4. Tolong Jaga Mereka

6.2K 584 46
                                    

Sudah seminggu Pras dirawat di rumah sakit. Bukan sakit yang bisa diremehkan. Pria itu mengidap kanker darah stadium empat. Dokter sudah memvonis bahwa umurnya tidak akan lama lagi.

Satya datang ke rumah sakit. Selain untuk menjenguk sang bos, tentu saja untuk melaporkan apa-apa saja yang terjadi di kantor. Saat Satya memasuki ruang perawatan Pras, kebetulan Suci sedang tidak ada di sana.

“Satya,” sapa Pras begitu Satya masuk.

“Iya, Pak. Bagaimana kondisi Bapak?” Satya mendekati ranjang Pras, kemudian duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang.

“Sudah mendingan. Bagaimana kantor?”

“Aman terkendali, Pak.”

“Bagus....” Pras tersenyum penuh arti. Memang tidak salah ia memilih Satya sebagai orang kepercayaannya.

Pras menerima berkas-berkas yang Satya bawa. Lalu memeriksanya. Beberapa saat kemudian, pria itu mengajak Satya bicara serius.

“Bicara apa, Pak?”

“Kamu tahu, aku sudah sangat percaya padamu.”

“Terima kasih banyak, Pak.”

“Selain kamu adalah karyawan yang baik, aku juga yakin kamu adalah kepala rumah tangga yang baik juga.”

“Insya Allah, Pak.”

“Kamu tahu, umurku sudah tidak akan lama lagi?”

Satya terperanjat. “Maksud Bapak?”

Pras menarik napas dalam, kemudian diembuskannya. “Satu tahun yang lalu, aku mendapat vonis dokter bahwa aku memiliki kanker. Kanker darah. Sudah stadium dua.”

“Maksud Bapak?” tanya Satya lagi.

“Ya, aku sakit. Sudah selama setahun ini, aku selalu rutin menjalankan pengobatan. Tapi, tampaknya Tuhan lebih menyayangiku.”

Satya diam. Ia tidak tahu harus berkomentar apa dengan kondisi bosnya.

“Entah besok, lusa, satu minggu lagi, atau satu bulan lagi, Tuhan pasti akan mengambil nyawaku.”

“Jangan pesimis begitu, Pak. Bapak harus semangat. Pikirkan Ibu juga anak-anak Bapak.”

“Karena itulah, aku mengajakmu bicara serius.”

“Maksud Bapak?”

“Aku sudah membicarakan ini dengan pengacaraku. Pamanku juga setuju. Perusahaan sepenuhnya aku serahkan padamu.”

“Apa?!”

“Tolong, jangan tolak ini. Aku melakukannya karena kamu satu-satunya orang yang aku percaya.”

“Pak ... Bapak masih punya Bu Suci.”

“Dia menolak. Apalagi, dia memang tidak memiliki pengalaman apa pun.”

Satya terdiam lagi.

“Selain itu, aku juga minta tolong padamu.”

“Apa itu, Pak?”

“Aku percaya kamu adalah pria dan suami yang baik. Tolong, jaga Suci dan anak-anakku. Nikahi dia. Aku yakin, kamu pasti bisa adil.”

Untuk kesekian kali, hari ini Satya tercengang dengan kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Pras.

“Saya sudah menikah, Pak. Dan Bu Suci juga masih istri Bapak. Kalau untuk menjaga, insya Allah saya akan menjaga mereka.”

Pras menggeleng pelan. “Aku tahu kamu sudah menikah. Makanya aku bilang, kamu pasti bisa adil. Aku yakin, jika tahu permasalahannya, istri kamu akan setuju. Istri kamu wanita yang baik. Untuk Suci, aku sudah menceraikannya tiga  bulan yang lalu, sejak aku memberitahukannya bahwa aku sakit parah. Pengacaraku juga sudah mengurusnya di pengadilan. Surat cerai pun sudah keluar. Dan selama tiga bulan ini, demi Tuhan aku tidak pernah lagi menyentuhnya.”

“Tapi Bu Suci juga memiliki hak untuk memilih, Pak.”

“Ya ... aku sudah pernah membahas ini dengannya. Dia memang belum memberikan jawaban. Aku ingin kamu menikahinya, karena aku yakin kamu bisa memberikan apa yang selama ini tidak aku berikan pada mereka.”

“Tapi, Pak—"

“Kamu sudah terlalu banyak tapi. Pikirkan dulu. Besok, bawa istrimu ke sini. Aku ingin bicara dengannya.”

***

Pras sakit. Akhirnya Suci menelepon dokter keluarga untuk memeriksa sang suami. Betapa terkejutnya ia saat mengetahui sebuah fakta bahwa suaminya sakit parah. Begitu kondisi Pras lebih baik, pria itu mengajak Suci bicara.

“Kenapa Mas menyembunyikan semuanya dariku, Mas?” tanya Suci. Pipinya sudah basah oleh air mata.

“Aku hanya tidak ingin kamu kepikiran. Biarlah hanya aku yang merasakan semuanya.”

“Aku istrimu, Mas ....”

“Ya, aku tahu. Sekarang kamu sudah tahu. Aku ingin minta maaf. Aku sadar, selama ini aku belum bisa menjadi suami dan ayah yang baik untukmu dan anak-anak. Maafin aku, ya ....”

“Kata siapa, Mas?! Mas suami dan ayah yang baik. Aku yakin, selama ini Mas sangat fokus pada pekerjaan, itu untuk kebaikan kami.”

Pras tersenyum. “Maukah kamu memelukku?”

Suci mengangguk. Ia memeluk Pras yang masih terbaring. “Suci, Sayang ... demi kebaikanmu, demi kebaikan kita, aku ingin menceraikanmu.”

Ucapan pelan Pras mampu membuat Suci membeku. Benarkah sang suami sedang menalaknya?

***

Tarik napas ... buang. Konflik dimulai. Tapi, aku kasih tahu lagi, tidak ada dunia perpelakoran dan pengkhianatan di sini. Keep calm ....

***

Tbc.
📝26.04.20

Beningnya CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang