10. HARI PERTAMA (2)

930 44 0
                                    

"Ada apa?" Seorang wanita cantik nan elegan bertanya dari balik rak pembatas dapur dan ruang tamu. Chelsea dibuat kagum olehnya, matanya tak berkedip sama sekali akibat terlampau kaget.

Ini semua gara gara Fahren, yang tiba tiba disampingnya lalu bertanya 'ngapain ngintip ngintip?'. Hampir saja gadis itu pingsan dibuatnya.

"Lohh ada gadis?" Wanita elegan itu menatap ke arah Chelsea tak percaya. Chelsea hanya memasang muka datar, dia memang judes dari lahir jadi maklumi.

"Dia adiknya Andra," Fahren berlalu, dari yang awalnya berada disamping Chelsea kini beralih arah menuju ruang tamu.

"Ouhh, kenalin aku Clarissa," ujar wanita yang bernama Clarissa itu sambil mengulurkan tangan. Chelsea menjabatnya kemudian melakukan hal yang sama seperti dilakukan Clarissa, "aku Chelsea."

"Yuk kita ngobrol disana," ajak Clarissa berlalu ke arah ruang tamu tepat Fahren sedang duduk sambil menonton televisi. "Iya".

"Udah kelar cuci piringnya?" Tanya Fahren saat mendapati Chelsea duduk di single sofa, sedangkan Fahren dan Clarissa duduk bersama di sebuah sofa panjang yang muat dua orang.

"Udah." Jawab Chelsea, Fahren hanya ber oh ria. Apa selanjutnya akan terjadi kecanggungan? Ohh tidak, jangan seperti itu, Chelsea tidak pandai bersosialisasi, ia tak bisa memulai pembicaraan.

"Fah... berapa lama Chelsea disini?" Tanya Clarissa sambil menggoyang goyangkan paha Fahren disampingnya, terlihat sangat manja dan imut untuk ukuran Clarissa sendiri. Chelsea yang melihat itu sedikit tersentak, seberapa dekat Clarissa ini dengan Fahren? Apa mereka ada suatu hubungan?

"Seminggu," Datar sekali dosen ini pada kak Clara. Ya dia memang lebih nyaman menggunakan nama Clara dibanding dengan Clarissa yang panjangnya seperti sungai nil, oke itu berlebihan.

"Kamu ambil buku sana... sekarang kita mulai belajar matematika dulu," suruh Fahren pada Chelsea yang dari tadi matanya hanya memandang televisi, tapi tidak dengan pikirannya yang bercabang.

"Oke," segera Chelsea menuju ke arah kamar sementaranya. Mengambil buku dan alat tulis serta beberapa kertas orek, tak lupa ia membawa kalkulator, benda yang membantunya jika kesusahan.

Chelsea menaruh buku buku tersebut ke atas meja ruang tamu, ia lebih memilih bersimpuh dibawah dari pada harus duduk diatas lalu belajar sambil bungkuk, itu tidak baik.

"Pelajari trigonometri, pengertian, rumus, cara, dan beberapa soal. Kalo ada yang nggak ngerti tanyain. Nanti saya kasih kamu tugas," jelas Fahren sambil mengelus elus kepala Chiko yang ada disampingnya sedari tadi.

Chelsea hanya bisa mendengus, ia tidak bisa menolak. Terpaksa ia harus mengikuti apa yang disuruh Fahren, seperti seorang anjing. Ahh... Chiko dan Chelsea kalian sama saja.

"Kita kayak bapak ibuknya Chelsea ya."

"Uhuk...," ucapan sembrono dan lancang yang keluar dari mulut Clarissa itu berhasil membuat Chelsea yang semula fokus kini tersedak air liurnya sendiri.

Bagaimana bisa disamakan dengan anak mereka nantinya. Iuhhh... ia tidak sudi mempunyai ibu seperti Clarissa, cantik sih, tapi tetap saja, jika dilihat lihat make up yang dipakai perempuan itu terlalu tebal, bahkan ia bisa melihat perbedaan warna tangannya.

"Uhuk... uhuk... uhukz" ahhhh kenapa ini sakit sekali, ia seperti ditimpa sesuatu yang berat ditenggorokannya hingga susah bernapas. Fahren segera berlari ke arah dapur dan mengambil segelas air putih lalu kembali lagi ke ruang tamu.

Ia menuntun Chelsea dengan hati hati untuk meminum air tersebut hingga habis, dan sakitnya hilang.

"Udah enakan?" Tanya Fahren, terbesit rasa khawatir di hatinya, ia harus melindungi Chelsea sekarang, ia sudah berjanji pada Tante Atriㅡ Bunda Chelseaㅡuntuk menjaganya.

Chelsea mengangguk sebagai jawaban. "Maaf ya..., aku nggak sengaja bilang gitu. Aku lupa kalo ayah kamuㅡ," perkataan Clarissa terpotong oleh tatapan tajam Fahren.

Sebenarnya Chelsea tidak berpikir sampai ke ayahnya, ia hanya terkejut hingga tersedak. Ini tidak ada sangkut pautnya pada almarhum ayah, tapi kenapa wanita make up tebal itu malah berbicara dan berpikir seperti itu. Perkataan itu, membuat sesuatu di dalam hati Chelsa seperti terbuka kembali dan menimbulkan rasa perih yang sangat.

"Saya belajarnya nanti aja ya, saya janji," ujar gadis itu kemudian berlari meninggalkan Fahren dan Clarissa ke kamarnya. Entah mengapa Chiko ikut masuk ke dalam kamar, sepertinya anjing itu ingin menghibur teman majikannya.

"Lebih baik kamu pergi, saya sedang ingin istirahat" ujar Fahren yang terdengar seperti sebuah usiran pada Clarissa. "Dia itu aneh tau nggak?! Aku cuma bilang kita cocok jadi ortunya, dia sampai nangis nangis gitu. Apa salahnya aku sih?!" Cerocos Clarissa membela diri.

"Maaf. Perkataan kamu 10 menit yang lalu memang nggak berdampak padanya. Tapi perkataan kamu 1 menit yang lalu itu... nggak ada sangkut pautnya tapi berdampak," Ucap Fahren datar, yang membuat Clarissa terdiam seribu bahasa.

"Keluar."

"Nggak! Aku ini calon tunangan kamu loh Fah... aku lebih berharga dari pada anak cengengesan itu!" Teriak Clarissa. "Keluar."

"Fahren!.... kamu kenapa sih??!!! Aku ini calon tunangan kamu!"

"Keluar."

"Kamu suka sama anak itu?! Iya?! Jawab Fah!"

"Keluar."

Karena dirasa percuma saja berbicara dengan Fahren, Clarissa akhirnya memutuskan untuk mengambil tas di sofa kemudian berlalu pergi.

"Aku akan bilang pada Om Heitward!" Ancamnya sebelum menutup pintu apartemen Fahren dengan kuat.

BRAK

Setelah Clarissa sang calon tunangan itu pergi, akhirnya Fahren bisa bernapas lega. Ia berjalan ke arah kamar Chelsea kemudian mengetuknya.

Pintu kamar tersebut terbuka, dan menampilkan Chelsea yang matanya sembab, serta Chiko yang mengelus eluskan kepalanya di kaki Chelsea.

"Maaf...," gumam Chelsea yang membuat pria didepannya menaikan satu alis. "Saya nggak tau kak Clara tunangan bapak," lanjutnya.

"Calon," imbuh Fahren membenarkan. "Saya juga minta maaf, dia memang gila." Ucapan Fahren tersebut membuat Chelsea terkekeh pelan. Bagaimana bisa seseorang menyebut calon tunangannya sebagai orang gila.

"Mau peluk?" Ujar Fahren. Yang membuat Chelsea menatap dengan mata berbinar. Ia memang perlu pelukan sekarang, ah Fahren memang peka.

Segera Chelsea menjatuhkan dirinya ke pelukan Fahren. Kehangatan dari tubuh Fahren merasuk ke dalam tubuhnya. "Chelsea kangen ayah," gumamnya. Fahren hanya bisa mengelus elus punggung gadis itu, setidaknya gadis didepannya ini bisa tenang dan tidak sedih lagi.

Karena jujur, saat gadis di depannya ini menangis. Terbesit suatu rasa ingin melindungi. Entahlah, kenapa bisa terjadi seperti itu, tapi satu hal yang Fahren tau, ia harus melindungi Chelsea agar perasaan aneh di dalam dadanya ini bisa sedikit tenang.

Hingga, ia tau apa arti dari perasaannya ini nanti. Jadi biarkan dia melakukan sesuatu untuk membuat dadanya terasa lebih nyaman saat bersama dengan gadis dipelukannya.

###
TBC🍈

Mr. Cold [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang