Mengikhlaskan

335 15 0
                                    

“Kamu sudah tau mengenai hal ini?” tanya Alesha dengan nada dan tatapan yang tak bisa diartikan lagi.

“aku bisa jelaskan Alesha.” Ucap Shaka sembari menggenggam tangan Alesha tapi Alesha menepisnya.

“aku tak butuh penjelasanmu.” Ucap Alesha dengan tatapan kecewa yang dilemparkan kepada Shaka. Alesha pergi meninggalkan Shaka seorang diri di ruangan itu.

Shaka mengejar Alesha menuju kamar mereka. Shaka berusaha menjelaskan pada Alesha tetapi perempuan itu tak mau mendengarkannya.

“Alesha, aku melakukan ini karena permintaan Baba. Ia tak mau kamu terbebani jika mengetahui hal ini.” Ucap Shaka setelah ia sampai di kamar mereka dan mendapati Alesha masih berdiri disana.

“dan karena itulah aku seperti orang bodoh sekarang yang tak mengetahui apapun tentang penyakit Babanya sendiri. Setidaknya kalau kalian memberitahuku hal ini aku bisa menjaga Baba di sisa-sisa hidupnya. Bukan meninggalkannya seorang diri melewati semua ini.” Ucap Alesha dengan suara melemah. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Shaka hendak mendekat tetapi Alesha menahannya.

“aku sudah membuat kesalahan pada Mama ketika ia meninggalkanku, kini aku melakukannya juga pada Baba. Ini tidak adil bagiku Shaka.” Ucap Alesha kini meninggalkan panggilan yang selama ini ia gunakan pada Shaka. Hati Shaka merasa sakit ketika mendengar hal itu.

“Alesha aku minta maaf. Aku tidak bermaksud..”

stop it Shaka. Aku tak mau mendengar apapun lagi.” Ucap Alesha memotong ucapan Shaka.

“tapi..”

“tinggalkan aku sendiri.” Ucap Alesha dengan nada datar dan dingin. Shaka menghela napasanya pelan lalu keluar dari kamarnya meninggalkan Alesha seorang diri. Ia tahu istrinya butuh waktu sendiri. Biarlah Alesha mengambil waktu itu sebanyak-banyaknya.

Setelah Shaka pergi tubuh Alesha meluruh ke lantai. Tangisnya pun pecah. Alesha merasa bersalah. Alesha merasa menjadi anak yang tak berguna bagi Babanya.

“Baba maafkan Alesha. Alesha tidak ada ketika Baba membutuhkan Alesha disamping Baba.” Gumam Alesha masih dengan berurai air mata.

***

Shaka mengetuk pintu kamar istrinya tetapi tak ada respon dari dalam. Istrinya masih setia mengurung diri di dalam. Ia hanya ingin mengantarkan sarapan untuk Alesha. Ia tak mau Alesha sakit.

“Alesha aku mohon, makanlah dulu.” pinta Shaka pada istrinya tapi tak kunjung ada jawaban.

“Alesha, kamu boleh marah padaku tapi janganlah menyiksa dirimu seperti itu. Makanlah Alesha. Aku akan pergi setelah kamu memakan ini.” Bujuk Shaka lagi tapi hal itu tak berhasil.

Kemudian seseorang menghampiri Shaka. Dia adalah Hana. Sedari tadi Hana melihat abangnya yang membujuk Alesha tapi tak mau. Ia merasa kasihan pada abangnya itu.

“Abang, biar Hana aja yang coba masuk.” Ucap Hana membantu abangnya. Shaka pun mengangguk mengiyakan.

“abang ke bawah aja ya. Aku akan pastikan Kak Alesha memakan sarapan ini.” Ucap Hana lagi pada Shaka. Mau tak mau Shaka pun menurutinya walaupun ia ingin sekali melihat keadaan Alesha.

“Kak Alesha, ini Hana. Boleh ya Hana masuk? Disini Cuma ada Hana, abang ada di bawah.” Ucap Hana di balik pintu kamar Alesha. Tak butuh waktu lama pintu pun terbuka. Hana tersenyum lega.

Hana masuk ke dalam kamar dan mendapati Alesha dalam keadaan kacau. Mata perempuan itu bengkak dan memerah. Rambut Alesha pun berantakan. Hana menjadi iba melihatnya.

“kakak sarapan dulu ya.” Ucap Hana pada Alesha tetapi Alesha menggeleng.

“sedikit saja kak.” Bujuk Hana lagi. Mau tak mau Alesha pun mengambil makanan itu dan menyuapkan beberapa makanan ke mulutnya.

“Kak, boleh Hana berbicara?” tanya Hana pada Alesha.

“Hana maaf, kalau kamu mau membujuk kakak untuk memaafkan Shaka, kakak belum bisa.” Ucap Alesha dengan suara lemah.

“oh tidak Kak, Hana tidak akan membicarakan hal itu. Hana hanya ingin sedikit bercerita saja. Bolehkan?” tanya Hana lagi yang dijawab anggukan oleh Alesha.

“dulu sewaktu aku berumur sepuluh tahun, Ibuku meninggal. Dia meninggal bukan karena kecelakaan atau apa tapi karena sakit tumor otak. Kami semua tidak ada yang tahu mengenai hal itu. Ibu begitu rapi menutupi rahasia besar ini dari kami. Kami tau kalau ibu sering minum obat tapi ia mengatakan itu hanya vitamin saja. Kamipun percaya akan hal itu. Sampai akhirnya keadaan ibu memburuk. Dia muntah darah sebelum tak sadarkan diri. Kami semua terkejut ketika dokter mengatakan bahwa ibu sudah tidak bisa diselamatkan lagi karena tumornya sudah parah. Kami tak pernah mengetahui hal itu dan saat itu kami semua diliputi rasa bersalah. Ayah depresi berat, ia mengendarai mobil membabi buta dan tidak konsentrasi dan akhirnya Ayah pun ikut pergi. Aku dan Abang sangat terpukul waktu itu. Kami kehilangan dua orang yang penting bagi hidup kami. Kami menyesal karena tidak mengetahui hal besar itu. Tapi akhirnya kami bisa bangkit lagi. Kami menyadari bahwa penyesalan tak akan mengubah semuanya. Yang pergi tak akan pernah bisa kembali. Yang bisa kami lakukan hanya mengikhlaskan. Walau berat tapi akhirnya kami bisa melewatinya.” Ucap Hana diakhir ceritanya. Ia mengusap air mata yang terjatuh dari pipinya.

“Aku harap Kak Alesha juga bisa melenyapkan rasa penyesalan di hati Kakak karena tidak mengetahui hal besar itu. Kakak  ganti rasa penyesalan itu dengan rasa ikhlas. Insya Allah Kakak akan merasa lebih tenang.” Ucap Hana lagi sembari melemparkan senyum pada Alesha.

“sebenarnya Abang ingin memberitahu kakak perihal sakitnya Ayah Kakak, abang juga tau bagaimana rasanya di posisi Kakak. Ia tak tega pada Kakak tapi ia sudah kadung janji dengan Ayah kak Alesha. Tapi itu semua Ayah Kakak lakukan untuk kebaikan kakak. Beliau tak mau Kak Alesha bersedih.” Alesha menatap Hana dalam. Alesha mencoba mencerna semua nasihat Hana padanya. Ya, seharusnya ia mengikhlaskan semuanya. Tak ada gunanya juga ia berlarut dalam kesedihan dan penyesalan. Hal itu tak akan bisa membuat Baba kembali.

“terimakasih Hana.” ucap Alesha tulus. Hanya itu yang bisa Alesha sampaikan pada Hana. Ia sangat berterimakasih karena sekarang hati dan pikirannya sudah terbuka.

***

“Gimana Han? Alesha udah mau makan? Dia masih marah sama abang?” tanya Shaka beruntun ketika melihat Hana sudah keluar dari kamar Alesha.

“Kak Alesha sakit Bang dan dia pingsan sekarang. Hana mau cari minyak angin dulu deh.” Ucap Hana dengan wajah panik sontak membuat Shaka ikut panik. Ia pun berlari keatas untuk menemui Alesha. Untung saja pintu kamar itu tidak terkunci

“Alesha, maafkan aku. Aku tak bermaksud melakukan ini padamu. Bangunlah Alesha. Kamu boleh menghukumku apapun tapi tidak dengan mendiamkanku.” Ucap Shaka sembari mengguncang tubuh Alesha yang terbaring di ranjangnya itu.

“Mas, kamu kenapa?” tanya Alesha sembari menatap suaminya dengan tatapan bertanya.

“kamu sudah bangun? Bukannya kamu tadi pingsan?” ucap Shaka bingung.

“pingsan? Aku hanya tidur.” Ucap Alesha yang sontak membuat Shaka merasa kesal pada adiknya. Adiknya sedang mengerjainya ternyata.

“kamu mau memaafkanku Alesha?” tanya Shaka lagi. Alesha tersenyum lalu mengangguk.

“seharusnya aku yang minta maaf, maaf telah yang tidak baik padamu kemarin.” Ucap Alesha menyesal.

“tak apa Alesha. Terimakasih telah memaafkanku.” Ucap Shaka lalu mencium kening istrinya lama.

***

Thanks for reading..
Jangan lupa vote dan komentarnya ya biar aku semakin semangat nulisnya..
Thanks guys :)

Aleshaka (sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang