coffee 2

8.1K 1.6K 60
                                    

"Ra, kemarin udah deal kan ama Bang Gana?"

pertanyaan Mas Adi membuat aku menganggukkan kepala. Aku masih belum bisa berpikir, setelah bertemu Gana lagi. Pria yang sejak dulu sudah menjadi orbitku. Pria yang selalu menjagaku dan sahabat yang sangat baik. Bahkan kemarin saat aku membentaknya agar tidak mengasihiku, dia malah tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Iya Ra, kamu tetep Tiara yang dulu ceria dan lincah. Aku nggak pernah menatapmu dengan iba."

Ucapan itu akhirnya membuatku sedikit trsenyum, Gana tetaplah Gana. Aku merasa bersalah telah menghilang darinya sekian tahun. Tapi fakta itu tetap tidak bisa membuatku nyaman dengan Gana.

"Oke, jadi udah kamu dapatkan konsepnya ya? Nanti kita dia akan ke sini lagi untuk memberikan konsep yang masih kurang. Kamu aja ya Ra? Aku ketemu sama Pak Rendi soalnya, sama Gia."

Aku hanya kembali menganggukkan kepala kepada Mas Adi. Sebenarnya aku malas, bertemu lagi dengan Gana. Tapi bagaimanapun juga dia merupakan klien perusahaan ini, dan aku tidak boleh mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan.

*** 

"Mama kangen sama kamu."

Ucapan itu membuat aku mendongak, kami sudah ada di sini, di kantin kantor. Aku tidak mau kembali ke cafenya Gana. Kemarin saja aku sudah merepotkannya karena membantuku balik ke kantor.

"Salam buat Tante Jenny."

Aku hanya mengatakan itu dan kembali menunjuk layar laptopku. Gana harusnya membahas konsep logo untuk cafenya bukan malah membahas hal lain.

"Jadi, begini kan warnanya perpaduan antara merah dan emas?"

Aku menunjuk gambar logo yang sudah aku buat, tapi Gana malah menatapku. 

"Ra..."

Aku meliriknya dan kini bersedekap. Tidak suka kalau  Gana sudah menatapku seperti itu.

"Kita di sini sebagai klien, Bang Gana."

Aku mengucapkan itu agar dia tahu aku bukan dalam kapasitas sebagai teman lama yang baru bertemu kembali. Aku tidak bisa. 

Gana menggelengkan kepala, menyugar rambutnya dan kini duduk bersandar di kursi. Suasana kantin memang sedikit lengang karena ini masih jam kerja.

"Aku tidak mau jadi klien kamu."

Jawabannya membuatku mendengus kesal. Gana tetaplah pria yang keras kepala. Dulu, saat kami masih bersahabat, dia selalu menunjukkan powernya sebagai pria yang mengatur semuanya. Aku dulu nyaman karena merasa dilindungi olehnya. Tapi itu kan, dulu. Saat aku masih beranjak dewasa, masa remaja yang sangat manis dan naif. Bukan sepertiku sekarang, wanita cacat yang tidak tahu masa depan akan menjadi seperti apa. Tapi aku sudah mulai belajar, sejak kecelakaan, yang membuat salah satu kakiku harus diamputasi, dan yang satunya ikut lumpuh tidak bisa digerakkan, aku sudah belajar, hidup ini memang sulit. Hanya saja dibutuhkan energi dan pikiran yang tetap waras sampai aku tiba di titik ini. Dimana aku sudah bisa menjalani hidupku dengan penuh semangat. Kepahitan itu sudah hilang bertahun-tahun yang lalu.

"Bang, aku mohon."

Akhirnya aku mengatakan itu, yang membuat Gana kini malah menatapku lebih tajam.Kedua alis tebalnya bertaut, seperti memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan kepadaku.


"Tiara, sebelum kamu menghilang tanpa jejak, kamu tahu kan bagaimana perasaanku kepadamu?"

Deg

Jantungku seperti diremas saat mendengar ucapannya. Gana yang masih naif dan polos, memang pernah mengutarakan kalau dia mencintaiku. Saat masih dalam hormon remaja yang menggebu-gebu. Tapi saat itu aku masih gadis sempurna, tidak seperti ini.

Aku tersenyum masam kepadanya "Bang, semua sudah berubah. Usia kita sudah semakin bertambah, dan aku yakin dalam proses kita sampai sekarang ini cinta itu sudah pudar dan hilang. Berapa tahun kita tidak bertemu? 10 tahun?"
 Ucapanku membuat Gana tersenyum, lesung pipinya langsung terlihat. 

"Araaaaaaa.... kamu nggak tahu siapa aku. Kamu tidak kenal siapa aku selama 10 tahun ini kan? Dan kamu tidak boleh menghakimi siapa aku, juga tidak boleh mengatur hatiku. Yang pasti aku bersyukur kita bertemu lagi. Bukankah itu namanya kita berjodoh?"

BERSAMBUNG

RAMEIN DULU DEH BANG GANANYA YEEE....


COFFEE BREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang