Impressively

2.1K 239 10
                                    

Selamat membaca ❤️

********

Sekitar satu minggu semenjak Sakti mulai menjadi dosen di kampus ini, memang terjadi kehebohan dikalangan mahasiswa terutama para perempuan. Pesona Sakti memang tidak bisa dianggap remeh. Apalagi sebagai seorang yang pernah dikenal sebagai politisi, pembawaan Sakti yang berwibawa dan ramah siap membuat para mahasiswi bersemangat untuk datang ke kelas.

Semua itu jelas terbukti. Pagi ini saja, saat Sakti berjalan dari parkiran fakultas menuju ruangannya yang bada di lantai dua, sudah berapa mahasiswi yang senyam-senyum menyapanya dan mengucapkan selamat pagi. Bahkan imej Sakti yang sudah kena cap sebagai lelaki brengsek karena meninggalkan istrinya, seolah tidak menjadi penting. Semua tertutup dengan pesona wajah tampan nan berwibawa. Aah perempuan memang sering kali terperdaya pada pesona.

“Pagi, Bapak Duren,” celetuk Nanda saat Sakti melintas. Setiap ruangan dosen di kampus ini memang di desain berisi dua sampai empat orang. Sakti dapat ruangan yang berisi tiga orang. Dirinya, Ilyas, dan si mama muda yang sedang hamil anak kedua, Sabrina. Sebelum masuk ke ruangan, dosen memang akan melewati kantor staff jurusan.

“Pagi, Nan. Sarapan apa?” respon Sakti ramah sambil berhenti di depan meja Nanda yang sedang menyendok sarapan.

“Nasi goreng. Pak duren sudah sarapan?”

Sakti mengangguk. Dia memang sudah makan cereal dan minum kopi sebelum berangkat. “Ngomong-ngomong, jangan panggil aku begitu, Nan.”

“Kenapa? Bapak kan memang calon duda keren.” Nanda berucap tanpa beban. Seminggu dia mengenal Sakti secara langsung, membuatnya tahu bahwa Sakti bukan orang yang kaku apalagi arogan. Dia orang yang santai. Keramahan dan kerendah hatian Sakti benar-benar nyata tidak hanya dibuat-buat untuk pencitraan untuk kebutuhan elektabilitas. Jadi, bercanda dengan Sakti adalah hal yang menyenangkan.

Sakti terkekeh. “Nanti kalau saya jadi rebutan bagaimana?”

“Bukan nanti lagi, Pak. Sekarang juga bapak udah jadi rebutan,” sambar Nanda berapi-api. Perempuan berusia dua puluh empat tahun itu memang sedikit berlebihan dalam berekspresi.

“Bisa saja kamu,” pungkas Sakti sambil menyunggingkan senyum dan berlalu menuju ruangannya.

“Tu kan! Gimana nggak jadi rebutan kalau senyumnya gitu?” omel Nanda setelah Sakti masuk ruangan. Dia pun melanjutkan sarapan dengan lahap. Senyuman Pak Sakti membuatnya selalu semangat melakukan semua hal di kantor sekarang. Meskipun dia sudah menikah, boleh dong kalau punya suntikan semangat tambahan macam senyuman ramah bapak duda keren. Yang penting hatinya tetap untuk mas bojo tersayang.

“Mbak Nanda,” seseorang memanggil saat Nanda sudah selesai membereskan sarapan bahkan sudah berada di depan komputer bersiap untuk menyelesaikan pekerjaan.

“Ya?” Nanda menoleh ke sumber suara.

“Mau ketemu Pak Naufal Sakti. Udah datang?”

“Sudah dong. Dari tadi malah. Si Bapak kan super on time. Kamu janjian jam berapa?”

“Jam delapan.”

“Lah telat lima belas menit!” ucap Nanda setelah melirik jam yang tergantung di dinding tepat di atas mesin fotocopy. Mahasiswi yang ada di hadapannya pun terlihat mengigit bibir. Nyalinya untuk menemui Sakti terlihat menciut.

Nanda terkekeh menyadari perubahan ekspresi itu. “Tenang, si Bapak baik kok.”

“Serius, Mbak?”

“Iya. Kalau dia marah lihatin aja mukanya yang gantenh nanti kamu pasti nyaman sendiri.”

“Hah! Maksudnya?” mahasiswi itu gagal paham.

“Udah masuk aja! Malah banyak nanya nanti kamu makin lama telatnya.”

“Oh iya!” mahasiswi itu pun melangkah lebar menuju ruangan dengan pintu tertutup bertuliskan, Ilyas, Sabrina, dan Sakti lengkap dengan gelar akademik mereka.

“Permisi, Pak Naufal. Maaf saya terlambat datang,” katanya ragu setelah mengetuk dan membuka pintu ruangan Sakti. Pandangan mata mahasiswi itu langsung mengarah pada satu-satunya orang yang ada di dalam. Laki-laki bertubuh tinggi dengan kemeja putih yang digulung tiga perempat lengan hingga memper jelas letak jam tangan dan gelang yang terbuat dari manik-manik kayu berwarna hitam di pergelangan tangan kirinya.

Laki-laki itu sedang bertelepon serius menghadap jendela kaca yang tertutup hingga membelakangi pintu. Kehadiran mahasiswi nya yang baru saja masuk ke dalam, sepertinya dia sadari hingga membuatnya berbalik.

“Sebentar ya,” tuturnya pelan sambil menjauhkan ponsel dari telinganya dan menoleh sekilas pada mahasiswi itu.

“I—iya,” respon mahasiswi itu dengan terbata. Dia pun kembali serius dengan telepon tanpa menyadari bahwa mahasiswinya sedang terenyak kaget melihat wajah dosen yang dia temui saat ini adalah orang yang tidak asing baginya. Demi Tuhan, mahasiswi itu rasanya ingin sekali menghilang sekarang juga dari ruangan itu.

Hello My Future: Marry Me? (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang