#37

1.6K 117 0
                                    

"Kau tidak perlu memaksakan dirimu kalau memang tubuhmu butuh beristirahat," Aku tidak tega memandang wajah Theo yang terlihat lelah lengkap dengan lingkaran hitam di bawah matanya.

Terkadang aku suka gemas sendiri dengan sifat kerasnya pada diri sendiri.

"Aku baik-baik saja, sweetheart." dia mengusap rambutku dengan tangan kirinya yang bebas. "Ini hari spesial untukmu, bukan? Aku tak mungkin melewatkan ini." dia tersenyum, tanpa menoleh ke arahku. Pandangannya fokus dengan jalanan yang relatif padat merayap.

"No, you are not!" Aku menatapnya kesal. "Nanti pulangnya aku saja yang menyetir, oke? Kau harus melihat mata pandamu."

"Hal terakhir yang ingin kulakukan, membiarkanmu menyetir tanpa driving license."

Aku memutar bola mata malas. "Hei, aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu, sayang. Apa itu berlebihan?"

"Sudah kubilang, aku baik-baik saja sayang. Kau tidak perlu khawatir," dia menoleh sekilas ke arahku. "Lagipula membiarkanmu menyetir akan membuatku senam jantung. Aku sedang tidak ingin workout, sweetheart."

"Sialan."

Theo tertawa, dan untuk kesekian kalinya aku terpana melihatnya. Kombinasi yang sempurna, suara tawanya yang merdu dan wajahnya yang rupawan.

"Duduklah dengan tenang, sweetheart. Kau membuatku risih dengan sikapmu." katanya di sela-sela tawanya yang mereda. "Sebentar lagi kita sampai, lebih baik kau bersuka cita karena sebentar lagi akan bertemu dengan ayah ibumu lagi."

Benar juga, sih. Aku memundurkan posisi dudukku yang kuakui memang terlalu maju dan terlihat tegang dan menyadarkan bahuku pada sandaran jok.

"Anyway, kau yakin memesankan mereka kamar di The Langham Melbourne? Apa itu tidak terlalu berlebihan?"

The Langham Melbourne adalah salah satu dari jajaran hotel termewah di Australia. Berlokasi di pinggir sungai Yarra dengan pemandangan eksotik, tentu akan memakan biaya tinggi hanya untuk sekedar menginap satu malam.

"Yakin, sweetheart. Aku membuat kamar kedua orang tuamu bersebelahan dengan kamar orang tuaku." dia meringis. "Itu akan memudahkan interaksi mereka ke depannya, bukan?"

Aku menatapnya horor. Apa dia bilang?

"Aku tidak setuju."

"Kenapa?" tanyanya polos.

"Aku hanya merasa ... entahlah, itu terlalu berlebihan." Aku menggigit pipi bagian dalamku. Bagaimana ini? Aku merasa rendah diri.

"Tak apa. Mereka akan menjadi besan. Kau harus terbiasa dengan itu." Ia mengedipkan sebelah matanya. "Sudah sampai. Kau mau kuturunkan di lobby nanti aku menyusulmu atau kita akan turun bersama tetapi aku harus mencari parkir dulu?"

"Opsi kedua. Aku tidak terlalu suka sendirian," kataku jujur.

"Kau berangkat ke sini sendirian." sindir Theo menyebalkan. "Seharusnya opsi pertama bukan masalah toh pada dasarnya kau tidak benar-benar sendirian."

"Aku berangkat bersama Aubrey. Kami bertemu di Jakarta." bantahku kesal.

"Bukankah kau baru kenal dia setelah kuliah disini?"

"Aku mengenalnya di bandara, saat itu kami sedang berada di periplus. Aubrey tiba-tiba menghampiriku dan bertanya, apa aku mendengar pengumuman boarding untuk penerbangan ke Melbourne?" Aku mengenang pertemuan pertamaku dengan gadis itu. "Kukatakan belum dan kami kebetulan berada pada penerbangan yang sama. Dari situ kami banyak bercerita mengenai diri masing-masing dan voila, ternyata kami sama-sama mahasiswa baru di kampus dan jurusan yang sama."

Crown Prince of Greece (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang