Coffe 01

19.3K 1.7K 90
                                    

"Ra, gambar kamu keren. Udah di acc sama Pak Rano. Klien juga puas."

Aku tersenyum mendengar celetukan Gia. Salah satu temanku di perusahaan creative studio ini. Sebagai seorang desainer grafis tentu saja itulah yang aku perlukan. Kepuasan seorang klien.
Sebenarnya creative studio itu hampir sama dengan advertising agency..tempatku bekerja sebelum ini. Tapi di sini lebih mudah karena kita tidak dituntut untuk memasang iklan di media. Hanya sampai membuat desain sesuai dengan keinginan klien. Dan setelah itu selesai. Maka aku lebih senang bekerja di sini daripada di tempatku dulu yang selalu saja kejar-kejaran dengan waktu.

"Ra, bentar lagi meeting ama klien. Yang kemarin kita briefing itu."

Celetukan Mas Adi, bosku di sini langsung membuat aku menatapnya. Pria berambut kriwil dengan kacamata berbingkai hitam itu kini keluar dari ruangannya dan menatap kubikelku. Gia yang tadi berdiri di sampingku langsung kabur menuju tempatnya.

"Siap, mas. Ehm pas jam makan siang kan?"

Mas Adi langsung menganggukkan kepala sambil membenarkan kacamatanya.

"Deket kok Ra, tuh di cafe yang baru aja buka. Di deket gedung ini. Pemiliknya pingin kita buatin logo gitu buat cafenya."

Aku langsung mengacungkan kedua jempolku ke atas.

"Sip, mas."

******
Memasuki bangunan cafe yang disebutkan Mas Adi tadi membuat aku seperti mengenal desainnya. Cafe dengan desain industrial ini membuat aku langsung merasa betah.

Dindingnya yang memang terkesan industrial sangat terlihat. Biasanya dinding akan dilapisi cat warna warni ataupun walpaper. Tapi dinding di cafe ini dibiarkan unfinished. Kesannya memang maskulin dan strong. Lalu saat melihat meja dan kursinya cafe ini memadukan dua elemen yaitu kayu dan metal. Pasti pemiliknya seorang pria muda yang modern.

"Ra, kita duduk di sana ya?"

Mas Adi yang berada di belakangku sedikit membungkuk untuk berbicara. Aku langsung menganggukkan kepala. Dia dengan sabar mengajakku ke ujung meja. Dimana ada sofa warna krem susu dengan bantal-bantal bertuliskan coffe di sana.

"Nah, bentar. Aku kasih tahu dulu ama klien kita."

Aku menganggukkan kepala saat Mas Adi menjauh dan menelepon. Sedangkan aku asyik mengamati cafe ini. Sebenarnya aku dulu bercita-cita mempunyai cafe dan konsepnya kurang lebih seperti ini. Khayalan seorang gadis remaja yang memimpikan kehidupan sempurna.

Aku tersenyum miris saat mengingat masa itu. Kubenarkan sweater coklat yang aku pakai. Rok tartanku yang berwarna coklat susu kini juga aku rapikan.

"Nah, ini dia. Bang Gana akhirnya ketemu."

Mendengar suara Mas Adi membuatku menoleh. Dan aku tertegun saat melihat siapa yang kini berdiri di depanku. Pria dari masa laluku yang sangat ingin aku hindari.

*****

"Apa kabar, Ra?"

Suara itu masih sama. Wajah itu juga masih sama, hanya sekarang sudah terlihat lebih macho dan dewasa. Wajah yang dulu sempat mengisi hari-hariku.

"Baik."

Aku menjawab itu dengan mengaduk-aduk kopi di depanku. Siapa sangka, yang menjadi klien kami adalah Gana. Pria yang sudah sejak aku masuk SMP menjadi sahabatku. Dulu, rumah kami berdekatan. Gana ini sangat ramah, yang membuat aku jadi dekat dengannya. Gadis naif dan manja. Dulu, aku mempercayai kalau dunia sangat mencintaiku.

Bagaimana tidak? Aku terlahir dari seorang Pilot dan Pramugari yang sangat menyayangiku. Aku anak tunggal dan sangat dimanja
Wajahku yang cantik membuat aku percaya kalau tidak ada yang tidak menyukaiku.

Dulu, Gana selalu menasehatiku agar aku tidak boleh sombong. Tapi aku mengabaikannya. Berganti-ganti cowok yang loyal kepadaku. Menghambur-hamburkan uang dari orang tua. Tapi kalau aku sedih, pasti aku larinya ke Gana. Sampai suatu hari semua itu hilang tidak berbekas. Peristiwa itu...

"Aku tuh nyariin kamu Ra. Bisa gitu kamu pergi dan pindah nggak ngasih tahu aku?"

Suara Gana menarikku kembali dari lamunan. Aku menatap wajah Gana yang kini tampak serius. Sebenarnya kami tadi sudah mencapai kesepakatan. Mas Adi balik ke kantor terlebih dahulu, karena Gana berjanji mengantarkanku. Mas Adi malah sangat senang saat tahu kalau aku dan Gana dulunya seorang sahabat. Jadinya aku ditinggal di sini.

"Cafe kamu keren."

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Kening Gana tampak berkerut. Tapi dia kemudian tersenyum. Khas seorang Gana.

"Yes. Aku udah mimpiin ini. Sebenarnya udah lama sih, cuma baru dapat tempatnya setahun ini. Cakep kan?"

Matanya berbinar saat mengatakan itu. Aku suka tatapan mata Gana yang selalu terlihat antusias saat mengatakan sesuatu.

"Selamat ya?"

Gana menganggukkan kepalanya dan tersenyum lagi.

"Kamu udah lama kerja di kantor kamu ini?"

Gana mengalihkan pembicaraan lagi. Aku menganggukkan kepala. Masih tidak nyaman, karena sebenarnya aku tidak ingin bertemu dengan Gana. Cepat atau lambat dia pasti akan...

"Ra, kenapa kamu gak cerita sama aku?"

Apa yang aku nantikan akhirnya terucap dari mulutnya. Gana menatapku dengan pandangan iba. Aku benci itu. Selalu membenci tatapan orang yang iba kepadaku.

Kualihkan tatapan ke arah kaca di sebelahku. Mencoba untuk menatap jalanan yang sibuk di sana.

"Ra..."

Panggilan itu membuat aku akhirnya menatap Gana. Aku benci perasaan melankolis ini. Aku tidak suka tatapan Gana kepadaku.

"Apa? Kamu pasti akan mengasihiku kan kalau tahu keadaanku seperti ini?"

Akhirnya aku menunjuk kursi roda yang aku duduki. Lalu ke arah kedua kakiku yang tampaknya baik-baik saja. Tapi salah satunya adalah kaki palsu.

Gana tampak terkejut dengan emosiku yang tersulut.

"Ra..."

Air mata sudah menetes di wajahku. Aku segera mengusapnya dengan kasar.

"Aku cacat Gan. Iya cacat. Tapi aku bisa kok. Buktinya aku bisa bekerja."

Akhirnya kuutarakan hal itu. Aku membenci fakta kalau orang lain menatap kakiku dan langsung merasa iba. Aku memang cacat, tapi aku tidak suka dikasihani.

Bersambung

Yeaiii ceritanya Bang Gana nih...suka?

Masukin ke library dan votement ya




COFFEE BREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang