Sembilan

1.1K 92 20
                                    

"Theme Park?"

Kerutan di kening Dhito saat memarkirkan mobil membuat Zaya tersenyum. "Kita lagi bolos 'kan? Taman bermain adalah tempat bolos yang paling seru."

"Betul. Bolos yang hanya lima belas menit sebelum jam pulang kantor." Dhito mulai menggerutu meski dia tetap turun dari mobil saat Zaya turun. "Kriteria serumu benar-benar khas anak-anak."

"Berani taruhan? Rasa frusatasi mu pasti hilang begitu kembali ke mobil." Zaya dengan semangat menuju tempat pembelian tiket. "Lagian ini jam yang pas agar kita bisa naik semua wahana ekstrim tanpa perlu antri."

"Kita lihat saja nanti." Kata Dhito sambil mengulurkan uang ke penjaga tiket.

Pria itu begitu skeptis saat mereka memasuki theme park yang baru dibuka jam empat sore itu. Belum lagi gerutuan tentang mereka datang terlalu awal. Tapi saat mereka naik roller coaster, justru Dhito lah yang berteriak-teriak heboh. Zaya sungguh bersyukur mereka datang saat belum banyak pengunjung. Kalau tidak dia akan sangat malu dengan kelakuan pria berusia 32 tahun yang seperti anak SD itu.

Meskipun begitu Zaya senang karena Dhito sudah mulai bisa tertawa dan tersenyum setelah menaiki roller coaster. Bahkan pria itu lah yang bersemangat untuk menaiki wahana lain, setelah mereka selesai main boom-boom car dan puas membentrukan mainan itu satu sama lain. Dhito pun dengan excited mengajak Zaya menaiki semua wahana ekstrim yang ada, wahana yang membuatnya berteriak-teriak tapi tidak membuatnya berhenti untuk mencoba wahana selanjutnya.

"Ayolah." Rayu Dhito saat mereka ada di depan pintu rumah hantu.

"Tidak." Zaya menggeleng dengan tegas. "Kamu masuklah sendiri, aku akan menunggu di pintu keluar."

"Mana asyik kalau begitu?" Dhito tetap tidak menyerah. Pria yang awalnya skeptis dengan idenya itu benar-benar bersemangat mengajak Zaya masuk ke rumah hantu.

"Karena memang masuk rumah hantu tidak ada asyik-asyiknya." Zaya mulai beranjak pergi. "Kita bayar tiket untuk bersenang-senang. Bukan untuk ditakuti."

Langkah Zaya tertahan karena Dhito menarik lengannya. Pria itu memandang kedua mata Zaya sambil berkata, "Please Zaya, kita masuk sekali aja."

Zaya benar-benar speechless melihat ekspresi Dhito saat ini. Naira tadi bercerita bahwa dirinya tidak pernah bisa menolak permintaan Dhito, terutama saat Dhito menatapnya dengan mata cokelat dan ekspresi seperti anak kucing yang ditinggal induknya. Saat ini ekspresi itulah yang ditunjukan Dhito pada Zaya. Zaya akhirnya mengerti kenapa Naira tidak bisa berkata 'tidak' pada pria itu. Mungkin jika pandangan itu tidak diperlihatkan atau ditunjukan padamu, justru akan terlihat lucu. Tapi saat mata cokelat itu menatap langsung ke dalam mata Zaya, kosakata 'tidak' pun hilang dari kepalanya.

"Baiklah." Kata Zaya tanpa mampu melepaskan pandangannya dari wajah Dhito yang terlihat manis. Bukan. Bukan seperti anak kucing. Tapi anak macan yang baru lahir. "Tapi kamu harus berjalan di depanku dan jangan pernah tinggalkan aku."

"Aku janji." Dhito pun menarik lengan Zaya dengan semangat menuju pintu masuk rumah hantu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dhito benar-benar tidak tau harus merasa bersalah atau gemas saat melihat Zaya sesegukan berusaha menghapus airmatanya. Sungguh Dhito sama sekali tidak menduga gadis itu akan berteriak-teriak ketakutan hingga menangis hanya karena masuk ke rumah hantu, padahal sebelumnya gadis itu menaiki semua wahana ekstrim tanpa ketakutan sedikit pun. Tidak hanya itu, sepanjang perjalan mereka di dalam rumah hantu, Zaya tidak pernah melepaskan gengaman erat tangannya pada lengan Dhito. Gadis itu juga tidak berhenti memukul-mukul lengan Dhito sambil berkali-kali mengatakan Dhito jahat karena membuatnya masuk ke rumah hantu.

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang