COFFEE 23

5.4K 1.2K 75
                                    


Vaniila syrup

Caramel sauce

Espresso

Ice

Milk

Aku menatap bahan-bahan untuk membuat Ice caramel macchiato. Minuman yang jadi favorit di café ku ini. Mencoba untuk mengalihkan pikiranku kepada pekerjaan, tapi sama saja aku tetap gelisah. Bagaimanapun juga, masalah yang kini hadir di dalam rumah tanggaku dan Tiara itu bukan masalah yang sepele. Ada janji yang harus di tepati di masa lalu. Dan itu semua membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Bos, harusnya tuh susu nya dulu baru caramelnya, kan terakhir habis di kasih es." Celetukan Wahyu, salah satu barista di café ini membuat aku tersadar, kalau aku salah meracik minumannya. Kuhela nafasku dan kini kuangkat tanganku.

"Ya udah, kamu aja deh. Aku pusing."

Aku melangkah mundur, membuat Wahyu menatapku tak mengerti. Ini memang bukan biasanya aku. Dia akhirnya menggantikanku dan meracik minuman itu. Aku sendiri melepas afron dengan logo café dan melipatnya lalu meletakkan di rak yang ada di dekatku. Melangkah keluar dari meja bar kecil ini, lalu menatap Dylan, sahabatku yang langsung ke sini begitu aku mengatakan perlu dengannya.

"Sori, minumanmu biar di racik sama si Wahyu, gue lagi nggak bisa konsen," jawabku saat sampai di depannya dan melihat dia baru saja akan menanyakan minuman pesanannya. Aku menarik kursi dan duduk di depan Dylan. Dia sedang menatapku dengan serius.

"Jadi apa yang bisa membuat lo kacau kayak gini? Nggak biasanya seorang Gana bermuram durja. Sampai buat racikan minuman kesukaan gue aja nggak konsen."

Pertanyaannya membuatku kini menghela nafas. Ada rasa sesak di dada, yang memang harus aku keluarkan. Aku perlu curhat dengan seseorang. Meski semalam aku berusaha tegar di depan Tiara, tapi aku juga butuh dukungan orang lain. Masalah ini terlalu pelik untukku.

"Yang menabrak Tiara, 10 tahun lalu kembali."

Ucapanku membuat mata Dylan membulat, bertepatan dengan kedatangan Wahyu yang menyodorkan caramel macchiato pesanan Dylan.

"Silakan Mas."

Aku menganggukkan kepala saat Wahyu menghidangkan itu, "Yu, aku buatkan kopi item aja ya? Nggak usah panas-panas."

Wahyu menganggukkan kepala "Iya Mas."

Setelah Wahyu meninggalkan meja kami, Dylan kini mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Maksud lo, yang nabrak Tiara?"

Kuanggukan kepala mendengar pertanyaannya. "Kalau cuma menabrak saja urusannya sudah selesai, tapi kedua orang tua Tiara mempunyai perjanjian dengan orang tua yang nabrak. Mereka menerima lamaran si Nicky itu, maksud gue, yang nabrak namanya Nicky. Kedua orang tuanya merasa bersalah melihat kondisi Tiara. Apalagi Tiara butuh biaya pengobatan yang nggak murah. Jadi saat kedua orang tua Nicky menawarkan pernikahan, karena merasa bertanggung jawab kepada Tiara, nah kedua orang tua Tiara menerima, asal anaknya bisa sembuh kembali."

Ceritaku yang panjang pasti membuat Dylan pusing. Dia bahkan kini menyesap minumannya dengan mengernyitkan kening.

"Gue nggak paham."

Nah kan benar? Aku hanya menggelengkan kepala.

"Lo aja pusing, apalagi gue. Istri gue mau di ambil pria lain, yang sudah menandatangani surat perjanjian dari dulu. Itu gimana gue harus bersikap?"

Dylan kini bersedekap dan menatapku lagi. Khas tatapan yang memang harus serius. "Lah Cuma masalah perjanjian, tapi kan setelah 10 tahun bisa aja hangus. Lo kan udah jadi suami sah nya Ara Gana. Kayak gitu aja lo bingung."

Aku mendengus sebal mendengar ucapan Dylan, dan belum sempat aku menjawab, Wahyu sudah datang kembali membawakan pesananku. Tapi bukan itu yang membuat aku menatap Wahyu, tapi karena ucapannya.

"Mas, ada yang nyariin, namanya Nicky."

Aku langsung paham saat Wahyu menunjuk sosok pria yang kini berdiri di depan meja bar. Dia Nicky. My enemy.

******

"Lo kurang kerjaan atau gimana sih? Lo itu ganteng, kaya, masa mau ngerebut bini orang? Nggak ada akhlak lo!"

Aku langsung menghela nafas lagi mendengar ucapan Dylan. Kami sudah duduk bertiga di sini. Nicky duduk dengan berwibawa, memakai jas mahal dengan perlente.

"Maaf, saya tidak ada urusan dengan anda," jawab Nicky dengan ketus kepada Dylan. Aku langsung menyentuh bahu Dylan saat dia akan menjawab lagi.

"Ini sahabat saya, jadi wajar dia merasa harus membela saya, apakah salah? Toh memang benar yang di katakannya. Anda kenapa tidak mencari wanita lain, di luar sana banyak. Bukannya berusaha merebut istri saya."

Jawabanku yang lugas dan tegas membuat Nicky kini menatapku dengan keangkuhannya.

"Saya yang berhak menjadi suami Tiara, saya yang salah membuat hidupnya hancur. Hati nurani saya akan tenang, kalau saya sudah melakukan itu."

"Shit! Makan hati nurani lo! Kemana aja lo 10 tahun? Tiara berjuang sendiri, kalau lo udah buat perjanjian, kenapa nggak dari dulu lo nikahin Tiara, dan tanggung semua penderitaan yang lo perbuat?"

Dylan bahkan sampai terbengong mendengar umpatan dan ucapanku kepada Nicky, aku sudah emosi. Dia yang mengklaim saat ini. Datang saat Tiara sudah baik—baik saja. Kemana dirinya 10 tahun lalu? Tiara sedang terpuruk dan putus asa. Aku mengenyahkan sopan santun saat ini.

"Sabar bro!"

Ucapan Dylan membuat aku beristighfar di dalam hati. Nicky kini tampak tenang dan menatapku.

"Anda pikir dengan menikahi Tiara, anda sudah berhak untuk mengatur kehidupannya? Padahal anda tahu, hidup Tiara selama 10 tahun ini saya yang menanggungnya. Semuanya. Bahkan sampai Tiara dapat pekerjaan di kantornya, itu saya yang mengatur. Saya yang berada di balik layar. Mendukung Tiara, menjaganya, sampai dia bisa berdiri dan percaya diri lagi. Saya yang harus bertanya kepada anda, kemana saja anda 10 tahun itu? Datang-datang, Tiara sudah bisa survive, dan anda langsung menikahinya. Harusnya anda yang menanyakan hal ini."

****

Aku turun dari mobil dengan langkah gontai. Seperti udara yang di ambil dari ku saat mendengar ucapan Nicky. Kemana saja aku selama 10 tahun ini? Membiarkan Tiara berjuang seorang diri. Ternyata aku yang bersalah di sini, bukan Nicky. Dia selama ini sudah menjadi penjaga Tiara, dan aku hanya pecundang.

"Bang..."

Panggilan itu menyadarkanku dari lamunan. Aku sudah ada di dalam rumah, dan Tiara sudah berada di sana, duduk di kursi rodanya dan menyambutku. Istriku yang sudah aku miliki, kini terlihat begitu cantik. Aku segera melangkah mendekatinya, bersimpuh di depannya dan langsung menariknya masuk ke dalam pelukanku.

"Bang, kamu kenapa?"

Aku tidak menghiraukan pertanyaannya. Yang aku inginkan hanyalah memeluknya erat, dan tidak mau melepaskannya lagi. [ ]

COFFEE BREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang