Selamat membaca 😊
Tandai typo ya, ditunggu vote n komen kalian***
Mama:
Sakti, Mama perlu bicara sama kamu! Kamu yg pulang ke Jakarta, atau Mama yg cari kamu ke Jogja?
Pesan yang Sakti terima kemarin sore itu, membuatnya mau tidak mau memesan penerbangan pertama ke Jakarta pagi ini. Sakti tahu, cepat atau lambat, keputusan dia mundur dari partai berikut dengan jalannya sidang cerai dirinya dan Airin akan ketahuan sang mama juga. Dan saat itu tiba, Sakti benar-benar harus siap.
Bukan apa-apa. Sakti hanya tidak terbiasa membantah. Sejak dulu, hidupnya selalu didikte ini itu. Bahkan urusan pendidikan mulai dari memilih sekolah hingga jurusan kuliah pun Sakti hanya ikut apa kata mama. Itulah sebabnya, hingga perjodohannya dengan Airin terjadi pun, Sakti tidak bisa membantah.
Namun kali ini kondisinya berbeda. Keputusan Sakti sudah bulat. Dia sudah dewasa bahkan sangat dewasa untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Sungguh, dia tidak ingin kembali menyesal dikemudian hari seperti dulu. Sudah cukup dia kehilangan kesempatan untuk memiliki gadis yang dia cintai. Selebihnya Sakti ingin kehidupannya ke depan berjalan bahagia tanpa ada yang mengatur. Terlepas dari dia akan menemukan cinta lagi atau tidak. Jadi, dengan segala konsekuensi yang akan dia hadapi setelah ini, Sakti sudah mempersiapkan diri.
“Kamu pikir partai kita itu lelucon?” pertanyaan itu yang pertama kali Sakti dapat. Seperti sedang dihakimi, Sakti duduk di salah satu kursi di ruang keluarga dengan diapit oleh pasangan suami-istri yang sebenarnya tidak pernah harmonis-- Nirwan dan Raya. Sedangkan sang Mama, duduk berseberangan dengannya. Ada Andari yang seperti jadi penenang di ruangan ini.
“Papa kamu merintis semua ini dari nol! Kamu dan Nirwan, dua anak laki-laki kami, tinggal meneruskan,” lanjutnya.
“Maafkan Sakti, Ma,” ucap Sakti. Dia masih menahan argumennya.
“Sudah cukup kamu mencoreng nama keluarga ini dengan skandal kamu yang diam-diam bertemu mantan pacar sementara masih beristri! Sudah cukup kamu membuat partai merugi karena kehilangan pendukung setelah kamu melayangkan gugatan cerai pada Airin! Sekarang, kamu mau berulah lagi?” nyonya Hardiyansyah benar-benar naik pitam.
“Maafkan Sakti, Ma,” ulang Sakti. Demi Tuhan, dia kesulitan untuk membangkang.
“Jangan minta maaf kalau kamu tidak menyesalinya!”
Sakti masih menutup mulut. Mamanya benar. Sakti memang tidak menyesal sedikit pun atas segala kelakuannya yang sudah sang mama sebutkan tadi.
“Kesabaran mama sudah habis. Sekarang, mama tanya mau kamu sebenarnya apa?” suara nyonya Hardiyansyah sedikit merendah namun tetap penuh penekanan. Matanya lurus menatap anak bungsunya.
“Sakti mau hidup atas keputusan Sakti sendiri. Sakti mau cari kebahagiaan Sakti sendiri,” jawab Sakti hati-hati.
Nirwan terkekeh. “Kebahagiaan macam apa yang kamu mau? Mantan pacar kamu sudah nikah sama anak tiri mbak Andari,” ucapnya dengan nada mengejek. “Lagi pula bahagia macam apa yang bisa kamu dapat tanpa keluarga ini?”
Sakti langsung menoleh. Dia menatap Nirwan tajam. Sekali-kali dia perlu tegas pada kakak laki-lakinya itu. Hampir saja Sakti membuka mulut untuk memaki Nirwan, Andari lebih dulu angkat bicara.
“Sakti, apa tidak bisa dipikirkan lagi? Partai butuh kamu. Kita butuh kamu,” katanya.
Sakti menggeleng mantap.
“Kamu benar-benar membuat mama kecewa,” nyonya Hardiyansyah angkat bicara lagi.
“Maaf,” tutur Sakti pelan. Dia benar-benar tidak ingin jadi anak durhaka tapi dia tidak ingin hidup terkekang terus-menerus.
“Tetap di partai. Mama akan suruh orang untuk menutup semua informasi soal perceraian kamu dengan Airin.”
Sakti tersenyum getir. Dia sudah berusaha untuk tetap tidak berkata kasar tapi sepertinya semuanya tetap tidak berpihak padanya. “Apa mama sedang membuat penawaran dengan Sakti?” tanyanya dengan nada santai tapi terkesan menyindir.
“Nama baik kamu akan aman. Mama akan tutup informasi perceraian itu.”
Sakti tersenyum lagi. “Nama baikku atau nama baik partai?” ada jeda. “Ternyata, sampai dititik ini pun, semua orang di sini tetap egois.”
Sakti menghela napas. Susah payah dia mengontrol emosi. “Asal mama dan kalian semua tahu. Aku sama sekali tidak peduli dengan nama baik! Mau semua orang mengecap aku sebagai suami jahat atau apa, aku nggak peduli!”
“Sakti!” bentakan Nirwan terdengar memekakkan telinga.
“Jangan bentak aku, Mas! Jangan mentang-mentang Mas Nirwan lahir lebih dulu jadi mas bisa seenaknya ikut ngatur hidupku!” Sakti sudah tidak tahan lagi untuk bersabar.
“Terima kasih atas tawaran yang kalian berikan tapi sayang, partai dan Airin, bukan jalan hidup yang akan aku pilih,” tekan Sakti. “Keputusanku sudah final. Maaf kalau itu mengecewakan,” pungkasnya kemudian bangkit dari tempat duduk dan melangkah pergi.
“Oiya,” Sakti berbalik. Dia ingat akan sesuatu. “Kalian akan terima pengembalian fasilitas yang selama ini aku pakai. Tenang saja. Aku bukan orang yang tidak tahu diri.”
Sakti benar-benar keluar dari kediaman keluarga Hardiyansyah. Dia benar-benar meninggalkan semuanya. Mungkin, seharusnya ini yang dia lakukan sejak dulu agar dia tidak kehilangan Rara. Ya, memang sudah terlambat tapi setidaknya Sakti sudah belajar mengambil keputusan yang tegas dan sesuai dengan kemauannya bukan kemauan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello My Future: Marry Me? (Completed)
General FictionNaufal Sakti Hardiyansyah, salah satu keturunan dari keluarga politisi terkenal, memilih hengkang dari partai yang didirikan keluarganya karena merasa tidak tahan dengan kehidupan penuh sandiwara di panggung politik. Nama besar keluarga, nyatanya ma...