COFFEE 11

5.5K 1.4K 104
                                    


"Jangan dipaksain Tiara, perlahan saja."

Ucapan Morgan membuat aku menghela nafas. Kakiku kesakitan Lagi karena aku memaksakan latihan hari ini. Sehingga menyebabkan sedikit bengkak dan nyerinya semakin terasa.

"Tapi aku ingin bisa jalan, meski mengenakan satu kaki."

Ucapanku membuat Morgan kini mengulas senyumnya. Dia sejak dulu, selalu sabar denganku.

"Aku yang akan menemanimu, selama proses panjang ini. Maka, ijinkanlah aku melamarmu."

Ucapan Morgan belum sempat aku jawab, tapi rasa nyeri kembali menyerang kakiku, membuat aku merintih.

*****

"Kenapa jadi begini, Ara?"

Saat aku tersadar, aku sudah terbaring di ranjang rumah sakit. Aku tidak ingat kapan aku di bawa ke sini. Tapi sudah ada Mama, dan Gana. Pria yang sejak kemarin aku hindari. Dia menatapku dengan diam, membuat aku merasa canggung.

"Mama terkejut saat mendapat telepon dari Dokter Morgan kalau kamu jatuh tak sadarkan diri. Untung di rumah sedang ada Gana, jadi Mama bisa langsung ke sini. Papa kamu masih di kantor soalnya."

Ucapan Mama membuat aku hanya tersenyum masam, aku juga tidak tahu kalau bisa tak sadarkan diri. Hanya rasa sakit yang mendera kakiku membuat aku tak tahan.

"Kata Dokter Morgan kamu berlatihnya terlalu keras ya? Udah nggak usah di paksain Ra."

Mama masih terus mengucapkan apapun yang hendak di ucapkan. Karena memang Mama seperti itu. Mengomel sampai beliau puas.

"Iya Ma."

Jawabanku membuat Mama hanya menggelengkan kepala. Tapi kemudian beliau menoleh ke arah Gana.

"Gan, Mama nitip Ara dulu ya? Ini mau kasih tahu Papanya dan mau ambil baju ganti. Tadi buru-buru soalnya."

Gana langsung menganggukkan kepala "Iya Ma, baik."

Mama kembali menoleh ke arahku "Ya udah, Mama tinggal dulu ya."

Aku hanya bisa menganggukkan kepala, bagaimanapun aku juga tidak bisa melarang Mama untuk pergi dari sini. Nanti malah terlihat jelas kalau aku memang menghindari Gana. Beliau mengecup keningku, lalu melangkah keluar dari kamar, meninggalkanku sendiri dengan Gana. Pria itu sejak tadi tidak tersenyum sedikitpun. Auranya menyeramkan, mengingatkanku kepada Gani, saudara kembarnya yang memang pendiam, dan nyaris dingin itu.

Dia menarik sebuah kursi dan mendekatkan ke arah ranjang tempat aku terbaring lemah di sini. Lalu dia mulai menatapku, membuat aku terpaku tidak bisa mengalihkan pandanganku.

"Kamu nggak perlu sembuh, nggak perlu bisa jalan,  dan nggak perlu maksain harus sempurna di depanku."

Ucapannya membuat aku mengernyit, dia kenapa langsung mengatakan hal itu? Gana tampaknya mengerti dengan apa yang aku pikirkan. Karena saat ini dia tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak berwarna merah, dan saat dia membuka aku tahu apa yang di bawanya. Sebuah cincin berlian. 

"Bang..."

"Hussstt...aku melamarmu, di sini. Saat ini juga, di tengah ketidaksempurnaan kamu. Aku tidak mau kamu menolakku, karena Mama kamu juga sudah menerimaku. Lusa keluarga besarku datang ke rumah kamu."

Aku terkejut mendengar ucapannya yang tanpa jeda itu. Bahkan saat melihatku ingin protes lagi, dia mengangkat tangannya dan melarangku untuk menjawab.

"Aku belum selesai Ara. Pokoknya kamu harus menikah denganku. Karena aku tidak mungkin membuat kamu sakit seperti ini. Dokter itu hanya bisa membuatku menangis kan?"

"Bang..."

"Hussst...aku bilang kamu belum mempunyai kesempatan untuk menjawab. Aku belum selesai."

Dia masih berwajah datar, dan bernada dingin. Aku sampai ingin menangis mendengar ketegasannya itu.

"Kalau orang yang mencintaimu dengan tulus itu, tidak mungkin akan membiarkanmu latihan berjalan sampai kamu kesakitan begini. Berarti dia memang tidak sayang sama kamu, percaya sama aku."

Akhirnya aku hanya diam, mengingat nada bicaranya masih tanda koma belum titik. Kini dia malah bersedekap dan makin menatapku dengan tajam.

"Soal Mama, aku sudah mengantongi restu beliau, tak usah khawati.Dan soal si piyik Wina itu, tenanglah, aku tidak nafsu sama dia."

"Baaaaang..."

Aku melotot mendengar ucapan Gana, dia tapi masih belum tertawa, hanya mengangkat bahu lagi.

"Kenyataannya yang bisa buat aku tetap setia sampai saat ini, itu ya kamu. Tiara. Cewek cantik yang dulu suka merengek manja sama aku, kalau keinginannya tidak di turuti. Cewek yang selalu senang apabila ada banyak cowok yang antri untuk menjadi pacar kamu. Cewek yang selalu saja menangis kalau di tinggal olehku, pulang lebih awal. Cewek yang sudah memiliki hatiku, selamanya.

Deg

Ucapan Gana memang benar-benar membuat aku terdiam. Dia pintar sekali membuat aku tidak bisa mengatakan apapun. Aku percaya ucapanya, sangat percaya. Hanya saja...

"Kenapa diam? Kamu udah terpesona sama ucapan puitisku barusan?"

Kali ini dia menyeringai lebar, dan hilang sudah sikap seriusnya. Dia kembali menjadi Gana yang biasa, membuat aku merasa lega.

"Songong," jawabku membuat Gana makin tersenyum lebar.

"Tapi Bang, aku sudah..."

"Apa?"

Gana kini mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku.

"Aku sudah menyetujui Dokter Morgan untuk menikah dengannya."

Raut wajah Gana tampak pias, seperti kehilangan darah di wajahnya. Hanya saja itu tidak berlangsung lama, karena kemudian dia tersenyum "Aku yang akan berbicara dengan Dokter Morgan, kalau kamu itu calon istriku."

BERSAMBUNG

PELUUUKK GANAAA...

COFFEE BREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang