Pilihan

2K 141 8
                                    

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah."
(QS. Al-Balad: 4)

⭐🌟⭐

Aroma bumbu rempah tercium sempurna ketika memasuki ruangan yang di penuhi alat masak. Bunyi percikan minyak yang mulai panas menandakan adanya aktivitas membuat olahan di sana. Suasana pagi seperti biasa, tak ada yang istimewah.

Beberapa hari menginap di rumah orangtuanya membuat Safa merasa cukup dalam hal ketenangan hatinya. Selama beberapa hari itu pula ia menjalankan pemulihan, hingga akhirnya penglihatannya kembali seperti semula, namun penyakit yang menggerogoti tubuh masih belum ia kalahkan. Semua proses butuh waktu.

Prihal Ibram dan kedua mertuanya, Safa masih menyembunyikan kenyataan itu. Ia rasa akan ada waktunya, nanti. Karena jika mengatakan sekarang, Safa takut merasa menambah beban mereka dam Ibram semakin terpojok dalam kenyataan yang masih belum ia terima.

Hembusan nafas pelan menjadi pengakhir lamunan Safa, ia mengambil ahli sayuran untuk di potongnya lalu di masak menjadi sup. Di tengah kegiatannya itu, seketika cairan kental merah keluar dari ronggah hidung Safa. Ia kemudian menyekanya, "astagfirullah," gumamnya, lirih.

Segera Safa mencuci bercak darah tersebut, dan menutupinya dengan tangan. "Ammi Safa ke kamar dulu, ada yang ingin Safa ambil," ucapnya pada Bilqis.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya wanita paruh baya itu yang melihat Safa menutupi hidung serat mulutnya dengan tangan.

"Safa baik-baik saja. Safa ke kamar dulu, nanti Safa kembali lagi." Tanpa jawabaan Bilqis ia lantas menaiki anak tangga menuju kamarnya, karena darah di hidungnya semakin mengalir.

Sampai di kamar, Safa dengan cepatnya menyambar sekotak tisu. Tanganya begitu gusar menghentikan pendarahan di hidungnya tersebut. Selang beberapa menit, aliran darang itu mulai menipis. Safa menghembuskan nafas lega. Apa yang terjadi padanya tadi merupakan hal biasa untuknya sekarang.

Kemudian netranya beralih pada jam dinding, di sana sudah menunjukan waktunya meminum segala obat-obatan yang di berikan dokter padanya. Ia telah menjadi gadis yang bergantung pada obat dokter.

"Kamu sakit?"

Sempontan Safa menoleh ke daun pintu, tangannya denfan cepat menutup kotak obat tadi seraya menyembunyikan di belakang. "Ammi ...."

Safa mengigit bahwa bibirnya ketika Biqis menghampiri, lalu mengambil kotak obat yang tadi Safa sembunyikan di belakang badannya. "Kamu sakit apa, Nduk?"

Gadis itu memejamkan mata lalu membukanya kembali seraya menghembuskan nafas yakin. "Maafkan Safa, Ammi."

"Apa kamu melakukan kesalahan?"

"Safa sudah merahasiakan sesuatu," tutur Safa perlahan.

Bilqis menatap serius menantunya tersebut, "apa yang kamu rahasiakan dari Ammi? Bicaralah."

Safa terdiam sesaat. Detik berikutnya, ia pun mulai menceritakan semuanya. Termasuk kenyataan yang mampu membuat Safa menangis bila mengingatnya, Bilqis pun dengan sigap membawa gadis itu pada dekapannya. Safa sudah dianggap seperti putrinya, oleh sebab itu Bilqis paham betul bagaimana tersiksanya Safa dalam kedua hal yang menyakitkan. Hatinya terluka dan tubuhnya pun terluka.

"Kenapa harus kamu yang merasakan ini, Nduk," lirih Bilqis.

Safa melerai pelukan itu dengan jejak air mata yang kini ia lap memakai jemarinya. "Mas Ibram belum tahu hal ini. Safa minta tolong sama Ammi dan Baba untuk memberikan ruang bagi Safa menyelesaikan semuanya."

"Kamu yakin?"

Anggukan kecil sebagai jawabannya. "Safa pikir ini semua jawaban dari Allah untuk Safa memikirkan lebih matang soal keputusan akhirnya dari hubungan Safa dan Mas Ibram."

Bilqis semakin menatap bingung, "kamu mau meninggalkan Ibram?"

Ia terdiam mendengar pertanyaan sang ibu mertua. Kemudian Safa tertunduk, ia tak berani menatap Bilqis yang penuh pengharapan itu.

"Baiklah. Ini hubungan kalian, dan seharusnya kalian bisa membawanya ke arah mana saja. Entah itu ke arah penyatuan atau perpisahan. Ammi dan Baba akan memantau, bila sekiranya sulit untuk memutuskan."

Memang benar, pada akhirnya sebuah hubungan berjalan atau tidaknya tergantung sang kedua tokoh utama dalam kisah itu.

⭐🌟⭐

"Ada hal yang ingin Safa tanyakan sama Mas." Ungkap gadis itu seraya langkahnya menghapus jarak diantara mereka. Lalu ia mendudukan dirinya di sofa.

Ibram yang sedang membaca santai sebuah buku, lantas menoleh sekilas, "tanyakan saja." sahutnya seraya kembali pada bacaannya.

"Apa yang Mas inginkan dari pernikahan kita?"

Seketika Ibram mendelik tak suka terhadap apa yang di tanyakan gadis yang beberapa bulan lalu resmi jadi istrinya itu. "Mengapa bertanya seperti itu?"

"Jawab saja." Ucap Safa seraya mengalihkan pandangannya ke segala arah yang terpenting tidak menatap mata tajam milik Ibram itu. "Hati Safa merasa Mas tak bahagia atau dengan kata lain terpaksa melakukan pernikahan ini. Ataukah Mas Ibram hanya melakukan semua ini hanya untuk menjadi tempat pelarian dari luka masa lalu?"

"Jika saya mengatakan tebakanmu mengenai sasaran, apa kamu akan terluka?" Pertanyaan Ibram mampu menohok hati Safa.

Batin Safa menangis, ingin meraung-raung bahwa ia butuh keadilan di sini. "Begitukah? Oke jawaban Mas membuat Safa yakin akan keputusan Safa."

"Kamu menangis?" Tanya Ibram ketika melihat sebulir air keluar dari mata gadis yang ada di sampingnya itu. Lantas saja, Safa menghapusnya dengan cepat. "Untuk apa Safa melakukan hal bodoh itu," jawabnya.

Mata Ibram dibuat tak berkedip mendengar jawaban seorang Safa kali ini. "Jika kamu melakukan keputusanmu itu, apa kamu tidak merasa mengecewakan orang tua saya dan orangtua mu?"

"Safa lebih baik terlihat mengecewakan di mata mereka, dari pada Safa terlihat bodoh pada diri Safa sendiri dan terus membohongi Allah yang berpura-pura menikmati semua kenyataan ini."

"Jadi kamu menyerah?"

Kemudian Safa menatap lekat Ibram, "untuk merubah sikap seseorang saja sulit, apa lagi merubah perasaan di dalam hatinya. Mungkin akan terlihat mustahil."

Terdengar hembusan nafas kasar dari Ibram. Lelaki itu bangkit dari duduknya seraya berkata, "apapun yang kamu putuskan, saya tak peduli."

Safa menatap Ibram yang melangkah menjauh, hingga lelaki itu terhenti di daun pintu seraya membalikan badannya kembali ke arah Safa. "Saya minta maaf belum mencintaimu. Dan untuk lukamu, itu adalah akibat dari keputusanmu." Kemudian berlalu dari sana.

Safa tertunduk penuh sesak di dadanya. Ia menangis dalam diamnya, tak ada air mata, karena sesungguhnya tingkat kesedihan yang mendalam adalah di kala emosi dan rasa sedih itu menyatu.

Apa yang dikatakan Ibram memang benar, bahwa luka yang diterima Safa tak lebih dari akibat yang harus Safa terima dari keputusannya untuk membawa Ibram pada cintanya.

Oh Allah, mengapa mencintai seseorang yang terjebak dalam masa lalunya terasa sesakit ini?

Oh Allah, maafkan hati ini yang tak bisa bertahan pada takdirmu!

Oh Allah, luka yang engkau berikan begitu merusak atma ini!

Oh Allah, jika ini jawaban takdirmu, lapangkan hatiku untuk menerimanya ...

⭐🌟⭐

😢

Kira-kira akan ada usaha Ibram untuk menahan Safa tidak yah?

Come on vote!😗

Salam, Aniaputrisy|14 Mei 2020.

For My ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang