Dua Puluh Satu

1K 85 1
                                    

Seharusnya Zaya menceritakan alasan kenapa dia berubah pikiran atas ide pernikahan itu pada Dhito. Tapi meskipun Zaya akhirnya memutuskan untuk memberitau Dhito bahwa mamanya menelfon setelah Zaya berbicara dengan bunda Alia. Zaya tidak pernah memiliki kesempatan untuk menyampaikan kabar bahwa kondisi mamanya mulai membaik pada Dhito. Pria itu seakan berusaha menghindarinya sejak mereka pulang dari acara santai bersama saudara-saudaranya di atas rooftop kantor Horison pusat itu.

"Oke, satu... dua... tiga..." Kak Missha memberi aba-aba sebelum mengambil foto Zaya dalam balutan gaun pengantin buatannya. "Kamu benar-benar cantik. Gaun itu benar-benar cocok dan pas untukmu. Aku yakin follower dan pelanggan ku akan semakin bertambah begitu aku meng upload fotomu di IG ku.

Pantulan sosok yang ditangkap mata Zaya saat dirinya berdiri di depan cermin, membenarkan perkataan kak Missha. Gaun berwarna cokelat kemasan dengan hiasan mawar dan tangkai hijaunya, serta make up yang baru saja selesai di aplikasikan ke wajah Zaya, benar-benar membuat Zaya sulit percaya bahwa dirinya bisa terlihat tepat seperti gambaran kak Missha.

"Aku yakin Dhito tidak akan berhenti menatapmu begitu kalian dipertemukan setelah dia mengucapkan ijab Kabul." Kak Missha menambahkan sambil mengambil foto Zaya dengan kamera ponselnya.

Betul. Hari ini adalah hari pernikahan mereka. Tapi Zaya meragukan prediksi kak Missha itu. Kalau melihat bagaimana Dhito berusaha menghindarinya selama dua hari ini, Zaya tidak yakin pria tampan itu akan bereaksi seperti kata Kak Missha. Bagaimana pun Zaya yakin kalau Dhito sudah sering melihat wanita-wanita yang jauh lebih cantik darinya.

"Aku pergi ke toilet sebentar." Suara kak Missha mengembalikan fokus Zaya dari pikirannya yang berkelana tidak tenang karena Dhito. "Naira dan Lila akan segera kesini. Jadi tidak apa 'kan kamu ku tinggal sendiri sebentar?"

Dengan senyum diwajahnya Zaya mengangguk. "Terima kasih, kak Misha."

Panggilan telfon itu membuat ponsel Zaya yang ada di atas meja bergetar, tepat setelah Kak Missha menutup pintu ruangan riasnya. Telfon dari orang yang sama sekali tidak diharapkan Zaya. Terlebih sejam sebelum akad nikahnya berlangsung. Zaya sempat ragu untuk menerima panggilan itu. Tapi Zaya tau kalau orang itu tidak akan menelfon hanya untuk mengucapkan selamat untuk Zaya.

"Wah, aku tidak menyangka kamu mau menerima telfon ini." Suara tante Ambar langsung terdengar meskipun Zaya sengaja tidak memberi salam ataupun sapaan begitu menerima telfon itu. "Aku dengar hari ini kamu menikah dengan Dhito. Aku sungguh kecewa karena kamu tidak mengundangku ke acara pernikahanmu."

Zaya sama sekali tidak merespon. Dia hanya diam dan mendengarkan. Meski tau tidak akan ada hal baik yang akan di dengar Zaya dari tantenya yang licik itu,

"Tapi tidak apa. Karena aku begitu baik hati, aku akan memberikanmu hadiah pernikahan untukmu." Kata tante Ambar tanpa memedulikan respon Zaya. "Hanya saja, kamu harus mengambil hadiah mu sendiri atau kamu tidak akan pernah bertemu dengan hadiah mu lagi..."

"Jangan Zaya! Jangan kesini! Ummpph...."

Suara mamanya yang baru dua hari yang lalu di dengarnya itu membuat jantung Zaya berdebar kencang karena kekhawatiran. Tantenya sudah tau keadaan mamanya yang membaik. Meski mamanya bilang bahwa akan tetap berpura-pura depresi, tapi kelihatannya tantenya itu sudah mengetahui apa yang dilakukan Zaya pada mamanya.

"Kamu memang benar-benar cerdas memanfaatkan keadaan seperti ayahmu." Suara tante Ambar terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Tapi sayangnya aku lebih pintar. Karena itulah aku bisa tau bahwa kamu membayar suster sialan itu untuk memberikan obat agar keadaan mama mu membaik. Kamu kira dengan membaiknya keadaan mamamu, kamu bisa mengklaim statusmu menjadi cucu dari keluarga Pramudhana? Seperti yang selalu diinginkan ayahmu? Jangan bermimpi."

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang