ثمانية (8)

63 27 0
                                    

Aku pun membuka surat yang dari ukhti Dinsal dan membacanya kata demi kata yang banyak itu. Ku baca semua dua surat itu. Ku tangkap beberapa kata yang membuatku sangat terkejut.

Adinda Salsabilla.

Jantung koroner.

Leukimia -kanker darah- stadium 3 awal.

Itulah kenapa aku menariknya ke dalam pelukannya dan erat karena aku takut kehilangannya karena dia sahabat baikku dan sudah ku anggap seperti saudaraku sendiri. Aku berjanji kan selalu ada untuknya dan dia berterima kasih padaku.

"Berjanjilah untuk diam soal ini termasuk ke Raihan."

"Iya, aku janji."

***

(Dering telpon)

Aku pun segera mengangkatnya dan menaruhnya di telingaku.

"Mbak Dinda, ayo makan siang. Itu nak Raihan sama Firzah udah bibik suruh ke ruang makan."

"Iya, makasih."

Aku pun mengajak Vika buat turun ke lantai bawah dan menghapus air mata yang masih menempel di wajah. Kami pun sampai di ruang makan.

Sudah ada kak Frengky, bibik Lina, Raihan dan Firzah yang menunggu kami. Aku dan Vika pun segera duduk dan beberapa hidangan telah tersedia. Kami semua pun mulai makan.

"Mbak Dinda, tahukah kamu sekarang rumah ini pindah nama dan jadi milikmu?? Lambo dan ninja hitam punya papamu juga."

Aku terkejut bukan main sampai-sampai terbatuk dan untungnya di kasih minum oleh Vika.

"Kok gitu?? Papa mama sama adik Dicky dan Mbak Chika?"

"Mbak Chika mau tinggal di Solo dengan misi untuk jadi terapi wicara di sana dan dia sudah di belikan rumah sebesar ini juga di situ dengan mobil dan motor."

"Terus papa, mama, Dicky?"

"Mereka pindah dan membeli dua rumah besar klasik milik orang priyayi -kaya- Belanda di dekat perdesaan dan mau dekat dengan kebun-kebun karet dan sayuran serta buah milik mama dan papa."

Dapat kulihat Vika dan Firzah serta Raihan tercengang mendengar kami tadi.

"Biar bibik ambilkan obatmu di kamar. Lupa terus kamu." ia pun bangkit dan pergi ke lantai dua.

***

Kami semua pun makan bersama dan tentunya di ruang makan. Terlihat mata Vika dan yuk Dinsal yang agak sembab kayak habis nangis.

"Mata kalian kenapa??"

"Hm? Ini? Hahahaha... kami habisnya nonton drakor." ujar yuk Dinsal padaku.

Namun, aku curiga.

Tidak mungkin sampe sesembab itu!!

Sedang Raihan menatapnya biasa saja dan terus menghabiskan makanannya. Kami pun segera menghabiskan makanan kami lalu berkumpul di ruang TV untuk menonton acara.

"Kalau mau cari aku, aku di balkon lantai atas."

Yuk Dinsal pun pergi ke lantai dua untuk menikmati angin -mungkin-.

***

Selepas Dinsal pergi, Vika dan Firzah menatapku aneh bola matanya mengarah ke atas seperti kode untuk aku buat ke lantai dua menyusul Dinsal. Aku menggeleng karena itu akan mengganggu privasinya.

"Ayolah bang."

"Iyaiya."

Aku pun beranjak dari mereka berdua dan menuju lantai dua menyusul Dinsal yang di balkon. Dan benar saja, saat sampai.

Dear You - Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang