17. Perang Batin

6.3K 721 188
                                    



Sejak pulang dari acara akhir pekan, Bening merasakan ada sikap berbeda yang Anis tunjukkan. Remaja itu kini terlihat semakin tidak menyukainya. Setiap kali bertemu, Anis selalu membuang muka.

Siang ini, Suci sedang menemani Satya untuk acara kantor. Membuang kebosanan, Bening keluar dari paviliun. Di teras rumah Suci terlihat Anis yang sedang memainkan ponsel. Bening mendekat.

"Sendirian?" tanya Bening sembari duduk di kursi teras.

"Ya," jawab Anis singkat.

"Ikbal?"

"Di rumah temannya."

Untuk beberapa saat hening. Bening juga bingung harus bagaimana.

"Tante masih muda, kenapa Tante tidak mundur saja?"

Mendengar pertanyaan dari anak sambungnya, membuat Bening terdiam sambil menatap Anis.

"Apa Tante tidak sakit hati harus berbagi suami?" tanya Anis lagi, menjelaskan pertanyaan sebelumnya.

Bening tersenyum. Ditariknya napas dalam, kemudian diembuskan. "Tante hanya wanita biasa. Rasa cemburu jelas ada. Tapi ... Tante tidak ingin rasa cemburu itu mengendalikan Tante."

"Tante tahu? Aku dan Ikbal sangat senang bisa memiliki Ayah. Papa Pras memang baik. Tapi, tidak seperhatian Ayah Satya. Kalau Tante bersedia, aku ingin memiliki Ayah seutuhnya. Aku ingin hanya Mama yang menjadi istri Ayah."

Sedih rasanya, seorang anak 13 tahun, memintanya untuk menyerah. Namun, Bening mencoba menutupi apa yang dia rasakan.

"Apa kamu membenci Tante?"

Anis memandangi Bening. "Entahlah. Aku hanya ... kenapa harus Tante yang bertemu lebih dulu dengan Ayah Satya. Seandainya saat bekerja dengan Papa, Ayah belum menikah, pasti Mama akan menjadi istri satu-satunya. Dan aku yakin, kami akan hidup bahagia."

"Bukankah, dengan adanya Tante pun, kalian juga bahagia?"

"Aku tidak suka ketika Ayah harus membagi waktunya dengan Tante. Aku tidak suka melihat Ayah memperlakukan Tante sama seperti Ayah memperlakukan Mama. Bahkan sepertinya Ayah lebih perhatian sama Tante."

"Kami sudah sejak kecil hidup bersama. Kami tinggal di rumah yang sama. Bahkan, kami sama-sama sudah tidak memiliki siapa-siapa. Ayah Satya sudah menjadi pacar Tante, sejak Tante SMA. Sejak saat itu, kami sudah berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain."

"Tante masih muda, Tan ... belum punya anak juga. Pasti banyak yang mau sama Tante seandainya Tante mau meninggalkan Ayah."

"Apa kamu benar menginginkannya?"

"Ya...."

Bening tersenyum. "Maaf ... Tante hanya akan pergi, jika Ayah Satya yang memintanya."

"Tante egois!"

Tanpa mengatakan apa pun, Bening meninggalkan Anis dan masuk ke paviliun.

Di dalam paviliun, Bening tidak bisa melupakan obrolannya dengan putri adik madunya. Meninggalkan Satya? Tidak. Itu tidak mungkin Bening lakukan. Kecuali, jika memang Satya yang memintanya. Ya, tidak ada alasan untuk melakukan itu. Poligami tidak membuat hubungannya dengan Satya berubah. Justru saat betemu sebisa mungkin mereka memanfaatkan waktu dengan baik. Tidak pernah sedikit pun Bening berpikir untuk berpisah. Dan dia juga yakin, Satya pun demikian.

***

"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Satya tepat saat Bening membuka pintu kamar kosnya.

Ya, saat ini Bening bekerja di salah satu toko yang memang jauh dari panti. Karena itulah dia memilih untuk mengekos.

Beningnya CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang