"Tingtong!"
Bunyi bel. Taruhan, pasti itu antara Luce atau Theo. Aku beranjak dari sofa dan membuka pintu.
Ternyata Theo. Pria itu terlihat kacau dengan rambut cokelat keemasan yang berantakan. Membuatku gatal ingin merapikannya.
"Kau masih marah?" tanyanya lirih.
"Tidak."
Aku mempersilakannya masuk. Kami berdua duduk di sofa dengan canggung selama beberapa menit di awal. Aku berinisiatif membuatkannya cokelat hangat yang tentu saja tidak ditolak olehnya.
"Aku minta maaf," Theo menatapku dengan tatapan bersalah.
"Tak apa. Kudengar dari Aubrey kalian sudah baikan. Apa itu benar? Aku ingin mendengarnya langsung darimu." Kataku sembari merubah posisi duduk menjadi bersila di atas sofa.
"Ya. Kami berusaha memperbaiki yang bisa diperbaiki."
"Kurasa kalau masalahnya hanya salah paham, seharusnya tidak sulit diperbaiki."
"Iya. Ego kami yang membuat segalanya menjadi rumit." Theo menyandarkan diri pada punggung sofa. "Kau tadi kemana saja?"
"Hanya mengitari kota selama enam jam di dalam bis yang sedang dalam masa promosi." kataku ringan.
"Kau, APA?" Theo menggeleng tidak percaya. "Pantas orang-orangku susah menemukanmu. Ternyata kau tidak turun dari bis."
"Yap. Aku hanya berusaha menikmati waktu untuk mengetahui seluk beluk kota Melbourne." ucapku diplomatis. "Itu tidak akan pernah ada dalam pikiranku kalau kalian tidak saling perang sindiran. Jadi, terima kasih." kataku tanpa dosa.
"Kau membuatku ketakutan setengah mati, sweetheart." Theo membawaku ke dalam dekapannya. "Aku nyaris terkena serangan jantung melihatmu hilang tanpa jejak. Luce dan Aubrey sampai ingin melapor polisi untuk membantu kami mencarimu,"
"Itu berlebihan." Aku mendongak. "Aku baik-baik saja, itu yang terpenting, bukan?" Dia mengangguk dan tanpa aba-aba kembali mencium bibirku.
Aku melingkarkan kedua kakiku pada pinggangnya dan kedua tanganku kukalungkan pada lehernya. Kami berciuman cukup lama, hanya sesekali mengambil jeda untuk bernafas.
"Kau mau kemana?" tanyaku lirih, kulirik nakas, pukul sebelas malam.
"Pulang." Aku menarik lengannya. "Tidak. Kau disini saja bersamaku."
"Kau yakin?" Theo menatapku heran. "Kau tidak apa membiarkan dirimu semalaman denganku, disini?" tanyanya meyakinkan.
"Kau tidak berencana berbuat mesum, kan?" Netraku menyipit. "Kalau ya, enyahlah kau dari hadapanku." dia tertawa dan kembali duduk di pinggir ranjang.
"Tidak. Aku tahu batas, sweetheart."
"Bagaimana dengan insting lelakimu?" kataku lirih.
"Itu bisa diatasi," Theo melirik ke arah kamar mandi. "Mungkin aku akan mengguyur diriku dengan air dingin dibawah shower setelah kau tidur." ucapnya ringan. "Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyentuhmu sebelum kita menikah."
"Baiklah." Aku mengambil bantal dan guling cadangan dari lemari. "Tidurlah disini." Kutepuk kasur di sebelahku.
"Kurasa aku tidak butuh guling," dia tersenyum jahil dan menjatuhkan diri di sebelahku. "Aku bisa menjadikanmu guling semalaman suntuk."
Aku merasa pipiku sudah semerah tomat rebus seandainya bukan lampu tidur yang dinyalakan.
Jadi, yang kulakukan setelahnya adalah mencari posisi ternyaman dalam dekapannya. Menghirup aroma khas tubuhnya yang menenangkan. Membiarkan jemarinya mengelus-elus rambutku sampai membuatku nyaris terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crown Prince of Greece (TERBIT)
Storie d'amoreMainaka Sunjaya, gadis berdarah jawa pemilik julukan pemimpi akut itu berhasil membuktikan ke semua orang bahwa dirinya mampu mendapatkan beasiswa master di salah satu universitas di Australia. Semuanya berjalan lancar dan sesuai rencana Mai, sebelu...