Jimin pov
Jadi bisa ceritakan siapa yang mengantarmu? ". Appa penasaran.
"Teman-teman sekolahku".
"Apa Appa ketinggalan cerita? ". Appa penasaran.
"Appa.... Terimakasih sudah mengadopsiku.... Akhirnya Jimin merasakan pelukan seorang ayah yang Jimin inginkan. Utuk pertama kalinya juga ada yang mengulurkan pertemanan untukku. Bukan hanya satu tapi enam. Mereka begitu hangat, Jimin suka. Mereka bilang tidak akan meninggalkan Jimin, walau Jimin berbeda. Mereka bilang Jimin spesial. Mereka bilang akan melindungi Jimin. Bukankah mereka hebat Appa?".
"Jimin spesial... Appa beruntung memilikimu. Appa juga akan melindungimu. Karena itu tetallah disisi Appa arachi". Pinta Appa.
"Jimin janji.... Appa juga harus berjanji tetap di samping Jimin".
"Kita berjanji bersama. Sekarang cepat tidur besok Jimin harus sekolah". Pinta Appa.
"Bukannya Appa mau disisi Jimin".
"Appa tidur di kamar sebelah Jim, kalau butuh apapun panggil Appa ne...". Appa mengecup dahiku lembut.
"Arrasseo... Jaljayo Appa".
"Jaljayo Jiminku". Pamit Appa.
Pov end
Jimin berjalan sendiri di koridor, sebenarnya Jimin takut untuk melawati koridor itu sendirian. Dia sendiri berjanji untuk pergi bersama Jungkook atau Taehyung terutam jika melewati koridor. Tapi entahlah kemana dua hyungnya itu. Jika bukan karena keperluar mendesak Jimin mungkin akan memilih jalan memutar. Tapi berhubung ini sangat mendesak dan dia harus cepat, mak dengan terpaksa Jimin harus melewati koridor itu dan celakanya dia pergi sendiri. Tak ada yag aneh di jalan menuju koridor banyak siswa siswi berlalu lalang karenan memang belum waktu pembelajaran. Jimin sedikit menghilangkan rasa khawatirnya. Jimin berjalan dengan langkah ringan, koridor sekolah sebenarnya tempah yang cukup damai, di apit oleh taman belakang sekolah yang asri, cukup untuk sekedar cuci mata setelah pusing dengan pelajaran-pelajaran yang telah diberikan para guru. Tapi sepertinya hal ini tidak berlaku untuk Jimin yang beberapa waktu lalu mengalami hal yang cukup menakutkan. Koridor taman belakang sepi itu yang Jimin rasakan saat ini. Kejadian kemarin membuatnya ingin cepat-cepat melewatinya dan segera sampai ke ruangan guru bahasanya dan pulang lewat jalan memutar.
Seingat Jimin dihari pertama dia ke sekolah di taman belakang tak ada ruang guru, tapi sekarang ada. Mungkin ingatan Jimin buruk. Tanpa ragu Jimin memasuki ruang guru bahasanya dan mengambil tugas kelas.
BRAAAKKKKK....
Tiba-tiba pintu ruangan tertutup, Jimin terkejut bukan main, kertas tugas terjatuh dari tangannya. Firasat buruk mulai dirasakan.
Dingin... Jimin tiba-tiba suhu ruangan turun dari suhu normal. Tanpa pikir panjang Jimin segera memungut tugas kelas yang terjatuh dan segera keluar dari ruangan itu.
Tak ada yang aneh, hanya saja cuacanya berubah mendung. Dengan langkah cepat Jimin menyusuri koridor.
"Duwajuseyo".
Jimin menghentikan langkahnya.
"Duwajuseyo.... Jebal".
"Siapa kau... Kenapa kau tak menampakkan dirimu? ". Jimin mulai takut.
"Bahkan aku belum menampakkan diriku tapi kau sudah takut hihihi".
"Ke... Kenapa kau minta tolong padaku? Yoongi hyung bisa berkomunikasi denganmu... Kenapa kau tidak minta tolong padanya?". Jimin takut-takut.
"Ah.... Hyung pucatmu itu? Dia mungkin bisa melihatku... Keunde kau bisa melihat masa laluku. Bagaimana aku terbunuh?. Dan siapa pembunuhku?".
"Aku belum pernah mencobanya... Aku belum terbiasa dengan ini". Jimin mulai panik.
"Aku hanya perlu menyentuhmu dan semua selesai".
Bulu kuduk Jimin seketika meremang, suara yang tadinya jauh semakin mendekat.
Tap....
Pundak Jimin tiba-tiba terasa dingin.
"Apa sentuhan dipipi bisa mebuatmu melihatnya? ".
"SHIREO.....
Jimin menangkis keras tangan di dipundaknya.
Klaangg....
Tangan itu terputus dari tubuhnya dan membentur tong sampah. Jimin otomatis berbalik dan melihat sosok itu. Sosok gadis pucat pasi dengan darah di kepalanya dan tangan kanan yang putus.
"BERANINYA KAU MERUSAK TUBUHKU... ".
"Mianhe.... Jeongmal mianhe... Aku tak bermaksud melakukannya". Jimin panik.
"Gwenchana.... Dengan begitu kau bisa menjadi tanganku".
Jimin benar-benar takut sekarang sosok di depannya menampilkan senyum menyeramkan.
"Mianhe.... Jeongmal mianhe.... Jangan ganggu aku... Ku mohon". Jimin panik.
"Jadilah tanganku... Maka aku tak akan mengganggumu lagi hihihi".
"SHIRREOOO......
Jimin lari meninggalkan koridor, dia panik bukan main. Tujuannya sekarang adalah gerbang sekolah. Tak jauh darinya nampak hyung pucatnya berjalan santai dengan Namjoon.
"Yoongi hyung.... Namjoon hyung tolong akuuu.... ". Jimin panik.
"Harusnya kami yang minta tolong Jim.... Duwajuseyooo".
Bruugghhh....
Jimin takut ketika kedua hyungnya berubah menjadi sosok mengerikan. Wajah penuh darah dan tangan yang putus.
"Jim.... Tolong aku.... ". Teriak Namjoon.
"Kau bukan Namjoon hyung.... Pergi dariku". Panik Jimin.
"Duwajuseyoooo". Rintih Yoongi.
"Pergi darikuu". Jimin takut. Jimin berdiri dan kembali berlari.
Dua sosok hyung yang dicarinya terlihat di depannya. Hampir saja Jimin memanggil nama dua hyungnya. Tapi ingatan akan Yoongi dan Namjoon berubah, membuatnya urung dan lebih memilih mendahului kedua hyungnya.
"Ji.... Jimin.... Du... Duwajuseyo ". Jungkook terbata.
Jimin seketika menghentikan langkahnya, rintihan Jungkook membuat hatinya sakit. Jimin terkejut saat melihat dua hyung nya tergeletak tak berdaya bersimpah darah, dan lebih mengejut Jin tengah memegang tongkat bisbol berlumuran darah.
"HYUNG.... APA YANG TELAH KAU LAKUKAN". Jimin histeris.
"Ji... Ji... Min.... Pergi dari si..ni". Kesadaran Taehyung semakin menipis.
"Waeyo.... Apa aku harus melukai orang-orangmu baru kau mau membantuku hihihi". Jimin kembali terkejut itu bukan suara Jin.
"Du... Du...wajuseyo.... Jimin ah". Rintih Jungkook.
"Ji.. Min... Pergi jangan dengarkan siapapun... Ce..pat... Per.. Gi".
Kraaaakkkk...
ANDWEEEEEEE.......
Jimin..... Jiminie.....
T
B
CJika berkenan tinggalkan vote dan comentnya yaa....
Next or Not
Perasaan setelah membaca ep ini?
Episode 2 dikalian bisa kebaca nda?? Soale diaku selalu mbalik jadi draf belum terpublish
KAMU SEDANG MEMBACA
Psychometric
Fiksi PenggemarKalo penasaran langsung baca aja Terinspirasi dari drakor psychometric dan memorist