Titik awal

2.5K 229 15
                                    

Selamat membaca😊
Tandai typo dan kalimat rancu ya❤️
Jangan lupa tekan vote😁😁

***

Bruk!

Seorang anak kecil sekitar dua tahun menabrak Sakti yang baru saja hendak duduk di ruang tunggu klinik. Sore ini Sakti dijadwalkan untuk kontrol. Dia perlu mengecek kondisi luka-lukanya dan bahunya yang keseleo. Aah, seandainya luka hati juga bisa diperiksa.

“Hai, jagoan,” sapa Sakti yang justru ramah pada anak kecil itu. Bukan perkara aneh, Sakti memang bukan tipe pria yang canggung pada anak-anak. Dia justru sangat mudah akrab dengan makhluk kecil nan lucu itu. Bahkan, masa kecil Kaleen dan Kaiya lebih banyak dihabiskan dengan Sakti dari pada dengan Nirwan— ayah mereka.

Bahkan, Sakti juga yang punya ide memindahkan sekolah si kembar ke Jogja agar mereka jauh dari kehidupan politik dan menjaga psikologis mereka mengingat Nirwan dan Raya tidak pernah rukun sebagai orang tua.

Anak kecil itu mendongak, menatap Sakti yang masih berdiri. Wajahnya terlihat agak pucat dan sayu tapi anak ini sepertinya tipe anak yang aktif dan susah diam walupun sedang sakit. Sejurus kemudian, Sakti berjongkok. “Mama kamu mana?” tanya Sakti sambil menoleh kanan-kiri mencari seseorang yang mungkin mengikuti anak itu namun tidak juga Sakti temukan.

“Lucu banget sih pipinya tembem!” gemas Sakti sambil mencolek pipi anak itu namun detik berikutnya, tanpa Sakti sangka dia justru mendapatkan jackpot. Anak kecil itu memuntahkan isi perutnya tepat di hadapan Sakti.

“Ridho! Astaga!” seorang wanita awal dua puluh tahunan berteriak. Sakti pun menoleh ke sumber suara.

“Maaf, ya Pak. Dia memang muntah-muntah sejak siang tadi tapi nggak mau digendong malah lari-lari,” ucap perempuan itu yang sudah melesat mendekati Sakti dan si anak kecil.

“Nggak papa. Namanya juga anak-anak,” kata Sakti sambil bangkit dari jongkok. Sementara si perempuan itu menggendong si anak kecil.

“Biar saya bantu bersihkan. Lengan jaket bapak kena cipratan muntah,” katanya kemudian sambil sibuk mencari-cari sesuatu di dalam sling bag yang dia pakai tapi sepertinya yang dia cari tidak ketemu.

Seolah Sakti bisa membaca apa yang dicari, dia justru merogoh saku celananya kemudian mengulurkan sapu tangan. “Saya bisa jalan sendiri ke kamar mandi dan cuci tangan. Dia yang harusnya dibantu untuk dibersihkan,” ucapnya.

Si perempuan terkesiap. Dia baru sadar bahwa mulut si anak yang dia gendong masih belepotan. Bahkan bagian depan bajunya juga kotor. Perempuan itu tersenyum canggung sambil menerima sapu tangan dari Sakti.

“Sekali lagi maafkan anak saya,” kata perempuan itu lagi kemudian berbalik menuju ruang periksa spesialis anak setelah mendapat senyum dari Sakti sebagai jawaban atas permintaan maafnya.

Tunggu! Apa dia bilang tadi? Anaknya? Bukankah perempuan tadi terlalu muda untuk punya anak usia dua tahun?

Sakti mengendikkan bahu clueless. Dia menjawab pertanyaan dirinya sendiri soal perempuan itu. Bisa jadi wajahnya memang terlihat lebih muda dari usianya. Atau memang dia melakukan pernikahan di usia muda. Memangnya Sakti yang sudah usia segini belum juga punya anak? Bagaimana mau punya anak, kalau dulu menyentuh Airin saja, Sakti enggan.

Aah, jika saja lima tahun lalu, Sakti tidak gagal melamar Rara pasti dia sudah punya anak yang lucu. Mungkin seusia anak yang tadi atau sedikit lebih besar atau bahkan Sakti sudah menggendong anak kedua. Sungguh betapa indahnya. Sayang, semua hanya mimpi. Mimpi yang semakin hari semakin buruk karena Rara akan menikah tiga hari lagi dengan si brengsek Dafi.

Hello My Future: Marry Me? (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang