coffee 19

5.8K 1.3K 53
                                    


Gana meminta maaf atas sikapnya dan semalaman dia terus berada di sisiku. Bahkan tadi meski sedikit canggung saat meminta tidur di sebelahku, akhirnya Gana memelukku erat. Aku merasa nyaman meski masih malu. Tapi aku ini sekarang sudah istrinya, dan banyak cewek lain yang menginginkan posisiku, seperti ini. Salah satunya adalah Wina, jadi yah, aku sekarang mencoba untuk terbiasa dengan ini semua. Aku jadi merasa bersalah, belum memberikan apa yang harus aku berikan kepada Gana. Dia berhak mendapatkannya.

"Sayang." Suara itu membuat aku mengerjapkan mata. Masih sangat pagi memang, setelah shalat subuh tadi, kami akhirnya tidur kembali. Karena rasa lelah yang masih mendera seluruh tubuhku. Gana juga sepertinya kelelahan karena masalah semalam dengan Wina.

"Bang, udah bangun?"

Aku menoleh malu-malu ke arahnya. Saat melihatnya tersenyum dan mengusap matanya, dia terlihat begitu manusiawi. Bangun tidur dengan rambut acak-acakan. Dia menguap lagi dan aku merasa kasihan, dia terlihat ingin tidur lagi.

"Heemm, bisakah seharian di atas kasur?"

Dia mengerjapkan matanya saat megatakan hal itu. Aku sendiri kini tersipu malu karena ucapannya, matanya sudah di pejamkan lagi.

"Malu, nanti sama Bi Asih kita di ketuk pintunya gimana?"

Gana malah kini melingkarkan tangannya ke pinggangku dan menarikku masuk ke dalam pelukannya.

"Biarin. Kita kan pengantin baru. Harusnya kita tuh bulan madu gitu, ke Maldives."

Ucapannya membuat aku tersenyum, Gana sudah kembali menjadi dirinya sendiri. Aku yakin masalah semalam sudah di selesaikannya. Tapi aku ingin mendengar detailnya dari Gana.

"Bang..."

"Hemm.."

Gan kini membuka matanya dan menatapku dengan mata kantuknya itu.

"Urusan dengan Wina beneran sudah selesai?"

Disinggung tentang hal itu, Gana tampak tidak nyaman. Tapi aku tahu dia berusaha menguasai keadaan. Dia bahkan mengulas senyumnya, dan kali ini menjentikkan jarinya di pucuk hidungku.

"Cemburu?" Aku mengerucutkan bibirku mendengar candaannya.

"Nggak lucu. Ini aku tanya soal Wina, karena aku nggak mau lagi ada duri di pernikahan kita, Bang. Kamu kan tahu, aku merasa..."

Tiba-tiba saja ucapanku terhenti karena Gana mencium bibirku. Membuat mataku membelalak.

"Tidak ada Wina lagi, Ara. Semalam aku sudah membuatnya jelas. Kalau aku tidak pernah mencintainya. Dia hanya tidak mau di tolak olehku. Perasaannya itu hanya obsesi. Dan karena hal itu, kedua orang tua Wina akhirnya membawa Wina ke Singapura. Sebenarnya mereka sudah akan pindah sebelum pernikahan kita, hanya saja Wina terus merengek, mengatakan ingin melihat pernikahanku. Tapi tak tahunya dia malah mengacau. Papanya meminta maaf kepadaku, dan juga Mama dan Papa. Karena putrinya sudah mengacau."

Gana menjelaskan panjang lebar. Aku hanya bisa menatapnya. Dia begitu tenang saat mengatakan itu semua. Aku sungguh bersyukur, Wina sudah tidak mengganggu kami lagi.

"Ehmm jadi memang sudah tidak ada di sini ya?"

Gana menggelengkan kepala dan kini meraih tubuhku lagi untuk menempel di tubuhnya. Jantungku berdegup dengan kencang. Kedekatan ini yang pertama untukku. Dulu, aku dan Gana memang dekat, tapi masalah seperti ini, itu yang pertama bagi kami.

"Kamu harus percaya sama aku, Ara. Selama ini aku menjaga hatiku, hanya untukmu. Meski aku tidak tahu kapan kamu akan datang, dan sekarang setelah memilikimu, aku tidak akan pernah lagi melepaskanmu."

Gana menunduk dan berbisik di telingaku. Mengirimkan hawa panas dari nafasnya. Dia memang godaan untukku, saat ini. Akhirnya aku mendorong dadanya dengan tangan agar sedikit menjauh dariku. Pipiku sudah terasa sangat panas untuk saat ini.

"Ya udah, Ara percaya kok. Tapi sekarang lepasin Ara. Mau mandi nih."

Gana tetap tidak melepaskan pelukannya. Dia malah makin mempererat pelukannya.

"Nggak mau. Kamu kan masih sakit, gimana kalau mandinya aku yang bantuin gitu?"

Aku tersenyum mendengar nada jailnya. "Modus."

Gana tergelak dan kembali mendekat, kali ini pipiku yang di ciumnya.

"Modus sama istri sendiri, sah-sah aja. Ya aku mandiin mau?"

Otomatis aku langsung menyembunyikan wajahku di lekuk lengannya. Aku benar-benar malu saat ini dengan ucapannya itu. Tapi dia malah merengkuhku dan tertawa lagi. Saat itulah terdengar ketukan di pintu kamar. Membuat aku dan Gana saling bertatapan.

"Mas Gana, sama Mbak Ara, sarapan sudah siap ya."

Dan suara Bi Asih sontak membuat aku dan Gana tertawa. Apalagi Gana sekarang tampak bersungut-sungut, mengatakan masih mengantuk alasannya. Tapi aku yakin bukan itu, kenapa dia merasa sangat kesal.

****

Akhirnya kami sudah sarapan, dan Gana mengantarkanku untuk berkeliling ke rumahnya yang sangat luas ini. Aku di bawanya ke ruang-ruang yang pasti aku tidak menyangka ada di dalam rumah ini. Ada tempat fitness sendiri dengan alat-alat yang mungkin Gana juga bisa menyewakan tempat itu. Karena begitu lengkap peralatannya. Gana memang dari muda sudah mempunyai bisnis café, apalagi sekarang dia juga di dapuk untuk memegang salah satu hotel milik keluarganya. Fana dan bisnisnya memang tidak bisa di remehkan. Dia pria muda yang sukses.

"Kita ke café? Yang ada di dekat kantormu. Mau?"

Kuanggukan kepala saat mendengar ajakannya. Kami memang cuti 3 hari untuk pernikahan ini. Apalagi karena sakitku ini, Gana malah memperpanjang cutiku. Dia sudah menelepon Mas Adi kalau aku perlu isitirahat lebih banyak. Dasar Gana dan sikapnya yang harus di turuti.

"Mau macaroon." Jawabanku membuat Gana mengacungkan kedua jempolnya.

"Aku juga ada kejutan untuk kamu."

***

Sesampainya di café, aku di buat menangis lagi oleh Gana. Tapi bukan tangis kesedihan, melainkan dia memberikan kejutan yang tak terduga. Saat sampai di café ini, semua karyawan menyambut kami. Bahkan ada perayaan kecil-kecilan karena pernikahan kami, lalu setelah semua itu selesai. Gana tiba-tiba memberikan sesuatu untukku. Yaitu surat kepemilikan café itu, yang sudah di ubah menjadi atas namaku.

"Bang ini terlalu berlebihan."

Aku menatap Gana yang kini dengan lembut mengusap air mata yang mengalir di pipiku. Dia berjongkok di dekatku. Kami sudah ada di dalam ruangan kantornya di lantai dua.

"Ra, café ini aku wujudkan karena mimpi-mimpi kamu. Aku masih ingat dengan jelas, dulu kamu sering mengatakan ingin memiliki sebuah café seperti ini. Dengan konsep sama persis. Maka saat aku membeli tempat ini, aku langsung teringat konsep kamu itu. Aku wujudkan, dan alhamdulilah kita memang berjodoh. Café ini membawamu kembali kepadaku. Jadi ini hadiah untuk kamu. Terimalah."

Tangisku benar-benar pecah lagi, Gana langsung meraihku masuk ke dalam pelukannya.

"Bang... Ara... nggak tahu apa yang...harus Ara balas. Abang baik banget," ucapku masih tersendat karena isakanku. Dan Gana kini tersenyum lalu mengecup kedua pipiku yang basah.

"Aku hanya ingin kamu cintai selamanya." [ ]

BERSAMBUNG'

YUHUU MANIS MANIS DULU YAAA

COFFEE BREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang