Selamat membaca 😊
Tandai typo dan kalimat rancu yaa*****
Yogyakarta, 2018
Jika kalian pernah mendengar ungkapan hidup segan mati tak mau, mungkin itu adalah ungkapan yang cocok untuk laki-laki yang sedang terbaring di kasur saat ini. Betapa tidak, setelah yang menimpa dirinya kemarin, membuat dirinya benar-benar malas untuk hidup. Rasanya membuka mata saja dia enggan namun jika harus mati sekarang, rasanya dia juga masih takut menghadapi malaikat penjaga kubur.
Laki-laki itu menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya, mengulangi hal itu beberapa kali tapi sesak di dadanya tetap tidak berkurang. Astaga! Ternyata patah hati sesakit ini. Seandainya patah hati bisa dideteksi dengan mesin X-ray seperti patah tulang, mungkin saat ini kondisi hatinya sudah retak berkeping-keping. Bahkan operasi penanaman platina pun sepertinya tidak akan menolong retakan hatinya.
Bunyi beep dari ponselnya di atas meja di sisi tempat tidur, membuat lamunan nelangsanya sedikit buyar. Dengan raut malas, dia meraih benda pipih itu.
Novi (Asisten):
Pak Sakti, ada surat panggilan sidang cerai dari pengadilan. Saya kirimkan fotonya.Sakti menghela napas kemudian menaruh kembali ponselnya tanpa membalas pesan dari sang asisten. Sudah sejauh ini, dan dia tetap tidak dapat kesempatan untuk bisa bersama dengan perempuan yang dia cintai. Sungguh miris.
Bukan, demi Tuhan laki-laki itu tidak sedang meratapi nasib atas perceraian yang akan menimpa rumah tangganya. Dia juga tidak sedang patah hati karena akan kehilangan istri. Namun, segala kesakitan ini tidak lain adalah karena seorang gadis bernama Eira alias Rara— sang mantan kekasih yang tidak pernah dia lupakan bahkan saat dia menikahi perempuan lain.
“Rara!” gumamnya sendiri menyebut nama gadis itu. Suaranya serak terdengar makin mengenaskan. “Batalin aja nikah sama laki-laki itu! nikah sama aku aja, Ra! Aku sudah ceraikan istriku. Ya Tuhan, aku nggak sanggup lihat Rara dimiliki laki-laki lain,” gumamnya frustasi.
Sakti kemudian menggeliat. Dia berusaha mengubah posisi tidurnya dari terlentang menjadi berbaring ke kiri dengan susah payah. Bahkan dia sampai meringis kesakitan. Setelah berhasil mengubah posisi tidurnya, Sakti pun berhadapan dengan cermin yang memang terletak di pintu almarinya yang ada di sisi kiri kamar.
Sakti mengamati dirinya sendiri yang sudah seperti mayat hidup. Wajahnya babak belur, pelipisnya dijahit, bahunya juga keseleo karena dihajar secara membabi-buta oleh anak ingusan. Keadaannya makin parah karena nyatanya, anak ingusan itu yang telah merebut gadis yang dia cintai, membuatnya kehilangan kesempatan untuk memiliki Rara lagi.
“Dafi brengsek!” umpatnya menyebut nama calon suami Rara.
“Kamu itu masih muda. Kamu bisa pacarin anak ABG yang kamu mau. Tapi kenapa kamu harus naksirnya sama Rara sih, Dafi? Astaga!” Sakti mengomel sendiri. Dafi memang lebih muda darinya cukup jauh. Dia bahkan juga lebih muda dari Rara. “Kamu juga, Ra. Kenapa kamu lebih memilih anak ingusan? Karier dia saja belum jelas. Kenapa nggak sama aku aja? Aku sudah matang, aku punya semuanya.”
“Well, simple, alasannya karena om Sakti sudah beristri dan— udah ninggalin Rara tercinta dulu,” sebuah suara menjawab segala gumaman Sakti.
“Udah pulang?” tanya Sakti pada si pemilik suara. Tanpa menoleh saja, Sakti sudah tahu siapa orangnya. Kaleen, keponakannya yang super tidak tahu sopan santun yang mirisnya Sakti tetap sayang dan peduli padanya. Apalagi karena takdir Kaleen dan kembarannya Kaiya yang sekolah di tempat Rara mengajar, menjadi alasan Sakti kembali mendekati mantan kekasihnya itu— meskipun gagal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello My Future: Marry Me? (Completed)
General FictionNaufal Sakti Hardiyansyah, salah satu keturunan dari keluarga politisi terkenal, memilih hengkang dari partai yang didirikan keluarganya karena merasa tidak tahan dengan kehidupan penuh sandiwara di panggung politik. Nama besar keluarga, nyatanya ma...