تسعة و عشرون (29)

88 22 14
                                    

Vika keluar dari kamar mama dan menyuruhku masuk. Perasaan gugup, khawatir dan ketakutan merasukiku. Ku buka pintu, menarik nafas dalam-dalam lalu masuk ke ruang mama.

Sekarang ku duduk di samping ranjangnya. Ku genggam tangannya erat-erat dan ku cium. Mama menatapku serius.

"Mama... maafin Raihan... hiks... hiks... hiks..."

"Harusnya mama yang minta maaf ke kamu karena nama selalu sibuk bekerja hingga jarang jenguk kamu dan jarang di rumah. Mama juga salah sudah tak membimbing dan mengajarimu arti kehidupan... kini, mama sudah tahu segalanya tentangmu dan juga Dinsal sama Renatta."

Aku terdiam begitu mendengar nama dua wanita itu.

"Jangan egois nak..."

"Sebenarnya... aku telah mengorbankan Renatta dan lebih memilih Dinsal."

"Hm mama setuju dengan apa yang kamu pilih sekarang ini. Dan mama juga sebenarnya suka sekali sama kebaikan hati dan ketulusan di diri Dinsal. Tahukah kamu?? Dia sering datang ke rumah tiap Minggu buat main dengan Aisyah dan pergi jenguk Vika ke pondok."

Aku semakin terkejut. Ternyata Dinsal benar-benar... ah!! Ku acak-acak rambutku.

"Ada cinta dan rasa yang tulus sejak mama menatapnya. Dia juga suka sama kamu kan nak??"

Aku mengangguk pelan.

"Apakah kamu juga ada rasa dengannya? Lebih baik kamu tak perlu lagi memunafikkan rasamu Raihan. Mama sudah tahu."

"Tapi ma... entahlah itu ma. Pokoknya aku merasa aneh dan nyaman sama dia yang tak ku dapat dari teman-teman perempuanku di kampus apalagi Renatta."

"Itu namanya jatuh cinta Raihan... perjuangkan Dinsal nak. Mama tahu kamu sudah dewasa dan tahu yang baik dan buruk. Ku harap kamu takkan menyesali perbuatanmu sendiri. Jangan jadikan semua ini hanya kan berakhir jadi air mata. Ma... ma... sayang kamu... hah... hah..."

"Mama!! Hiks... hiks... hiks..."

"Ini saatnya mama pamit. Jagalah Vika dan Aisyah juga Dinsal... ʾašhadu ʾal lā ilāha illa l-Lāh wa ʾašhadu ʾanna muḥammadar rasūlu l-Lāh."

Perlahan dia menutup matanya. Air mataku tak mampu lagi ku tahan. Ku tumpahkan semuanya. Ku peluk tubuhnya. Masuklah kak Hanif, Vika, Aisyah dan Nana.

"Kenapa??"

Tak mampu diriku berkata. Ku hanya menggelengkan kepalaku. Mereka terdiam dan mulai menangis. Mama menghembuskan nafas terakhirnya tepat di hadapanku.

Keesokan harinya...

Suasana rumah ramai dan kak Reza sama Daniel serta Renatta disitu. Bendera kuning terpasang di depan rumah. Gema lantunan Yassin yang terdengar hingga keluar...

Kini ku menatap mamaku yang wajahnya terlihat berseri dan senyum merekah di bibirnya seolah seperti dirinya tengah tertidur.

Upacara pemakaman pun berlangsung. Hingga akhirnya, prosesi itu pun membuat semua pelayat perlahan pergi meninggalkan area pemakaman.

Ku elus batu nisan dan bunga yang bertaburan disana. Tangisku kembali kencang. Kami pun berkabung. Namun takdir tidak dapat diubah...

Kami pun pulang ke rumah dengan langkah sedikit berat dan tak ingin untuk meninggalkan area pemakaman itu.

***

Detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, bahkan hari ke hari. Tanpa terasa tepat 40 hari meninggalnya mama...

Keadaan rumah di sibukkan dengan persiapan acara 40 hari itu yang akan di gelar malam ini.

Perlahan para tetangga dan kerabat mulai mendatangi rumah. Acara pun di mulai dengan pembacaan surat Yassin dan di tutup dengan doa. Tak lupa Renatta dan Reza juga di sana.

Dear You - Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang