COFFEE 07

6.4K 1.5K 103
                                    

Gana itu memang baik, sejak dulu. Maka aku tidak bisa menentang keinginannya lagi. Dia terlalu gigih untuk membuatku menolak kehadirannya. Lagipula ada setitik rindu yang selama ini aku pendam di lubuk hatiku. Gana yang manis dan selalu membuatku tersenyum. Tapi aku tetap belum percaya, kalau dia mau menerima kondisiku apa adanya. Aku biarkan saja dia berada di sekitarku, sampai dia bosan. Dan aku haru membetengi hatiku, untuk tidak membawa ini ke dalam hatiku. Aku takut, hatiku sakit, kalau Gana tiba-tiba pergi dariku. Karena aku tidak sempurna dan banyak kekurangan.

"Ra, ada Dokter Morgan, di bawah."

Aku tersadar dari lamunan saat Mama melongok ke pintu kamar. Aku memang kurang enak badan tadi dan memutuskan untuk pulang awal. Bahkan aku tidak memberitahu Gana kalau aku sudah pulang. Padahal biasanya dia akan menjemputku di kantor dengan membawakan macaroon kesukaanku dan satu cup latte.

Aku berusaha bangun dari posisiku yang berbaring, membenarkan rambutku yang berantakan dan kini menatap Mama.

"Dokter Morgan?"

Aku menyebutkan nama Dokter yang selama ini dengan sabar memberikan terapi kepada kakiku. Dokter yang masih muda kalau kata Mama, dan sangat baik.

"Iya, dia nanyain kok kamu udah 2 minggu ini nggak ke kliniknya."

Mama melangkah mendekatiku, lalu membantuku untuk duduk di kursi roda.

"Ara emang udah malas, buat apa terapi kalau kaki ini masih saja belum bisa sembuh."

Mama mengusap rambutku dan menggelengkan kepala.

"Jangan putus asa, Ra."

****

Akhirnya aku sampai di ruang tamu, Dokter Morgan langsung tersenyum manis kepadaku. Aku memang sudah hampir 2 tahun ini terapi di tempatnya praktek. Kami sudah seperti sahabat, karena dia juga sangat baik kepadaku. Pria dengan tubuh tinggi menjulang itu kini mendekat dan menyalamiku.

"Kenapa kayaknya kamu udah males buat terapi?"

Dia langsung bertanya seperti itu saat duduk di sofa depanku. Aku menghela nafas dan kini menggelengkan kepala.

"Ara udah nggak mau lagi, malas. Lelah."

Ucapanku itu membuat Dokter berkulit putih di depanku, mengernyitkan kening.

"Tiara, siapa yang kemarin bilang ingin jalan kembali dengan normal? Kenapa sekarang putus asa?"

Aku mendengkus mendengar ucapannya. Lalu menunduk untuk menatap kedua kakiku yang tertutup selimut warna biru.

"Dok, kaki saya yang satu memakai kaki palsu, dan yang satu itu lumpuh, tidak bisa digerakkan, saya..."

"Ra, kaki kamu masih bisa digerakkan, hanya perlu sabar dan terapi lagi. Kemarin kamu udah mengalami kemajuan, tapi kamu tidak datang lagi. Syaraf-syaraf di kaki kamu itu masih bisa sembuh kok."

Aku hanya diam mendengarkan ucapan Dokter Morgan. Pria berkacamata dengan bingkai hitam itu kini menyugar rambutnya yang hitam tebal itu.

"Tiara, aku sayang sama kamu."

Jantungku berdegup kencang mendengar ucapannya. Maksudnya?

Dia tampak salah tingkah saat ini, tapi kemudian berdehem dan menegakkan tubuhnya.

"Kamu tahu kan? Kalau aku sudah suka sama kamu sejak kamu datang untuk pertama kalinya ke klinik?"
Aku langsung memejamkan mata dan menggelengkan kepala. Sudah berapa pria yang mengatakan ini? Menyukaiku karena kasihan kepadaku pastinya. Dia sama saja tidak ada bedanya dengan Gana.

"Dok, maaf. Tapi saya tidak mau mendengar ucapan belas kasihan dari Dokter. Kalau Dokter mengatakan itu hanya untuk memberi saya semangat agar bisa jalan lagi, maaf. Saya tidak bisa."

Dokter Morgan tampak bingung, tapi kemudian dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. Tatapan matanya berubah serius.

"Ra, aku serius. Aku men..."

"Assalamualaikum."

Ucapannya terpotong oleh ucapan salam dari ambang pintu. Dan saat aku mendongak, ada Gana di sana. Berdiri tegap mengenakan jaket jins dan dengan senyumnya yang khas.

"Waalaikumsalam."

Gana langsung melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Lalu dia melirik Dokter Morgan sebentar, tapi kemudian melangkah ke arahku.

"Kok nggak bilang kalau udah pulang dulu? Nggak enak badan ya kata Bang Adi?"

Gana tiba-tiba sudah berdiri di sampingku dan mengusap kepalaku. Dia meletakkan satu bungkus yang pastinya isinya macaroon di atas pangkuanku.

Kemudian dia berjongkok di depanku dan membuat aku menatapnya.

"Aku anterin ke dokter?"

Langsung kugelengkan kepala " Ara, nggak apa-apa kok. Cuma capek aja."

Gana sepertinya tidak percaya, bahkan dia meletakkan telapak tangannya di keningku.

"Ehmm kamu memang butuh istirahat cukup. Bentar, mau nyapa Mama dulu. Mama ada kan?"

Kuanggukan kepala mendengar ucapannya. Dia beranjak berdiri "Di dapur?"

Kembali aku menjawab dengan anggukan kepala. Lalu Gana menepuk kepalaku sekali lagi, sebelum beranjak masuk ke dalam. Dia memang seperti itu, selalu menganggap kalau rumah ini rumahnya sendiri.

"Dia, siapa?"

Aku baru tersadar kalau masih ada Dokter Morgan di sini. Aku langsung menatapnya.

"Owh, itu Bang Gana."

"Pacar kamu?"

Pertanyaannya membuat aku terdiam, tapi sebelum aku bisa menjawab, aku bisa mendengar suara tawa Gana dan Mama. Dia melangkah keluar lagi dengan membawa nampan yang di atasnya berisi satu gelas jus apel, lalu satu cangkir kopi. Dia meletakkan di atas meja kaca. Lalu menatap Dokter Morgan.

"Silakan Dok, maaf saya nggak nyapa tadi. Kata Mama, Dokter yang menerapi kakinya Tiara ya?"

Gana sudah duduk di sebelahku, lalu merangkulkan tangannya di bahuku. Aku ingin protes, tapi malu dengan Dokter Morgan.

"Iya. Saya Dokter Morgan."

"Dia ini sangat sabar sama Ara, loh, Gan."

Mama sudah duduk di sebelah Gana dan mengatakan itu. Membuat Gana tersenyum lebar. Lalu menoleh ke arahku.

"Kamu pasti bandel kan? Sampai Dokternya ke sini, karena nggak mau terapi lagi?"

Aku hanya mengerucutkan bibir mendengar ucapannya.

"Atau mau aku temani? Terapi sambil ditemani calon suami pasti akan menyenangkan, iya kan?"

Mataku melebar mendengar ucapan Gana, dan saat melirik Dokter Morgan, dia tampak terkejut. Aku harus bagaimana? [ ]

BERSAMBUNG

 DU DU DU MAU SAMA BANG GANAAAA

COFFEE BREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang