COFFEE 16

5.3K 1.3K 76
                                    


GANA POV

"Pestaaa lajaaaaang..."

Teriakan itu membuatku menggelengkan kepala. Menatap Dylan, sahabatku yang malam ini mengajak party istilahnya. Tapi aku malas. Harusnya aku di rumah dan tidur lebih awal karena besok aku harus melangsungkan akad nikah. Tapi Dylan menyeretku ke sini, bukan di club malam tempat biasanya di nongkrong. Aku tidak mau. Akhirnya aku berada di sini, bersama Gani juga. Kembaranku itu sejak tadi hanya menyesap kopi yang di pesannya. Biasa kalau nongkrong di café ku ini, Gani selalu memesan kopi pahit tanpa gula.

"Lo, jangan macam-macam bedil, awas aja gue ruqyah lo."

Aku melotot ke arah Dylan yang malah ngakak ketika aku memperingatinya agar tidak slengean, Dylan ini sahabatku, meski dia berbeda denganku. Dia itu playboy iya, mabuk2an iya, tapi kalau bersamaku dia akan berubah tidak akan melanggar apapun yang aku tentukan. No smooking, drinking, and woman. Dia pasti tahu itu.

"Iya, iya, ini mau pesen moca float aja. Udah calon manten kita nih, udah nyiapin belum?"

Pertanyaannya membuatku hanya menggelengkan kepala lagi. Dia selalu membuat suasana menjadi rame. Gani kini mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku.

"Lo kalau udah siap nikahin anak orang, harus siap dengan segala konsekuensinya. Jangan main-main lagi. Sikap lo yang masih slengean, bisa membuat wanita sakit hati."

Aku mengerjapkan mataku saat mendengar kalimaat panjang kali lebar itu. Biasanya si Gani ini Cuma jawab ya dan tidak. Udah setelah itu, diam lagi.

"Wow. Lo copy paste darimana euy kalimat itu?" Dylan malah ngakak mendengar ucapan Gani tapi dia mengacungkan jempolnya.

"Setuju gue ama lo, Gani. Namanya nikah itu enggak maen-maen Gana. Lo udah nggak boleh buat si Tiara nangis."

Dylan ikut bersekongkol dengan Gani memberikan petuah kepadaku. Saat aku akan menjawab, tiba-tiba suara yang tidak mau aku dengar malam ini sudah berada di dekatku.

"Bang Gana...."

Aku langsung menoleh ke arah sampingku dan menemukan Wina, sudah duduk dengan senyum cerahnya. Gani langsung bersedekap, Dylan pura-pura meminum kopinya, tapi aku tahu dia menyembunyikan seringaiannya.

"Anak kecil, ngapain lo di sini malam-malam?"

Ini sudah pukul 11 malam memang, dan tidak baik untuk cewek masih berkeliaran di café ini. Wina kini mengerucutkan bibirnya mendengar ucapanku.

"Mau bermalam di sini sama Bang Gana. Pokoknya mau buat gagal acara nikahannya Bang Gana. Wina nggak terima Bang Gana mau nikahin Mbak Tiara. Sempurna Wina kemana-mana."

Aku menghela nafas mendengar ucapannya. Ini anak cewek satu memang susah di bilangin. Padahal kemarin aku udah bilang kalau aku hanya menganggapnya adik saja, dan dia sudah mengerti. Tapi entah malam ini dia mabuk atau kerasukan setan, makanya sifatnya berbalik arah lagi.

"Gue cintanya sama Ara, bukan sama lo."

Akhirnya aku mengatakan hal itu membuat Wina kini tampak ingin menangis. Duh Gusti, susah ini kalau berurrusan dengan cewek labil. Dylan berdehem dan kini menarik perhatian Wina.

"Dedek kecil, mending kamu cari cowok baik-baik. Jangan Gana, dia mah udah rusak. Sana cari yang alim dan baik ya?"

Semprul.

Dylan menyeringai lebar ke arahku setelah mengatakan hal itu. Sedangkan Gani kini malah menatapku.

"Ini satu sikap yang nggak tegas dari lo, Ndul. Selesaiin urusan lo dulu sama Wina, baru bisa nikahin Tiara."

Ucapannya membuatku menghela nafas, aku tidak tahu harus mengatakan apapun lagi. Kemarin saat di rumah Mama, aku memang menerima tawaran Wina untuk mengajariku masak. Tapi bukan hanya itu, aku sudah mengajaknya bicara 4 mata. Memberi pengertian kepadanya, kalau aku ini hanya menganggapnya adik. Tidak lebih dari itu. Kemarin dia malah mengatakan sudah ikhlas dan mendoakan pernikahanku dengan Tiara, aku pikir semua sudah selesai. Tapi sekarang kenapa dia malah berbalik arah lagi?

"Gue nggak ada urusan lagi sama dia, Kul. Kalau itu yang mau lo denger. Gue udah ngajak dia bicara." Aku menoleh ke arah Wina yang masih ingin menangis itu " Lo ingat kan? Jangan bilang lo amnesia. Kemarin lo udah ikhlas dan doain gue ama Tiara."

Wina malah kini makin mengerucutkan bibirnya, dan nangislah dia. Yasalam, ini akan menjadi malam panjang untukku. Aku akhirnya menatap Gani dan Dylan untuk meminta pendapat, tapi keduanya hanya menggelengkan kepala. Aku pasrah kalau seperti ini.

"Sekarang mau lo apa?"

Aku sudah berbalik dan menatap Wina yang kini malah terisak. Aku juga tidak mau membuat wanita menangis gara-gara aku.

"Antarin Wina pulang," akhirnya dia menjawab seperti itu. Aku menghela nafas lega. Setidaknya dia tidak meminta menginap di sini semalaman.

"Oke, aku anterin," jawabku kepadanya lalu aku menoleh ke arah Dylan dan Gani. "Siapa yang mau nemani gue?"

Dylan langsung menunjuk Gani "Si Gani aja, ini gue ada janji ama orang." Dylan langsung menatap ponselnya. Aku yakin dia pasti meneruskan pestanya bersama teman-temannya. Aku menganggukkan kepala dan beranjak berdiri. Gani juga sudah paham. Dia meminta kunci mobil kepadaku.

"Gue yang nyetir."

****

"Udah dong Wina, nangisnya. Nanti Mama sama Papa kamu bingung aku mulangin dengan keadaan seperti ini."

Aku menoleh ke arah belakang. Dimana Wina masih terus menerus menangis, sedangkan aku yang ada di depan bersama Gani juga tidak nyaman.

"Abang, nggak bisa gagalin pernikahan Abang apa?"

Yailah ini bocah. Aku harus ngomong gimana lagi? Padahal sejak masuk ke dalam mobil tadi, aku sudah berbicara dengannya. Sudah mengatakan kalau aku tidak mungkin menikah dengannya. Aku ini jauh lebih tua darinya, dan hal itu sudah suatu perbedaan yang mencolok. Aku juga mengatakan kalau cintaku itu hanya untuk Tiara, sejak dulu dan sampai nanti. Tidak akan berubah dan tidak ada yang bisa mengganggunya. Tapi seprtinya bocah ini terlalu keras kepala untuk menerima semuanya.

"Kamu itu artinya nggak tulus mencintaiku, tapi obsesi. Ego kamu terluka karena tahu aku akan menikah dan tidak denganmu."

Akhirnya kukatakan hal itu. Membuat mata Wina membulat, dia menatapku tak percaya. Tapi dia menggelengkan kepalanya lagi.

"Enggak. Aku mencintai Abang, lebih besar dari Tiara. Abang nggak tahu aja kalau aku sangat menyukai Abang."

Dia bisa menjawabku meski dengan tidak jelas karena tangisannya. Aku berbalik dan melirik Gani yang masih diam saja di balik kemudianya. Kusandarkan kepalaku yang terasa pening, kenapa urusan wanita saja membuatku pusing begini? Saat itulah suara dering ponsel membuatku terkejut, aku lansung merogoh saku celanaku dan mengambil ponselku. Menatap terkejut saat nama Mamanya Tiara muncul di layar.

"Assalamualaikum, Ma. Ada apa ya?"

Suara isak tangis terdengar di ujung sana. Aku sungguh tidak mengerti apa yang terjadi. Jantungku sudah berdegup kencang.

"Waalaikumsalam, Gana. Ini... ini... Tiara tiba-tiba jatuh pingsan... Mama sedang dalam perjalanan ke rumah sakit."

Deg

"Astaghfirullah. Baik, Ma, Gana langsung ke sana ya."

Aku masih beristighfar dalam hati saat Mama mengakhiri teleponnya. Gani sudah menatapku dengan penasaran, bahkan tangis Wina sudah tak terdengar.

"Kenapa?"

"Tiara pingsan, Kul. Kita ke rumah sakit sekarang juga." [ ]

BERSAMBUNG

 YUHUUU BANG GANAAAAA COMIING VOTEMENT YAA

COFFEE BREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang