Ketentuan Allah

2.3K 132 4
                                        

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."
[QS. Al-Anbiya:35]

⭐🌟⭐

Memorian masa kecil terulang bagai kaset yang terlupakan bersama sang waktu, ketika langkahnya kembali menjejaki sebuah halaman luas dengan bangunan-bangunan yang berdiri kokoh di dalamnya. Diagram kehidupan tak selamanya akan datar, pasti akan ada perubahan. Seperti anak-anak yang tak selamanya akan bahagia dengan kepolosan, dan masa remaja rela terkikis oleh kedewasaan yang menuntut datang.

Ternyata selama ini ia salah menduga. Bahwa menjadi dewasa bukanlah akhir dari sebuah perjuangan hidup, karena dengan masa itu kita semakin di tuntut dalam menciptakan bahagia sendiri di atas luka yang berderai deras bagai badai hujan. Rindu dengan masa kecil mungkin hal yang wajar jika di rasakan, akan tetapi untuk meminta terulang kembali, mungkin itu hal yang mustahil.

Maka dari itu cukuplah kita bersyukur pada keadaan yang ada, dam ciptakanlah bahagia sesuai porsi walau itu sulit. Ada waktunya senyuman perlu menghiasi tanpa kebohongan. Seperti senyuman yang sendari tadi menghias di bibir berwarna merah jambu itu. Tampak manis dan penuh ketulusan.

Bahagia membeluncah tatkala ia mampu memuai sebuah rindu, dan melupakan sejenak luka yang hinggap. Kini, di tempatnya berdiri--tepat di hadapan gerbang bertuliskan nama yang menjadi sebuah kebanggaannya, ia seolah melihat bayang-bayang masa di mana jiwanya yang belum mengenal akan nestapa yang sesungguhnya.

Langkah itu kembali membawanya ke dalam halaman yang menampilkan aktivitas yang amat tak asing lagi. Safa tersenyum seraya menyapa para wanita-wanita berkerudung yang tengah bergelut pada tugasnya. Raut wajah mereka menyirakan kebahagian, menyambut sang ning yang beberapa bulan ini tak hadir di tengah-tengah mereka.

"Mbak Safa!!" Pekikan itu seketika membuat sang empunya nama menoleh cepat, senyumannya semakin lebar seraya merentangkan tangan menyambut pelukan dari sang adik tercinta. "Zia kangen, Mbak!"

"Mbak juga," sahutnya. Lalu melerai pelukan itu seraya menatap gadis yang lebih muda darinya itu, "Mbak sudah tidak sabar mau bertemu Abi sama Umi. Ayo, kita temui mereka!"

"Ayo!"

Kakak beradik itu pun berjalan beriringan. Sepenggal cerita menemani langkah mereka. Tak sia-sia Safa meminta izin pada Ibram yang tengah berada di luar kota untuk menginap beberapa hari di sini--di tempat tinggal nya dulu sebelum Ibram menjadikannya seorang istri.

"Umi! Tengok siapa yang datang nih!" Seru Zia ketika mereka memasuki rumah yang menurut Safa banyak sekali ketenangan di dalamnya.

Muncul lah sosok wanita paruh baya yang seolah memberikan pengaruh positif bila ada di dekatnya. Wanita ialah Maryam. "Masyaallah, Safa!"

Safa membalas pelukan Maryam dengan mengikis sebuah kerinduan pada dekapan yang membuat Safa mengenal arti kebahagian di masa kecil. "Umi sehat? Heum Abi mana?"

Maryam melerai pelukan itu seraya berkata, "alhamdulillah Umi sehat. Dan Abimu lagi luar menghadiri acara, mungkin nanti sore pulang."

"Kenapa gak bilang-bilang mau ke sini? Kan Umi bisa masa banyak." Tutur Maryam seraya mengiring putri sulungnya itu untuk duduk di sofa. Bersama dengan Zia tentunya, yang terus menyimak. "Oh iya, Ibram mana?"

For My ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang