"Udah denger kabar blom?" Tanya Viona ke-kedua temannya. Chelsea mengerutkan keningnya sementara Gabriel terlihat tidak tertarik sama sekali akan pembicaraan Viona.
"Apa?"
"Kelvin sama Rea orang tua nya dipanggil ke kampus" ujar Viona dengan semangatnya. Chelsea memiringkan wajahnya, "terus?"
Dari yang semulanya tersenyum sumringah, kini yang tertinggal diwajah Viona hanya cemberut dengan mata malasnya menatap Chelsea. "Ya pasti ada apa apa kan! Iss dasar Chelsea nggak peka. Kasihan deh sama kak Fahren."
Chelsea membulatkan matanya, "Apa hubungannya sama tuh dosen?" Tanya Chelsea malas sambil memutar bola matanya. "Dahlah, lo nggak peka. Kasihan gue sama kak Fahren," ujar Viona sambil menimpuk kepala Chelsea berharap temannya itu bisa peka sedikit saja.
"Iss, apaansih," kesal Chelsea sambil mengusap usap kepalanya. Viona memutar bola mata malas. "Gimana Gabriel nanti punya kakak ipar kayak lo," kata Viona, tentu saja membuat Chelsea memiringkan kepalanya. "Apa hubungannya dengan Gabriel?" Tanya Chelsea.
Viona memukul kepala temannya, "Gabriel tuh adiknya Kak Fahren," Chelsea membulatkan matanya. "Yang bener?!" Tanya Chelsea pada Gabriel di sampingnya. "Hm," Gabriel, gadis berambut sepinggang yang lurus itu hanya menjawab dengan deheman.
Chelsea menepuk dahinya dengan telapak tangan. "Berarti selama ini gue ngeumpatin pak Fahren, lo denger dong?!" Gabriel mengangguk.
"Hayolohhh Chel~ nggak dapet restu tau rasa lo," Viona memanas-manasi. Chelsea menatap Viona tajam. "Restu apaan begok! Gue sahabat die, tapi gue malah ngumpatin kakak sahabat gue, gak elite ah," ujar Chelsea sambil meringis mengingat dirinya yang sering mengumpati Fahren.
"Hayoo, berantem berantem berantem," ujar Viona terus memanas-manasi. "Viona Arma Wijaya, bisa nggak sih nggak usah kayak gitu?!" Teriak Gabriel. Viona tersentak. Sementara Chelsea menatap tak percaya pada Gabriel didepannya.
"Wahhh! Chelsea! Temen kita! Gabriel! Untuk pertama kalinya ngomong banyak!!! Oh My Godness! Mimpi apa gue semalem?!!!" Teriak histeris Viona. Ahh temannya ini memang gila.
"Lagipula, kenapa gue goblok bet sih?? Pak Fahren sama Lo padahal mirip, tapi gue gak ngeh sama sekali," ujar Chelsea.
"Karna lo nggak peka bego!" Kesal Gabriel sambil menoyor kepala Chelsea. "Demi apa?! Ini bener gabriel kan? Chel gue takut ini Gabriel jadi jadian," Gabriel menoyor kepala Viona.
"Gue Gabriel asli!"
"Novel yang gue tulis baru aja ditawarin jadi buku, makanya gue seneng. Gue traktir deh sekarang," ujar Gabriel yang membuat Chelsea juga Viona tersenyum sumringah.
"YEAYY!!"
###
"Chelsea!" Panggil seorang gadis. Chelsea yang merasa namanya disebut membalikkan badan. "Rea?!" Gadis itu sedikit terkejut akibat kemunculan teman masa kecilnya ini.
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ujar Rea sambil tersenyum dan menggandeng tangan Chelsea lalu membawanya ke taman belakang kampus.
"Ngomong apa?" Tanya Chelsea saat pegangan Rea terlepas. "Lo ada hubungan apa apa nggak sama kak Fahren?" Tanya Rea. Chelsea memiringkan kepalanya pertanda bingung.
"Nggak."
Rea tersenyum puas. "Pas banget kalo kayak gitu!" Ujarnya sambil menjentikkan jari. "Gue minta tolong lo buat comblangin gue ke kak Fahren, bisa kan??" Pinta Rea dengan senyum memelas.
Deg.
Sesuatu di dada Chelsea terasa terkoyak. Tapi gadis itu berusaha menepisnya. "Lo suka sama pak Fahren?" Tanya Chelsea memastikan. Rea mengangguk malu.
"Sejak kapan?" Tanya Chelsea lagi. "Lo tau kejadian kemarin pas lo marahan sama kak Fahren?" Chelsea mengangguk. "Pas itu gue selalu bareng sama kak Fahren," ujar Rea sambil menunduk malu alias tersipu.
Chelsea berusaha menghilangkan ekspresi kecewa di wajahnya. Lalu tersenyum manis, "Tenang, gue bantu kok," ujarnya yang membuar Rea teriak kegirangan. "Kyaaa! Gue seneng banget," Chelsea dipeluk erat oleh teman masa kecilnya itu.
Chelsea tersenyum, meskipun hatinya berkata lain. "Gue ngebayangin saat saat gue nantinya jalan sama kak Fahren," ujar Rea teriak histeris untuk kesekian kalinya. "Iya, tapi jangan lupa PJ nya ya," ujar Chelsea tetap dengan senyuman yang sama.
###
Brak!
Meja Chelsea digebrak oleh Viona dan Gabriel. Chelsea menatap nyalang kedua temannya itu. Sementara Viona dan juga Gabriel menatap tajam Chelsea. "Apa?" Tanya Chelsea.
"Gue denger lo mau nyomblangin Rea, bener?" Tanya Viona dengan napas memburu. "Iya, emang kenapa?" Tanya Chelsea lagi, ia tak mengerti dengan kedua temannya ini. Tiba tiba saja datang lalu menggebrak meja kafe yang membuat beberapa orang menatap ke arah mereka.
"Gue gak sudi punya calon kakak ipar macam Rea," ujar Gabriel dengan datarnya. Chelse mengernyit, "Rea sahabat kita guys, kenapa kalian jadi kayak gini sih?!" Kesal Chelsea.
"Tapi dia nggak nganggep lo sebagai temennya!" Bentak Gabriel. "Nggak nganggep apa?! Kita udah sama sama dari semester awal, dan lo dengan seenaknya ngelakuin Rea kayak bukan temen lo!" Bentak balik Chelsea sambil menunjuk Gabriel.
"Lo akan tau nanti, ayo Gab, kita pergi. Percuma juga kita nasehatin," ujar Viona lalu menarik tangan Gabriel meninggalkan Chelsea duduk sendirian di kafe itu.
Chelsea memukul kepalanya. Apa yang salah sebenarnya? Kenapa teman temannya seperti itu? Dia hanya berniat membantu Rea. Meskipun itu memang membuat hatinya sakit tak beralasan. Tapi, setidaknya ia memang perlu membantu Rea kan?
###
Chelsea memasuki apartemen yang sudah sekitar seminggu ini ia tinggali. Otak kecilnya masih sibuk memikirkan perkataan teman temannya tadi. Apa yang salah dalam membantu teman?
"Kemana aja? Kok baru pulang?" Tanya seorang pria yang baru saja dari dapur, dan berjalan menuju sofa untuk duduk disana. Chelsea hanya menunduk, tak sedikit pun merespon perkataan pria yang menjadi dosennya itu.
Gadis itu mengambil posisi duduk disamping Fahren. Masih dengan menunduk, menahan sesuatu yang sepertinya sebentar lagi akan keluar. "Kenapa kamu? Dateng dateng udah kayak gitu," tanya Fahren dengan sedikit melirik ke arah Chelsea lalu kembali fokus menonton TV dengan tangan yang memegang sebuah minuman bersoda. Pria itu sedikit demi sedikit meminum minumannys.
Chelsea menarik ingusnya yang hendak ingin keluar. "Kamu nangis?" Tanya Fahren. Pria itu kini seutuhnya berfokus pada gadis disampingnya.
Chelsea lagi lagi tak menghiraukan. Ia terus saja menarik ingusnya yang hendak ingin keluar. Fahren tak bisa melihat mahasiswinya ini menangis atau tidak, karena wajahnya tertutupi rambut akibat menunduk.
Tangan Fahren tergerak mengelus pucuk kepala Chelsea. "Ada masalah?" Tanya Fahren lagi kini dengan nada lembut. Chelsea mengangguk. "Masalah apa?" Tanya Fahren, tapi Chelsea tak kunjung menjawab.
"Mau peluk?" Tanya Fahren. Chelsea berhenti dari tangisnya kemudian duduk tegak. Menatap Fahren dengan mata membulat sempurna. Fahren sedikit mengernyit, ada apa sebenarnya dengan gadis ini.
"Nggak mimpi kayak dulu lagi kan?" Tanya Chelsea kemudian mencubit lengannya sendiri. "Sakit," gumamnya kemudian menatap Fahren. Tubuhnya seketika melemas dan menjatuhkan diri di pelukan Fahren. Menangis disana sepuasnya.
Fahren sedikit bingung. 'Tadi nangis, terus diem, eh nangis lagi. Mana kenceng pula,' batinnya. Tangan pria itu tergerak mengelus punggung Chelsea. "Pelan pelan dong," kesal Chelsea disela sela tangisnya.
Fahren sedikit ambigu, tapi akal sehatnya memperingati. Tepukannya pada punggung gadis itu terlalu keras dan cepat. Ahh, bagaimana ia bisa berpikiran hal yang iya iya.
"Kita nikahin aja yuk Tri."
"Ayuk.""Mama?"
"Bunda?!"Deg. Deja vu macam apa ini?!
###
Tbc🍈
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Cold [END]
RomanceChelsea Tamara Usman, si mahasiswi pembuat onar yang mampu membuat sang dosen, Fahren Giandra Heitward terpaku olehnya. Tentu saja tidak secara instan, banyak kejadian yang membuat mereka akhirnya dekat. Fahren Giandra Heitward, dosen nyebelin, nges...