21. HARI KELIMA

741 34 1
                                    

"Pagi~," sapa Chelsea dengan gumaman, kepalanya terus menunduk tak berani menatap Fahren didepannya. Pria itu hanya membalas dengan deheman, ia tak mengetok pintu kamar Chelsea seperti biasanya, juga tak lagi dengan bertelanjang dada. Saat bangun, Chelsea sudah melihat dosennya itu berpakaian rapi memakai jasnya.

"Maafㅡ."

"Saya pergi. Mungkin nanti saya akan pulang malam, jangan menunggu saya," potong Fahren lalu segera mengambil tas gendongnya dan pergi keluar apartemen. Meninggalkan Chelsea beserta makanan yang masih bersisa.

Chelsea menunduk lemas, ia terisak dalam diam. "Bunda~," gumam Chelsea disela isakannya.

"Eci," Chelsea menengadah, saat suara yang dirindukannya itu memanggil nama sewaktu dia kecil. "A. Ayah," Chelsea dengan segera memeluk Ayahnya disamping. "Eci," panggil sang Ayah lagi. Kini melepaskan pelukan lalu berjongkok didepan putrinya itu.

"Eci harus berani. Eci harus percaya pada diri Eci. Itu kan yang Ayah ajarin?" Tanya Sang Ayah lembut yang diangguki oleh Chelsea. Tangan Sang Ayah bergerak mengelus pucuk kepala putrinya itu, "Anak ayah harus berani, berani minta maaf, berani jujur, dan berani adil. Janji pada Ayah, Eci akan terus jujur dan berani," ujar Sang Ayah kemudian mengulurkan kelingkingnya untuk membuat sebuah janji.

Air mata Chelsea kian jatuh, ia membalas kelinging Ayahnya. Tangan Chelsea bergerak menghapus air mata yang keluar dari mata nya.

Wush~

Chelsea sendirian, dengan kelinging yang seolah tengah bertaut membuat janji, meskipun itu memang benar. Chelsea semakin terisak, almarhum Ayahnya datang menenangkannya.

'Eci akan berusaha, Ayah,' batin Chelsea.

###

"Bagaimana?" Tanya Fahren pada seorang lelaki berjas dengan kacamata menghiasi wajahnya. "Semuanya sudah di urut di laporan ini. Berhati hatilah, Ayah anak itu adalah seorang jaksa. Dia bisa saja menampik tudinganmu itu" ujarnya.

Fahren tersenyum miring, meremehkan. "Bahkan jika aku menjadi seorang jaksa, aku bisa saja menuding dia balik. Kau tau, dari mana perusahaan ini bisa bangkit kembali." Ujar Fahren menyombongkan diri. "Terserah dirimu saja. Lagipula, bukti didalam laporan ini juga sudah kuat, saksi saksi juga sudah banyak. Kau akan dengan mudah menyelesaikan permasalahan ini"

"Tentu, demi gadis itu"

"Kurasa temanku ini sudah mulai mengenal cinta, apa yang lalu sudah kau lupakan?" Tanya pria itu. "Sudahlah Git. Jangan membahas tentang wanita itu. Dia hanya mencari kekayaanku saja"

Sigit, pria yang bersama Fahren di ruangan berlabel Direktur Utama itu tersenyum miring. "Good luck, bro," ujar Sigit sambil menepuk pundak Fahren lalu segera meninggalkan ruangan tersebut.

"Tenanglah, sedikit lagi hingga saya bisa menggapai kamu," ujar Fahren pada foto seorang gadis disebuah kertas yang ia pegang.

###

Kriet... pintu apartemen terbuka. Chelsea dengan segera berdiri dan berjalan kearah pintu tersebut. "Pak Fahren udah pulang?" Tanya Chelsea basa basi.

"Seperti yang kamu lihat," Fahren dengan segera berjalan menuju kamarnya meninggalkan Chelsea. Gadis itu sedikit terluka akibat perlakuan Fahren.

"Pak Fahren," panggil Chelsea dari arah luar pintu sambil mengeto,knya beberapa kali. "Apa?" Tanya Fahren saat sudah membuka pintu.

"Saya-minta-maaf" ujar Chelsea terbata bata sambil menunduk. Fahren menatap gadis didepannya dengan dingin, "Hm," balas Fahren dengan deheman lalu segera ingin menutup pintu kamarnya.

Chelsea dengan gelalapan menahan tangan kekar dosennya itu. "Jangan gitu~," mohon Chelsea, menahan air mata yang sudah berada diujung pelupuk mata.

"Saya nggak bisa bilangin Pak Fahren kemaren, soalnya Rea tiba tiba gandeng tangan saya masuk ke klub. Saya juga ditarik tiba tiba sama Kel-" jelas Chelsea, namun tiba tiba saja ia berhenti lalu menunduk dalam.

Kedua tangan Fahren bergerak menyentuh pundak siswanya itu. "Renungkan kesalahan kamu," ujar nya singkat lalu segera berbalik kekamar dan menutupnya.

Chelsea terisak dalam diam. Ia gagal meminta maaf, ia gagal berani untuk jujur. Ia mengingkari janjinya dengan Ayah. Ia sangat hancur, ia sangat tidak berguna.

Ting!

Satu pesan masuk ke smartphone Chelsea.

Clarissa. W
Ketemuan di kafe Rimba yuk, besok jam 10 pagi:)

Chelsea. U
Oke kak.

Chelsea lebih memilih duduk di sofa, sambil menonton acara televisi. Meskipun acara yang ditayangkan adalah lawak komedi, tapi tak membuat Chelsea tertawa atau tersenyum sedikitpun. Bagaimana tidak? Pikiran gadis itu tengah bergelayutan kemana mana.

Entahlah, seolah semua sudah berakhir. Ia tak punya tempat bersandar, Rea, teman dekatnya tak bisa ia kabari, entah kemana dia. Gabriel dan Viona pun seolah menghilang. Kelvin? Jangan tanyakan dia, itu malah membuat Chelsea semakin frustasi. Dan kini, dosennya, yang selama ini sudah ada disampingnya untuk menenangkan, kini seolah sudah tak peduli lagi. Sedangkan Keluarganya, sedang sibuk dengan pekerjaan, pesan yang Chelsea kirimkan semenjak pagipun belum terbalas apalagi terbaca.

Hanya almarhum Ayahnya yang ada dipikirannya, dan itupun tidak dapat ia jumpai lagi. Ayah Chelsea, atau Usman, meninggal akibat kecelakaan pesawat, Chelsea yang saat itu masih kecil dan hendak ditinggalkan Ayahnya pergi bekerja. Mengamuk membanting semuanya, hingga tak sengaja sebuah pecahan gelas mengenai tangan sang Ayah hingga berdarah.

Saat itulah, Chelsea merasa menyesal dan tidak ingin seseorang terluka lagi. Ia akan mencoba lebih dewasa, dan lebih mencoba mendekatkan diri pada Tuhan.

Gadis itu menekuk lututnya mencapai dada, dan menenggelamkan kepalanya disela sela sana. Menangis dalam kegelapan yang ia buat.

Sementara itu, Fahren yang sedang berkutat dengan laptopnya, merasa terbebani akan tangisan Chelsea. "Arghhh, gadis itu selalu saja membuat saya gila!" Geram Fahren frustasi sambil mengacak rambutnya yang sudah berantakan.

###
Tbc🍈

Mr. Cold [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang