24 | Tangisan dalam Diam.

242 18 0
                                    

-Marhaban yaa Ramadan!
-InsyaaAllah bakal sering update cerita ini. Jadi, baca dan dukung terus, ya, lewat vote dan komen. Biar saya semangat :v.
-#jangan_lupa_vote!

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Laki-laki yang sulit dicari adalah yang;
menangis karena Allah, takut zina, berjihad ketika usia muda, cinta masjid dan berakhlak mulia."
-HAFIDZ-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Assalamu'alaikum."

Suara salam yang menguar, membuat Hafidzuan mendongak dan menjawab salam itu. "Wa'alaikumussalam."

"Kok nggak masuk, Nak? Bentar lagi mulai, loh."

Hafidzuan tersenyum canggung. "E--eh, ini baru mau, Om. Tadi habis istirahat sebentar."

"Habis lari-lari, ya? Keliatannya capek banget."

"Iya. Hehe."

"Ya udah, masuk yuk!"

Hafidzuan mengangguk, lantas berjalan mengekori kedua pria paruh baya yang tadi bercengkrama sejenak dengannya ke dalam masjid.

"Kok saya baru pertama kali liat kamu di sini, ya? Warga baru apa gimana?"

Salat Jum'at sudah selesai dilaksanakan. Dan kini, ketiga laki-laki berbeda umur itu menduduki pelataran masjid sambil membuka percakapan baru.

"Oh, nggak, nggak. Saya asal Bekasi, dan baru ke sini buat yang pertama kali. Karena biasanya kalo pulang kampung, saya jarang ikut kecuali kalo di kampung yang lain."

Pria yang sejak tadi mengajak bicara Hafidzuan--Amjad--ber'oh'ria. "Oh ya, kalo boleh tau, abimu mana? Kok nggak ikut salat Jum'at?"

"Abi baru berangkat ke sini hari ini, tepatnya setelah salat Jum'at karena masih ada urusan di sana."

"Oh, begitu."

Beberapa saat kemudian, ketiganya berjalan bersama bertolak dari masjid untuk menuju rumah masing-masing.

"Loh, rumah kerabatmu di deket sini?"

Amjad bertanya demikian sebab semenjak beranjak dari masjid, ia, Hafidzuan dan Areeq menapaki jalan yang sama.

"Iya Om. Rumah kerabat Om juga di deket sini?"

"Iya. Tuh, yang catnya biru muda."

Hafidzuan mengernyitkan dahi begitu melihat rumah yang ditunjukkan Amjad dengan dagunya.

"Rumah itu 'kan yang tadi ditempati Hanna dan Rayna. Kalo gitu, jangan-jangan Om ini ...."

"Mau mampir?"

"Eh, lain kali aja deh, Om. Lagipula, harusnya saya yang nawarin Om buat mampir."

Amjad dan Areeq pun tertawa. "Gak pa-pa. Santai aja, Fidz."

Hafidzuan hanya tersenyum simpul. Merasa agak canggung berinteraksi dengan orang yang lebih tua.

"Kalau Ashfeeq--anak bungsu Om--sudah besar, Om harap dia bisa menjadi sepertimu."

[SFRS1] HAFIDZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang