Delapan

1.1K 87 18
                                    

"Maaf, kehamilan kedua ku ini benar-benar membuatku khilaf makan." Naira tersenyum dengan polos saat mereka keluar dari Café setelah dia menghabiskan risotto dan brownies. "Lihat pipiku yang semakin chubby. Ini baru enam minggu dan berat badanku sudah naik lima kilo."

"Kamu tidak terlihat gendut." Zaya berkata sambil mengangkat bahu.

Awalnya Zaya berpikir bahwa menantu dari keluarga Narendra ini akan sama sombongnya dengan tante, well, puteri-puteri dari keluarga Pramudhana yang pernah ditemuinya, kecuali tante Fasya tentunya. Tapi tidak. Naira begitu ramah dan sederhana. Dia tidak berhenti berbicara dan berusaha membuat Zaya merasa nyaman dengan keberadaannya. Pribadinya begitu hangat dan cerah.

"Zaya," Naira mengenggam tangan Zaya begitu pintu lift tertutup. Tidak orang lain yang selain mereka berdua di dalam lift. "Dengar, aku tidak tau apa yang dibicarakan kakek Hanggara dan suamiku pada Dhito. Tapi aku yakin mereka menginginkan yang terbaik untukmu dan Dhito."

"Maaf, tentang berita itu..." Zaya bingung harus mulai menjelaskan darimana. "Aku dan Pak Dhito..."

"Tidak ada hubungan special?" Tebak Naira sambil tersenyum geli. "Aku tau. Aku sudah bersahabat dengan Dhito hampir seumur hidup kami. Bisa dibilang aku tau semua tentang Dhito. Kapan dia tertarik dengan seseorang, kapan dia jatuh cinta, kecuali well..."

"Kecuali?" Zaya penasaran karena Naira tiba-tiba terdiam dan menarik nafas panjang.

Naira menggeleng. "Well, meski sekarang belum ada apapun diantara kalian. Tapi saat melihat cara kalian berkomunikasi tadi, aku yakin cepat atau lambat pasti kalian akan menemukan dan merasakan sesuatu."

Kening Zaya berkerut mendengar perkataan Naira. Tapi sebelum Zaya membuka mulut untuk menyanggah, pintu lift terbuka di lantai tempat kantor Dhito berada. Naira menyerahkan kopi yang dibelinya ke tangan Zaya dan menarik lengan Zaya keluar dari lift.

"Kelihatanya diskusi mereka sudah selesai." Kata Naira sambil mengetuk pintu sekali, sebelum membukanya.

Dengan lima cup minuman dengan berbagai jenis dalam paper tray di tangannya, Zaya pun ikut masuk. Zaya benar-benar tidak memiliki ide pada siapa tiap minuman itu diserahkan. Satu-satunya yang Zaya tau pasti adalah espresso itu untuk Dhito. Selain itu masih ada satu Americano, dua cappuccino dan satu milkshake cokelat.

"Diskusi kalian sudah selesai?" Naira beranjak masuk dan duduk disamping suaminya. Wanita itupun langsung mendapat pelukan dari sang suami. "Kebetulan Zaya membawakan kalian kopi untuk mencairkan suasana."

Naira memberi tanda pada Zaya untuk membagikan minuman di tangannya. Karenanya Zaya tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti feeling dan instingnya. Zaya meletakkan Americano di depan kakek Dhito. Cappucino di depan suami Naira. Tentu saja espresso untuk Dhito. Kemudian dengan hint bahwa Naira hamil, Zaya menyerahkan milkshake cokelat kepada Naira. Satu cappuccino terakhir, Zaya menebak untuk dirinya sendiri

"Dia keren 'kan?" Naira berbisik pada suaminya dengan suara yang bisa di dengar setiap orang diruangan ini. "Aku sama sekali tidak memberikannya clue. Tapi dia membagikan kopi kesukaan kalian dengan benar."

Kakek Hanggara tertawa mendengar ucapan Naira. Kemudian memandang Zaya dengan senyum di wajahnya. "Terima kasih, nak. Duduklah."

Sambil duduk di satu-satunya tempat tersedia di sofa, yaitu di sebelah Dhito, Zaya menyimpulkan satu hal. Apapun yang sudah diputuskan oleh ketiga pria keluarga Narendra itu telah membuat Dhito frustasi. Itu terbukti dari rambut depannya yang acak-acakan. Selama dua minggu lebih bekerja dengan Dhito, Zaya bisa mengenali kebiasan pria itu. Termasuk kebiasaan mengacak-acak rambut depannya jika dia mulai merasa stress atau frustasi.

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang