“Bapak saya ngefans sama Pak Naufal.”Sakti sontak tertawa lebar. Fans? Yang benar saja. Dia bukan artis.
“Mel— ah sorry maksud saya, Seruni. Bilang sama bapak kamu kalau saya juga ngefans sama beliau.”
“Heh? Memang bapak saya orang terkenal?”
Sakti menggeleng. “Tapi bapak kamu sudah berhasil mendidik putrinya menjadi perempuan ajaib seperti kamu.”
Sakti langsung menutup rapat mulutnya setelah kalimat itu meluncur dari mulutnya. Sial! Keceplosan! Batinnya menyesal. Sekarang, rasanya jadi canggung kan?
Sementara Sakti menyesali kalimat bodohnya, Seruni justru sedang berusaha mencerna ucapan dari lawan bicaranya. Dia hanya tidak percaya dengan kalimat yang baru saja dia dengar. Laki-laki ini sedang memujinya? Tidak, tidak, itu hanya basa-basi. Jangan berimajinasi yang berlebihan, Seruni! Dia Sakti Hardiyansyah. Memangnya kamu siapa bisa mendapatkan pujian yang sebenar-benarnya dari dia? Sadar diri, oke?
“Itu— emm, saya harus ke kantor sekarang,” pamit Sakti dengan nada terbata. Dia harus segera kabur dari hadapan perempuan ini.
“Oh iya, silakan, Pak,” jawab Seruni disertai dengan senyuman aneh.
Buru-buru Sakti hengkang. Dia melangkah cepat ke arah gedung fakultas ilmu sosial politik. Tidak seperti biasa, dia saat ini tidak tersenyum membalas sapaan mahasiswa melainkan hanya mengangguk dengan ekspresi kaku.
“Hai, Sak! Nih, Sabrina habis pesan dua toples cookies tiramisu almond yang kemarin.” Suara Ilyas langsung menyambut Sakti yang masih berdiri di ambang pintu. Sakti tidak menjawab.
“Kenapa kamu? Habis lihat setan?” tanya Ilyas yang merasa tidak digubris.
“Iya. Mana berkeringat gitu,” sambung Sabrina sambil menikmati cookies nya.
Refleks, Sakti meraba dahinya yang ternyata memang basah. “Tadi nggak dapat parkir di basement jadi jalan deh dari taman fakultas sastra. Lumayan olahraga,” jawab Sakti memberi alasan. Dia pun segera duduk dan meraih botol air mineral yang memang selalu di sediakan di atas meja setiap dosen oleh petugas kebersihan setiap hari kemudian meneguknya hingga tandas setengah botol.
“Nih cookies! Sama yang kayak kamu dikasih mahasiswa kemarin,” kata Sabrina. “Aku pesan ini langsung sama owner nya.”
Owner? Jadi tadi si ‘bunga-bungaan’ ke sini? Batin Sakti.
“Kamu kemarin belum makan kan? Gara-gara dilibas habis sama si cungkring tapi banyak makan ini.” Sabrina melirik Ilyas yang spontan nyengir kuda. “Nih makan!”
Sakti melirik cookies di meja Sabrina. Jika yang pertama itu Sakti memang seperti tidak tertarik sama sekali dengan cookies itu, kali ini dia dibuat menelan ludah saat melihatnya. Apa benar cookies buatan si Melati eh Seruni itu enak? Tangan Sakti mengepal kuat di bawah meja. Demi Tuhan, dia ingin mencobanya tapi dia takut.
“Itu almond?” tanya Sakti.
“Iya almond. Nggak pelit lagi almond nya. Biasa kalau kita beli beginian di tempat lain paling almond nya sebiji tiap piece nya. Ini banyak,” kata Sabrina.
“Nggak bisa disingkirin gitu almond nya?” tanya Sakti dengan wajah polos.
“Heh?” Sabrina mempertanyakan pertanyaan aneh Sakti.
“Aku— aku alergi hampir semua jenis kacang termasuk almond,” tutur Sakti kemudian mengigit bibir bawahnya.
“Poor Sakti,” ejek Ilyas. “Ya udah kamu nggak usah makan ya. Buat aku semua saja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello My Future: Marry Me? (Completed)
General FictionNaufal Sakti Hardiyansyah, salah satu keturunan dari keluarga politisi terkenal, memilih hengkang dari partai yang didirikan keluarganya karena merasa tidak tahan dengan kehidupan penuh sandiwara di panggung politik. Nama besar keluarga, nyatanya ma...