1. Dia Sahabatku

13.6K 871 38
                                    

Menjadi istri dari sahabat kita sendiri, apa rasanya?

"Ning...." Dia memanggilku.

"Iya, Mas?" Aku menghampirinya. Dia sudah rapi dengan setelan kemeja dan celana kain yang pas di tubuhnya.

"Mas berangkat dulu, ya."

"Iya, Mas." Kucium tangannya. Lalu dia mencium kening juga bibirku. Hal yang rutin kami lakukan. Setelah itu, dengan sepeda motor dia pergi menuju rumah bosnya.

Aku Bening, seorang yatim piatu yang sepanjang hidup sebelum menikah tinggal di panti asuhan. Begitu juga dengan Mas Satya, suamiku. Dialah sahabatku, yang akhirnya menikahiku.
Orang tua kandungku yang entah siapa, dulu meninggalkanku di panti. Bu Sari, pemilik panti yang menceritakannya.

Saat usiaku lima tahun, Bu Sari membawa Mas Satya ke panti. Saat itu, usianya sudah delapan tahun. Kata beliau, orang tua Mas Satya meninggal saat tempat tinggalnya dilanda tsunami. Mas Satya tidak memiliki keluarga satu pun.

Kami tumbuh bersama di panti. Usia kami yang berbeda tiga tahun, membuatku merasa nyaman dengannya. Dia sudah seperti sahabat juga kakak untukku. Sampai akhirnya, saat aku masuk SMA dan dia kuliah, dia kuliah dengan biaya sendiri, dia sangat rajin, sejak SMA dia sudah mulai kerja paruh waktu, dia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Karena rasa nyaman itu, aku menerimanya.

Kami jadian. Hubungan kami sangat awet. Kami jarang sekali bertengkar. Berselisih paham memang sesekali terjadi. Namun, karena cara pikir kami yang dewasa, kami tidak pernah membiarkannya berlarut.

Sampai saat ini ketika pernikahan kami berusia dua tahun pun, tetap sama. Meskipun Tuhan belum juga memberikan kami keturunan, kami tetap berpikir positif. Mungkin ... Tuhan masih mau memberikan waktu kami untuk pacaran secara halal.

***

Pukul setengah enam sore, Mas Satya sampai di rumah. Baju terbaik sudah aku kenakan untuk menyambutnya. Tidak lupa, riasan tipis agar terlihat segar pun sudah kusapukan di wajah.

Aku membuka pintu tepat saat Mas Satya turun dari motor. Dia melepas helm, kemudian mengambil plastik yang ia letakkan di motor.

Aku mencium tangannya. Apa yang kami lakukan pagi tadi pun, kembali kami lakukan.

"Apa itu, Mas?" tanyaku memperhatikan plastik putih yang masih berada di tangan Mas Satya.

"Coba tebak."

Hidungku sangat peka untuk makanan yang satu ini. Tentu saja, daging berbentuk bulat itu memang memiliki bau yang sangat khas. Apalagi bagi penyukanya sepertiku.

"Mas jangan main-main denganku, Mas ... kamu mengejekku?" Aku pura-pura tersinggung.

"Tentu saja enggak, Sayang ... yuk, masuk! Kita makan bareng."

Aku mengangguk. Tidak lupa kuberikannya senyum terbaikku. Tentu senyum tulus, bukan senyum yang kubuat-buat. Kami masuk. Mas Satya masuk kamar untuk menukar baju. Sementara aku menyiapkan wadah untuk tempat bakso yang dibawanya.

Sambil menunggu Mas Satya, aku membuat segelas besar teh hangat. Ya ... gelas besar, bukan cangkir. Karena kami selalu minum dengan satu gelas yang sama. Mas Satya tidak mempermasalahkannya. Ia justu sangat menyukai itu. Maklum saja, kami sudah terbiasa dengan kehidupan panti yang biasa berbagi.

Satu kecupan mendarat di pipi saat aku sedang fokus mengaduk teh yang kubuat. Mas Satya segera mengambil, lalu meminum teh itu.

"Nih," ucapnya sambil menyodorkan gelas berisi teh yang sudah berkurang beberapa teguk itu. Tepat di bekas bibirnya, ia mendekatkan gelas ke bibirku. Aku pun segera meneguknya beberapa kali.

Terasa sangat nikmat. Bukan karena teh yang kubuat mengandung banyak gula, tetapi karena aku berharap, semoga segala hal yang kami lakukan berbuah pahala.

Kami berpindah ke ruang tamu yang sekaligus kami jadikan ruang televisi, juga ruang makan. Tentu saja, kontrakan kami hanya sebuah rumah petak berukuran 4x6 meter, di mana hanya ada empat ruangan. Ruang depan, kamar, dan ruang belakang yang dibagi menjadi dua, kamar mandi dan dapur.
Aku dan Mas Satya duduk di tikar berbahan busa yang selalu ku gelar di ruang depan setelah selesai kusapu dan ku pel. Tentu saja, kami tidak memiliki kursi, apalagi sofa mewah. Jadi, yang penting jika ada tamu datang, tidak harus duduk di lantai tanpa alas.

"Nggak pakai nasi?" tanya Mas Satya saat memang di hadapan kami hanya ada semangkuk bakso yang Mas Satya beli.

"Oh, ya, lupa." Aku nyengir, kemudian berdiri dan segera mengambil nasi di dapur. Kami memang terbiasa makan bakso menggunakan nasi.

Kembali ke ruang depan, aku duduk di sebelah Mas Satya. Dia segera mengambil alih piring nasi yang kupegang. Lalu, dia memindahkan bakso dan kuahnya ke piring nasi.

Sebelum menyuap, dia memimpin untuk berdoa. Satu suapan berhasil dia masukkan ke mulut. Setelah itu, dia menyuapiku. Aku sangat menyukai detik demi detik kebersamaan kami. Tentu saja ... siapa, sih, yang tidak menginginkan suami sepertinya.

Tbc.

📝20.04.20

Tidak ada pria berengsek dan wanita jahat di sini. Stok emosi bisa disimpan untuk cerita yang lain ....

Beningnya CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang