Hari ini Chelsea menunggu seseorang disebuah kafe. Janjiannya jam 10, tapi Chelsea lebih dulu datang karena merasa bosan di apartemen Fahren. Saat pagi, Chelsea tak menemukan batang hidung pria itu.
"Padahal aku datengnya jam 10 kurang 15 menit, tapi kamu nya udah dateng duluan. Maaf ya jadi nungguin," ujar seseorang yang memang sedang ditunggu Chelsea, Clarissa. Wanita itu duduk di depan Chelsea.
"Gak apa apa kok kak Clara," ujar Chelsea sambil tersenyum. "Wajah kamu pucet, nggak apa apa?" Tanya Clarissa, memang benar wajah Chelsea sangat pucat sekarang. Gadis itu hanya membalas dengan gelengan sambil tersenyum lesu.
"Jaga diri ya. Ohh ya, operasi ginjal Ibu berhasil," ujar Clarissa sambil tersenyum bahagia. "Ini berkat kamu, kalau nggak ada kamu. Mungkin aku sedang berkabung sekarang," lanjutnya.
"Aku turut senang," Clarissa memang merasakan kesenangan di hati Chelsea. Tapi, terdapat juga kesedihan didalamnya. "Kamu nggak apa apa? Kamu boleh kok cerita ke kakak, anggap aku kakak kamu. Itung itung balas budi aku," ucap Clarissa sambil menepuk pundak Chelsea.
Entah kenapa, Chelsea memutuskan untuk berbagi keluh kesahnya pada Clarissa. Mereka sudah berteman baik, semenjak Chelsea membantu Ibunya Clarissa untuk operasi ginjal. Meskipun belum terlalu akrab seperti teman temannya yang lain, tapi hati Chelsea berkata, Clarissa memang tepat menjadi tempat berbagi ceritanya sekarang disaat tak ada sandaran yang bisa ia sandari.
Chelsea menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir munculnya masalah ini. Clarissa menyimak dengan baik, kadang mengangguk angguk, kadan terkejut sambil membulatkan mata. Chelsea sedikit terkejut, Rea yang sering menjadi tempat bersandarnya, tak pernah seserius ini menanggapi curahan hatinya.
"Dari yang aku kenal, Fahren memang begitu. Kalo sekali dibohongi pasti akan di diamkan dan disuruh renungin masalah. Sampai orang itu mau jujur sama dia. Lebih baik kamu jujur aja deh Chel, jujur lebih baik," nasihat Clarissa. Chelsea menunduk memikirkan yang dikatakan Clarissa.
"Kemarin aku pengen bilang, tapi susah rasanya," gumam Chelsea namun masih dapat didengar oleh Clarissa.
Wanita itu tersenyum, lalu menegakkan dagu Chelsea untuk menghadapnya. "Kamu cerita ke aku aja bisa, masa ke Fahren yang beberapa hari ini tinggal satu atap, nggak bisa," Benar juga, tapi ini berbeda. Fahren laki laki, dan Clarissa perempuan. Jelas Clarissa lebih mengerti, dan Chelsea mau berbagi padanya.
Clarissa yang melihat wajah Chelsea yang semakin murung, menghela napasnya. "Intinya, kamu harus jujur, gimanapun keadaannya. Sekarang yang menjaga kamu Fahren, anggap Fahren sebagai kakak atau pacar atau suami kamu. Yang perlu kamu beritahu dan berbagi keadaan," jelas Clarissa sambil memegang pundak Chelsea dan menatapnya lembut.
"Iya kak, makasih ya. Udah kasi aku masukkan," ujar Chelsea sambil tersenyum. Meskipun begitu, raut lesu tak hilang dari wajahnya. Clarissa mengangguk sebagai balasan.
Clarissa memandang ke arah jendela kafe, tempat duduk mereka memang berada di dekat jendela. "Siska?!" Ujarnya, lalu segera pergi dari tempat duduknya menuju keluar.
Chelsea yang sedang menundukpun mendongkak. Ada apa dengan Clarissa? Pikirnya. Ia memutuskan untuk mengikuti Clarissa pergi keluar, tak lupa juga memberikan bil pada pelayan.
"Kak Clarissa ngapain?" Tanya Chelsea saat mendapati Clarissa tengah memarahi anak kecil penjual bunga di hadapannya. "Lohh kamu Siska kan?" Sambungnya. Sementara anak kecil yang ditanya hanya mengangguk sebagai balasan.
"Kamu kenal Chel?" Tanya Clarissa. "Kenal kak, dulu aku dapet beli bunga di dia. Kakak kenal?"
"Dia adik aku," ujar Clarissa sambil tersenyum. Chelsea membulatkan mata, "Yang bener? Wuahh kebetulan bangett," girang Chelsea.
"Kamu ngapain masih aja jualan. Kakak udah larang," tegas Clarissa. Sementara adiknya hanya nyengir, "Hehe, abisnya kasian liat kakak banting tulang jadi pelayan kafe."
"Ck, udah kita pulang," ajak Clarissa pada Siska. "Chel, ikut ke kantornya om Heitward yuk? Aku mau ngembaliin sesuatu," sambungnya. Chelsea mengangguk.
Mereka telah sampai di sebuah perusahaan besar dengan menaiki bis dari halte didepan sana. Clarissa memasuki gedung tersebut bersama adiknya, sementara Chelsea, ia sedikit ragu namun tangannya ditarik oleh Clarissa. "Jangan takut gitu, harus berani!" Bisik Clarissa menyemangati. Hal itu membuat Chelsea kembali tersenyum, ya! Dia harus semangat!
Mereka menuju ke ruangan Fahren, ruangan berlabel 'direktur' itu terlihat sepi. Disekelilingnya tidak ada yang berjaga ataupun mengawasi.
Tok tok
"Masuk," terdapat balasan dari sang empunya ruangan. Clarissa dan Chelsea memutuskan untuk masuk, sedangkan Siska lebih memilih berada diluar menunggu.
"Fah-ren," ucapan Clarissa tersendat saat melihat seorang wanita yang ia tahu duduk di pangkuan Fahren sambil bergelayut manja tanpa malu. "Hai Cla, jangan cemburu ya," ujarnya dengan manja. Fahren hanya menatap datar pada Clarissa, hingga ia menyadari, wanita itu tak sendirian masuk keruangannya. Pria itu membulatkan matanya terkejut.
Seolah tersambar petir di siang hari, Chelsea merasa jantungnya berhenti berdetak untuk sekian detik. Pemandangan menyakitkan itu ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Ugh... sakit sekali. Chelsea memutuskan untuk pergi, tanpa peduli keadaan disekitarnya.
Clarissa menatap kepergian Chelsea, lalu mendekat ke arah Fahren dan juga wanita itu. Dia tersenyum miring lalu bertepuk tangan. "Hebat Fahren hebat, kamu udah dua kali melukai hati gadis itu. Kamu tau gimana terlukanya dia atas perlakuan kamu selama ini?! Aku nggak nyangka, Fahren yang selama ini aku kenal jadi seperti ini sekarang." Sindir Clarissa.
"Dan kamu, Raya. Dari dulu nggak berubah ya, penjilat ulung. Kayaknya urat malu kamu udah putus deh. Bisa bisanya dateng saat udah ninggalin, dan dengan mudahnya menjilat uang orang, LAGI," sambungnya.
Fahren dan wanita bernama Raya itu hanya terdiam. "Aku tau kamu menyukai Chelsea, aku mohon perjuangkan dia, jangan sampai kamu menyesal nantinya, melepaskan gadis sebaik dia dengan perempuan jal**g ini," ujar Clarissa lagi lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Bruk.
Raya terjatuh dari pangkuan Fahren akibat dorongan keras pria itu. Dengan cepat Fahren menuju keluar dan berlari mengejar Chelsea yang sudah entah kemana adanya. Clarissa yang melihat Fahren berlari dengan tergesa gesa itu tersenyum, "Kumohon, peka lah Chelsea. Fahren mencintaimu," monolognya.
###
TBC🍈
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Cold [END]
RomanceChelsea Tamara Usman, si mahasiswi pembuat onar yang mampu membuat sang dosen, Fahren Giandra Heitward terpaku olehnya. Tentu saja tidak secara instan, banyak kejadian yang membuat mereka akhirnya dekat. Fahren Giandra Heitward, dosen nyebelin, nges...