Seperti dugaanku, Maeve menepati kata-katanya. Wanita itu mengambil penerbangan terpagi ke Amerika. Gabino dan Nathaniel masih berusaha memastikan itu bukan bagian dari rencana Maeve untuk mengelabui mereka.
Semua orang tidak ada yang percaya. Termasuk Aubrey. Dia sampai meminta Luce untuk menemaninya semalaman suntuk karena masih merasa parno.
Theo sendiri pun tidak semudah itu percaya, jadi yang dia lakukan dari semalam sampai detik ini adalah menempeliku seperti koala.
"Kenapa sih kau terus-terusan menempeliku l seperti koala?" protesku saat pria itu justru mengambil posisi membenamkan wajahnya di ceruk leherku saat aku sedang berusaha mengerjakan case study ku.
"Aku tidak ingin kau pergi meninggalkanku."
Aku mendesah. Dia tidak sadar apa kalau tubuhnya berat dan aku merasa seperti dipeluk beruang grizzly?
"Justru seharusnya aku yang berkata seperti itu, His Royal Highness." Aku menutup laptopku. "Kau tahu, Maeve sangat cantik dan aku tidak ada apa-apanya dibanding si pirang itu." kataku sarkas.
"Kau cemburu?" Aku mendengarnya terkikik geli. Itu menyebalkan.
"Tidak." Ya. Aku cemburu, tidakkah kau sadar itu?
"Rupanya kau melupakan perkataan kejamku padanya kemarin." Pria tampan nyaris tanpa cela itu membenarkan posisi duduknya dan berujar, "Aku tidak peduli secantik apa dia kalau jahat ya aku tidak sudi menghabiskan sisa hidupku bersamanya."
"Ya ya ya, terserah kau saja." Aku hendak berdiri saat Theo menarikku hingga kembali terduduk di sofa. "Apaan sih?"
"Aku masih ingin memelukmu." Theo mendekapku erat. "Nah, begini lebih baik."
"Aku lapar, sayang." kataku gemas, berusaha melepaskan dekapannya. "Kita belum jadi sarapan kalau kau lupa." bertepatan dengan itu perutku berbunyi.
Terima kasih perut.
Barulah Theo percaya dan melepaskanku. "Maaf sweetheart," dia meringis. "Jadi kita mau makan apa?"
"Aku sedang ingin memasak." Aku beranjak dan berjalan menghampiri kulkasku. "Semalam Aubrey dan Luce membelanjakanku beberapa bahan makanan."
"Oh iya?" Theo mengekoriku dan duduk di kursi pantry. "Dalam rangka apa?"
"Karena dia ingin aku mengalihkan rasa stresku dengan memasak." Aku memutar bola mata malas. "Aku tidak stres, astaga."
"Dia hanya peduli denganmu," sahutnya kalem. "Ngomong-ngomong, apa Aubrey menceritakan hal ini pada Eras?"
"Kau menanyakanku pertanyaan retorik? Sungguh bukan Theodore Alexios yang kukenal." jawabku sarkastik.
"Hahaha, aku hanya bercanda sayang." dia tersenyum lengkap dengan lesung pipinya. "Jadi, kau ingin memasak apa?"
"Omelette?"
"Mungkin lebih enak jika dipadukan dengan pancake madu?"
"Aku setuju."
"Kalau begitu, aku akan membantumu menyiapkan pancake madu nya."
Aku mengambil dua butir telur, bawang bombay, cherry tomato, jamur shiitake, sosis, keju, dan susu. Semua bahan kupotong dadu kecuali telur dan susu. Kupecahkan dua telur ke dalam dua mangkuk kecil yang berbeda, mengocoknya dengan garpu, dan mencampurkan susu ke dalamnya. Tak lupa kutaburkan sedikit garam dan pepper sebelum kembali kukocok untuk meratakannya.
Setelah memanaskan minyak, aku menuangkan adonan ke atas teflon dan membolak-baliknya sampai matang. Kuulangi prosesnya dua kali sampai dua omelet tersaji di dua piring yang telah disediakan Theo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crown Prince of Greece (TERBIT)
Roman d'amourMainaka Sunjaya, gadis berdarah jawa pemilik julukan pemimpi akut itu berhasil membuktikan ke semua orang bahwa dirinya mampu mendapatkan beasiswa master di salah satu universitas di Australia. Semuanya berjalan lancar dan sesuai rencana Mai, sebelu...