya, "Suatu malam di bulan Oktober tahun lalu, Theo mengabariku kalau dia akan cuti mengajar selama enam bulan ke depan. Dia hanya mengatakan bahwa dirinya mendapatkan pekerjaan penting yang tidak mungkin dia tolak."
Aku menatap Luce serius. Mungkinkah asumsiku dan Aubrey benar?
"Aku sempat mendesaknya untuk bercerita tetapi dia memilih bungkam. Aku menyerah, kubiarkan dia pergi dengan banyak pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Dia mengambil flight terpagi ke Athena."
"Athena?" Aku menaikkan alis.
"Ya. Dia tidak mengatakan apapun kecuali satu hal, bahwa dia sangat membutuhkan pekerjaan itu untuk memberikan fasilitas pengobatan terbaik untuk ibunya yang sakit. Theo tidak punya siapapun selain ibunya. Ayah dan kakaknya meninggal ketika dia masih menempuh kuliah di Yale."
"Astaga." Aku menutup mulut. "Meninggal karena apa?"
"Kecelakaan." katanya pendek.
Aku manggut-manggut.
Luce melanjutkan,"Baru setelah seminggu sejak kepergian Theo ke Athena, kekasihmu datang menggantikan posisinya mengajar."
"Apakah mereka mirip?" Aku tidak bisa membendung rasa penasaranku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crown Prince of Greece (TERBIT)
RomanceMainaka Sunjaya, gadis berdarah jawa pemilik julukan pemimpi akut itu berhasil membuktikan ke semua orang bahwa dirinya mampu mendapatkan beasiswa master di salah satu universitas di Australia. Semuanya berjalan lancar dan sesuai rencana Mai, sebelu...