COFFEE 18

4.7K 1K 63
                                    


Pulang. Akhirnya setelah 2 hari di rumah sakit, aku di perbolehkan pulang. Gana membawaku pulang ke rumahnya. Bukan rumah keluargaku atau rumah keluarganya, tapi rumahnya sendiri. Dekat dengan salah satu café miliknya. Saat memasuki rumah ini, aku merasa kecil hati. Karena rumah yang begitu mewah dan luas ini tidak mungkin bisa aku jamah semuanya. Keterbatasanku dengan kursi roda membuat aku tidak nyaman.

"Ada Bi Asih sebagai asisten rumah tangga di sini yang membantu pekerjaan rumah dan memasak, ada Mang Rahman suaminya Bi Asih yang mengurus keamanan dan taman. Jadi kamu nggak usah memikirkan apapun. Aku membebaskanmu untuk bekerja, dan aku tidak melarang apapun atas apa yang kamu lakukan di sini, ini rumahku juga Ara."

Ucapan Gana membuat aku menganggukkan kepala, sudah paham dengan semua isi pikirannya. Gana itu terlalu baik untukku, dan aku tidak bisa membalas apapun untuknya. Kami sudah ada di dalam kamar, yang luas. Kata Gana ini kamar kami. Ada lemari besar berwarna putih yang memanjang menutupi dinding sebelah kanan. Bahkan kamar ini mempunyai balkon sendiri, meski letaknya di lantai satu. Pemandangan taman belakang langsung terhampar dari kamar ini.

"Bang, tapi Ara..."

Gana langsung menggelengkan kepala. Dia malah membungkuk dan menggendongku. Membawaku pindah dari kursi roda ke atas kasur berseprai satin warna putih ini. Mendudukkanku di atas kasur empuknya, lalu dia mencolek hidungku dengan lembut.

"Nggak usah banyak yang di pikirkan. Kamu istirahat dulu, biar badan kamu kembali sehat. Masih ada cuti menikah juga kan? Jadi nggak perlu mikirin pekerjaan dulu. Aku di sini, ada untukmu."

Bisikannya membuat rona merah di pipiku menyebar. Gana kini merangkulkan tangannya di bahuku. Lalu perlahan dia menunduk dan nafas hangatnya menerpa pipiku.

"Bolehkah aku mencium kamu?"

Bisikannya itu makin membuat aku menunduk malu. Ada rasa canggung dan malu mendengarnya. Padahal dia sudah sah menjadi suamiku, tapi dia sangat manis saat mengatakan itu kepadaku.

"Bang, jangan goda Ara."

Akhirnya aku menoleh ke arahnya. Wajah kami tinggal beberapa centi saja, dan aku bisa mencium aroma mint yang menguar dari nafasnya.

"Aku nggak godain, kan aku minta ijin," ucapnya dengan senyum terkulum di bibirnya. Aku tahu dia menggodaku. Saat aku mau menjawab, dia tiba-tiba sudah mengecup pipiku, membuat aku melotot ke arahnya. Tapi kemudian ciuman lagi di bibirku. Hal itu membuat aku kaget, Gana mengecup bibirku dengan lembut, lalu berpindah lagi ke pipi. Nafas hangatnya menerpa wajahku.

"Kamu cantik."

Setelah berbisik di telingaku, dia kembali mengecup sisi dalam telingaku. Membuat gelenyar aneh di tubuhku. Aku sedikit beringsut, tapi tangan Gana kini sudah merengkuh tubuhku untuk lebih mendekat ke arahnya.

"Bang." Aku mencoba untuk mendorong tubuh Gana, aku belum siap dengan keintiman ini. Tapi Gana kini malah tersenyum lagi dan menempelkan dahinya di dahiku.

"Kamu cantik, dan membuat aku tergila-gila padamu Ara, sejak dulu. Tak tahukah kamu?"

Tangannya sudah mengusap-usap punggungku. Memberikan kenyamanan yang membuat aku akhirnya terdiam dan pasrah menerima cumbuannya. Tapi saat nafasnya sudah memburu, dia akhirnya memundurkan tubuhnya. Untuk sesaat dia hanya menatapku, aku sendiri merasa malu di tatap seperti itu. Lalu dia mengusap wajahku dengan lembut.

"Maaf, aku kelepasan. Harusnya kamu masih banyak beristirahat."

Gana tersenyum lagi, dan kemudian menepuk-nepuk bantal di sampingku.

"Bobok, dulu, nanti aku bangunin kalau makan malam sudah siap."

Dia beranjak dari duduknya di sebelahku, lalu mengecup keningku. Kemudian mengambil selimut dan menyelimuti tubuhku. Ah beginikah rasanya memiliki seorang suami? Rasanya begitu nyaman.

*****

Suara teriakan atau tangis seseorang membuat aku kini tersadar dari tidurku. Kepalaku langsung berdenyut, rasanya belum lama aku memejamkan mata. Ingin rasanya turun dari atas kasur, tapi Gana tadi mejauhkan kursi rodaku. Aku tidak bisa menggapainya karena kursi rodaku kini ada di dekat lemari yang jaraknya lumayan jauh. Akhirnya aku mencoba untuk duduk. Lalu menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas, di samping kasur. Cahaya temaramnya membuat aku tersadar kalau hari sudah malam. Tirai di dalam kamar ini juga sudah tertutup, tapi Gana mungkin lupa menyalakan lampu kamar. Suara teriakan itu masih terdengar dengan jelas. Ada apa ini? Kenapa jantungku berdegup kencang, dan sekilas aku bisa menerka suara siapakah itu?

Aku masih menunggu dengan sabar, menunggu Gana masuk ke dalam kamar. Saat akhirnya suara itu mereda, dan suara- suara itu menghilang, akum akin tidak sabar. Tapi kemudian aku mendengar pintu kamar di ketuk.

"Non, maaf."

Suara Bi Asih membuat aku menjawab dan menyuruhnya masuk. Bi Asih membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar.

"Maaf, Mas Gana minta saya nganterin makanan buat Non, ini."

Bi Asih meletakkan nampan yang berisi makanan ke atas nakas.

"Bang Gana nya mana?"

Bi Asih kini menegakkan diri dan tersenyum kepadaku.

"Mas Gananya sedang mengantarkan tamu yang tadi nangis-nangis, untuk pulang."

Tamu? Aku sudah tahu siapa yang tadi ke sini. Pasti Wina. Wanita itu masih membayangi pernikahan kami.

"Silakan Non, kalau ada perlu apa-apa, teriak saja. Atau Non mau saya bantu untuk pindah ke kursi roda?"

Aku akhirnya mengnggukkan kepala. Aku perlu merasa percaya diri dan satu-satunya ada di atas kursi rodaku karena bisa membuatku bisa bergerak dengan bebas.

****

Pukul 01. 00

Suara langkah kaki terdengar, aku tidak bisa memejamkan mata sedikitpun. Aku akirnya berada di sini. Di ruang tengah dimana ada televisi yang bisa aku tonton. Tapi sejak tadi tidak ada satu acarapun yang bisa membuat pikiranku tenang. Gana belum juga pulang, sampai detik ini...

"Sayang, belum tidur?"

Gana tampak terkejut saat menemukanku ada di sini dan menunggunya.

Dia melangkah mendekatiku, lalu tanpa aku duga kini malah langsung berjongkok di depanku dan memelukku. Dia menyandarkan kepalanya di pangkuanku.

"Darimana Bang?"

Gana pasti tahu, ada nada getir dalam suaraku. Gana langsung mendongak dan menatapku. "Tadi Wina ke sini. Dia sakit jiwa. Dia berteriak-teriak minta aku meninggalkanmu. Aku tidak mau kamu terganggu, maka aku membawanya pulang ke rumah orang tuanya. Dan maaf, aku tidak memberitahumu, bahkan sampai jam segini. Dia membuat aku pusing."

Gana memang tampak sangat lelah dan pusing. Kuulurkan tangan dan mengusap rambutnya yang tebal itu.

"Kenapa nggak telepon juga?"

Gana untuk sesaat tampak bingung, tapi kemudian dia menggelengkan kepala.

"Ponselku kayaknya aku tinggal di kamar. Tadi Mama dan Papa juga membantu memberikan pengertian kepada Wina. Hemm bocah itu..."

Gana menggelengkan kepala lagi, dia kini menatapku dengan tatapan penuh permintaan maaf.

"Sayang, maaf aku membuatmu menunggu, maaf membuat kamu khawatir."

Aku akhirnya tersenyum dan menganggukkan kepala. Toh ini juga bukan salah Gana.

"Aku maafin. Tapi besok lagi, kalau ada apa-apa, aku di kasih tahu ya?"

Gana langsung menganggukkankepala dan langsung merengkuhku masuk ke dalam pelukannya. "Aku juga khawatir banget, ah sayangku." 

COFFEE BREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang